Jakarta (ANTARA) - Aksi kekerasan di Lebanon pekan ini telah memaksa lebih dari 90.000 orang mengungsi dari rumah mereka, dengan 70.000 orang memadati 400 sekolah dan tempat-tempat lainnya, demikian disampaikan para pekerja kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kamis (26/9).
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menghitung jumlah kasus pengungsian sejak Senin (23/9) dengan data dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization for Migration/IOM), yang memperkirakan jumlah tersebut akan terus meningkat.
OCHA mengatakan bahwa mereka sangat prihatin dengan keselamatan warga sipil di kedua sisi Garis Biru antara Israel dan Lebanon.
Komisariat Tinggi PBB untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR) di Suriah memperkirakan bahwa lebih dari 10.000 orang, baik warga Lebanon maupun Suriah, telah menyeberang dari Lebanon ke Suriah akibat konflik tersebut.
OCHA mengatakan bahwa badan dunia tersebut dan para mitranya menyediakan makanan, air, kasur, dan perlengkapan kebersihan. Eskalasi kekerasan baru-baru ini juga berdampak terhadap pendidikan, kesehatan, dan fasilitas-fasilitas sipil vital lainnya di Lebanon.
OCHA menuturkan Kementerian Pendidikan Lebanon menunda dimulainya tahun ajaran baru hingga 14 Oktober, yang berdampak terhadap ribuan siswa di seluruh negara itu.
Badan PBB tersebut mengatakan serangan udara Israel pada Rabu (25/9) merusak empat stasiun air lagi sehingga total fasilitas yang terdampak sejak Oktober 2023 bertambah menjadi 24, memengaruhi akses air bersih bagi lebih dari 250.000 orang. Menurut OCHA, konflik tersebut membuat 18 pusat layanan kesehatan primer terpaksa ditutup pada Kamis.
Dana Kependudukan PBB (United Nations Population Fund/UNFPA) mengatakan bahwa mereka menyediakan perlengkapan kesehatan dan kewanitaan yang produktif bagi wanita dan anak perempuan yang mengungsi. Pada saat yang sama, Dana Anak-Anak PBB (United Nations Children's Fund/UNICEF) mengirimkan pasokan esensial, termasuk air, selimut, dan peralatan kebersihan, ke tempat-tempat penampungan kolektif.
Program Pangan Dunia (World Food Programme/WFP) melaporkan bahwa mereka telah menyiapkan makanan yang cukup untuk menyokong 250.000 orang selama lima hari, sementara badan bantuan PBB untuk Palestina, yang dikenal sebagai UNRWA, dan IOM juga menyediakan kasur, selimut, dan persediaan tambahan untuk membantu para pengungsi.
OCHA mengatakan bahwa PBB dan mitra-mitra kemanusiaannya membutuhkan sumber daya tambahan untuk menopang respons terhadap kebutuhan-kebutuhan mendesak.
Di sela-sela Debat Umum tahunan di Aula Sidang Majelis Umum yang besar, sebuah pertemuan tingkat menteri digelar untuk membahas UNRWA, pendanaannya, dan situasi di Gaza, tempat konflik yang saat ini berlangsung dimulai pada 7 Oktober 2023, sebelum meluas ke Tepi Barat dan Lebanon
"Kita telah mengecewakan masyarakat Gaza. Mereka berada di neraka yang situasinya entah bagaimana kian memburuk dari hari ke hari," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam pertemuan tersebut.
Namun, jika ada secercah harapan di tengah situasi tersebut, maka itu adalah UNRWA, kata dia. Guterres memberikan dukungan kepada badan yang diberi mandat untuk membantu warga Palestina, baik di Gaza, Lebanon, Suriah, maupun Tepi Barat itu.
Setelah Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023, pemerintah Israel menuding anggota staf UNRWA berpartisipasi dalam serangan mematikan tersebut dan sumbangan donatur untuk badan itu pun menurun drastis.
"Dalam menghadapi kondisi bencana, UNRWA tetap bertahan. Ini merupakan penghormatan bagi ketangguhan para wanita dan pria di UNRWA," tutur Guterres, seraya menambahkan bahwa donasi sudah mulai pulih.
Dia menyuarakan keyakinan penuh terhadap komitmen berkelanjutan UNRWA "untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemanusiaan yaitu netralitas, keadilan, dan kemanusiaan."