Pemerintah diminta untuk membedakan antara produk minyak kelapa sawit untuk kepentingan industri dan kepentingan makanan guna menekan biaya produksi bahan bakar nabati (biofuel) yang tengah dikembangkan.
Dosen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) IGBN Makertihartha seusai diskusi energi bertajuk "Efisiensi Energi Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Energi Baru dan Terbarukan" di Kemenko Maritim Jakarta, Selasa, mengatakan selama ini pasokan minyak sawit untuk pengembangan biofuel masih menggunakan minyak sawit berstandar "food grade" yang harganya mahal.
Padahal, untuk pengembangan energi, bahan baku minyak sawit tidak perlu memiliki kualitas setinggi bahan baku makanan.
"Maka kami meminta kepada pemerintah untuk menciptakan terminologi produk baru, bukan CPO tetapi IPO, yakni Industrial Palm Oil. Jadi ini produk minyak sawit bukan untuk makanan tetapi minyak sawit khusus untuk industri (biofuel)," katanya.
Makertihartha menjelaskan minyak sawit "food grade" yang pengolahannya melalui proses mulai dari penghilangan getah, bau atau warna menyebabkan harga bahan baku menjadi mahal karena mengikuti standar CPO.
"Untuk energi, misalnya, baunya tidak perlu dihilangkan, warnanya tidak perlu dihilangkan cukup getahnya dan kandungan logamnya saja yang dihilangkan. Jadi hanya sekian persen dari total prosesnya itu bisa dihilangkan sehingga bahan bakunya bisa disiapkan dengan harga yang murah," katanya.
Dengan bahan baku yang lebih murah, ia meyakini pengembangan bahan bakar nabati bisa dilakukan secara masif dengan harga bersaing.
"Kalau kita menghasilkan produk yang seperti saya sebutkan tadi, IPO, itu akan menekan ongkos produksi. Kalau ongkos produksinya ditekan maka bahan bakarnyabisa bersaing," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019
Dosen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) IGBN Makertihartha seusai diskusi energi bertajuk "Efisiensi Energi Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Energi Baru dan Terbarukan" di Kemenko Maritim Jakarta, Selasa, mengatakan selama ini pasokan minyak sawit untuk pengembangan biofuel masih menggunakan minyak sawit berstandar "food grade" yang harganya mahal.
Padahal, untuk pengembangan energi, bahan baku minyak sawit tidak perlu memiliki kualitas setinggi bahan baku makanan.
"Maka kami meminta kepada pemerintah untuk menciptakan terminologi produk baru, bukan CPO tetapi IPO, yakni Industrial Palm Oil. Jadi ini produk minyak sawit bukan untuk makanan tetapi minyak sawit khusus untuk industri (biofuel)," katanya.
Makertihartha menjelaskan minyak sawit "food grade" yang pengolahannya melalui proses mulai dari penghilangan getah, bau atau warna menyebabkan harga bahan baku menjadi mahal karena mengikuti standar CPO.
"Untuk energi, misalnya, baunya tidak perlu dihilangkan, warnanya tidak perlu dihilangkan cukup getahnya dan kandungan logamnya saja yang dihilangkan. Jadi hanya sekian persen dari total prosesnya itu bisa dihilangkan sehingga bahan bakunya bisa disiapkan dengan harga yang murah," katanya.
Dengan bahan baku yang lebih murah, ia meyakini pengembangan bahan bakar nabati bisa dilakukan secara masif dengan harga bersaing.
"Kalau kita menghasilkan produk yang seperti saya sebutkan tadi, IPO, itu akan menekan ongkos produksi. Kalau ongkos produksinya ditekan maka bahan bakarnyabisa bersaing," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019