Medan (ANTARA Jambi) - Mulai 2014 pemerintah memberlakukan patokan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dalam satuan mata uang rupiah, bukan lagi mengacu pada dolar AS atau ringgit Malaysia seperti selama ini.
"Seperti produk timah yang sudah diperdagangkan dalam satuan rupiah maka CPO juga akan seperti itu pada tahun ini juga," kata Menteri Perdagangan Gita Wiryawan di Medan, Selasa.
Gita yang menjadi salah satu calon presiden Kovensi Partai Demokrat menyebutkan, langkah itu dinilai tidak menimbulkan masalah atau terganggu mengingat Indonesia merupakan produsen sawit terbesar dunia.
Sebagai produsen utama "bargaining power" Indonesia sudah sangat besar.
Produksi CPO Indonesia pada 2014 ditargetkan bisa mencapai 29,5 juta ton dari tahun lalu yang sekitar 26,2 juta ton.
Dari jumlah produksi itu sebagian besar masih diekspor karena selain permintaan banyak, kebutuhan juga masih jauh di bawah produksi. India dan China adalah pembeli utama sawit Indonesia.
"Kalau memang butuh sawit Indonesia ya harus ikut aturan Indonesia," katanya.
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengatakan memang sudah seharusnya harga patokan CPO memakai Rupiah karena sebagai produsen terbesar.
Produksi CPO Indonesia yang tahun ini diperkirakan bisa 29.5 juta ton hampir 50 persen dari kebutuhan dunia 2014 yang mencapai 58,3 juta ton.
Bahkan pasar dunia berharap pada 2020, produksi Indonesia mencapai 42 juta ton dari total produksi dunia 78 juta ton.
"Sudah lama kita mengikuti keinginan pembeli. Jadi memang sudah saatnya untuk membuat patokan harga dengan rupiah," katanya.
Ia memperhitungkan, kebijakan pemerintah itu bisa menekan isu negatif komoditas tersebut dan termasuk bisa menjadi penentu harga jual di pasar sehingga otomatis harga tidak mengalami fluktuasi besar.(Ant)