Jambi (ANTARA Jambi) - Pengurangan hutan (deforestrasi) di Indonesia saat ini masih sangat tinggi berkisar 1,3 juta hektare dalam dua tahun terakhir, dan dari luasan kawasan hutan 130.509.671 hektare, hanya tersisa 60 juta hektare kawasan hutan yang tergolong masih hutan alam.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian Furqon dalam siaran persnya, Kamis menyebutkan, kebijakan pengelolaan hutan dalam lima tahun terakhir tidak mampu mempertahankan apalagi menambah luas tutupan hutan.
Kebijakan tata kelola sumber-sumber kehidupan rakyat (SDA-red) dan lingkungan hidup di Indonesia dalam lima tahun terakhir menjadi persoalan yang belum terselesaikan oleh para pemimpinnya.
Oleh karena itu, sangat diperlukan memperkuat peran dan posisi rakyat dalam penyelamatan lingkungan hidup dan akses sumber-sumber kehidupan rakyat, katanya.
Saat ini tercatat 42,96 juta Ha atau 21 persen dari luas daratan Indonesia yang telah mendapat izin eksplorasi pertambangan, sedangkan untuk perkebunan kelapa sawit skala besar dari yang sudah direncanakan seluas 26.710.800 Ha telah terealisasi sebesar 9.091.277 Ha dan dari luas perkebunan kepala sawit skala besar yang ada, diperoleh alih fungsi ekosistem rawa gambut seluas 3.145.182,20 Ha.
Setidaknya terdapat 340 perusahan kelapa sawit skala besar yang menanam sawit pada lahan rawa gambut dengan kedalaman 200-800 meter, padahal tidak diperbolehkan dalam Peraturan Menteri nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009.
Konflik sosial dan akses pengelolaan juga semakin meningkat signifikan seiring dengan tingginya relasi jumlah perizinan eksploitasi sumber-sumber kehidupan oleh koorporasi dan penetapan kawasan-kawasan konservasi versi negara seperti Hutan lindung (HL), Taman Nasional (TN), Cagar Alam (CA) dan Hutan Konservasi (HK) di Indonesia.
Setidaknya terdapat 6.243 desa berada dalam kawasan hutan lindung, 2.270 desa berada pada kawasan hutan konservasi, 12.211 desa berada di hutan produksi dan produksi terbatas dan 3.838 desa berada dalam kawasan hutan produksi konversi (HPK).
Walhi mencatat tahun 2009 telah terjadi konflik pengelolaan kehutanan sebanyak 127 kasus, konflik perkebunan besar 38 kasus dan konflik pertambangan besar 120 kasus. Sampai tahun 2011 terdapat 79 kasus konflik kehutanan dan 665 kasus konflik dikomunitas dengan perkebunan kelapa sawit skala besar.
"Dalam rentang konflik dua tahun terakhir tersebut setidaknya telah memakan korban jiwa 12 orang meninggal dunia, 21 orang luka tembak dan 69 orang ditahan sebagai buntut konflik pencemaran lingkungan hidup (air, tanah dan udara) semakin meningkat termasuk pada kawasan pedalaman yang dieksploitasi oleh industri ekstraktif (tambang, perkebunan dan hutan tanaman industri/HTI)," katanya.
Reduction Emission from Degradation and Deforestation (REDD) sebagai bagian dari skema asing yang ditawarkan kepada negara ketiga termasuk Indonesia menjadi persoalan baru dengan mekanisme perdagangan karbon hutan dan tata batas kelola kehutanan yang masih bermasalah di republik ini.
REDD tidak dapat menyelesaikan persoalan dalam konteks keadilan iklim, pengajuan proposal REDD oleh Indonesia salah satu bentuk ketidakmartabatan dalam penyelamatan hutan di Indonesia.
"Mengapa? negara annex 1 (utara) memiliki kewajiban lebih dari sekedar memberikan dana "receh" kepada negara ketiga termasuk Indonesia sebagai salah satu bentuk tanggungjawabnnya dalam merusak iklim dunia," ujarnya.
Sementara itu, negara utara tidak mau menurunkan jumlah emisinya dan menjadikan hutang-hutang Indonesia sebagai "toilet" karbon dan kawasan "prostitusi" ekologis bagi kepentingan industri negara-negara annex 1.
Berry menyebutkan, skema REDD yang dikembangkan tidak lepas dari kekuasaan Bank Dunia (WB) dalam program GFA (global forest alliance) dengan penekanan kuat pada mekanisme pendanaan iklim dan tujuan utamannya adalah meningkatkan intervensi Bank Dunia disektor kehutanan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Seperti The Nature Conservancy (TNC), World Wild Foundation (WWF), dan Conservation International (CI). Bank Dunia dan lembaga konservasi internasional ini meciptakan GFA dengan tujuan khsusus untuk menangkap dana-dana besar untuk perubahan iklim termasuk melalui Forest Carbon Partnership Facilities (FCPF), dana biocarbon (penanaman hutan kembali) dan sistem pembayaran atas "jasa lingkungan: berbasis besar.
"Jadi skema REDD hanya mengungtungkan 'broker-broker' dan penadahan karbon yang menjual hutan Indonesia, bukan menguntungkan masyarakat sekitar dan di dalam hutan sebagai pengelolaan dari zaman nenek moyang," katanya.
Persoalan tersebut saat ini tengah dibahas dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XI Walhi yang berlangsung selama enam hari mulai 11-16 April di Balikpapan, Kalimantan Timur.
(T.KR-LR)