Ankara (ANTARA) - Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kamis (6/6), menyatakan bahwa Prancis tidak akan mengakui negara Palestina berdasarkan kemarahan.
Dalam wawancara dengan lembaga penyiaran TF1 dan France 2, Macron menegaskan kembali dukungan negaranya pada gencatan senjata di Gaza, solusi dua-negara, serta hak Israel untuk membela diri.
"Kita tidak mengakui suatu negara sebagai negara berdasarkan kemarahan, kita melakukannya dalam (dalam kerangka) sebuah proses," katanya, seraya menegaskan kembali bahwa mengakui Palestina bukan langkah yang "tabu".
Saat ini bukan waktu yang "masuk akal", kata Macron.
"Saatnya akan tiba, dan Prancis akan melakukannya, namun hal itu harus dilakukan dalam sebuah proses," ujarnya.
Dalam konteks tersebut, Macron menjelaskan bahwa Palestina harus lebih dulu menerapkan sejumlah reformasi.
Pengakuan, katanya, juga harus digunakan untuk memberikan tekanan terhadap Israel, sehingga memerlukan mobilisasi negara-negara seperti Amerika Serikat.
Dia menegaskan bahwa dirinya akan terus bekerja dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu selama dia masih menjabat, dan menggambarkan Netanyahu sebagai "mitra wicara yang sepenuhnya sah."
Kalangan organisasi masyarakat sipil dan serikat mahasiswa menekan pemerintah negara-negara Eropa untuk mengakui Palestina sebagai sebuah negara.
Mereka juga meminta para pemerintah itu untuk melindungi hak rakyat Palestina dalam menghadapi serangan Israel yang terus-menerus terhadap warga sipil di tempat penampungan PBB dan kamp-kamp pengungsi.
Spanyol, Norwegia, dan Irlandia mengakui Palestina sebagai negara pada 28 Mei, sedangkan Slovenia pada 4 Juni.
Sebelumnya pada Kamis (6/6), 26 organisasi masyarakat sipil Belgia mengirim surat kepada Perdana Menteri Alexander De Croo yang mendesaknya untuk "mengakui negara Palestina tanpa penundaan."
Israel terus melanjutkan serangan mematikan di Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 meski ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang mendesakkan gencatan senjata segera.
Sekitar 36.600 warga Palestina tewas di Gaza, yang sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, dan lebih dari 83 ribu lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Delapan bulan setelah perang Israel, sebagian besar wilayah Gaza hancur akibat blokade yang melumpuhkan akses makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Israel di Mahkamah Internasional (ICJ) dituduh melakukan genosida.
Melalui putusan terbaru, ICJ memerintahkan Israel segera menghentikan operasinya di bagian selatan Kota Rafah, tempat dari lebih satu juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelum diserbu pada 6 Mei.
Sumber: Anadolu