Jakarta (ANTARA Jambi) - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Yusril Ihza Mahendra yang menguji Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang meminta Pemilu serentak dan menghapus "presidential treshold".
"Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva, saat membacakan amar putusan di Jakarta, Kamis.
Dalam pertimbangannya, MK menyebutkan bahwa Pemilu serentak telah diputuskan dalam putusan nomor 14/PUU-XI/2013 yang dibacakan 23 Januari 2014.
"Meskipun mahkamah tidak secara eksplisit menyebut pasal a quo (yang dimohonkan Yusril), pertimbangan mahkamah tersebut 'mutatis mutandis' (berlaku secara otomatis), berlaku terhadap dalil pemohon," kata Anggota Majelis Harjono, saat membacakan pertimbangan hukumnya.
MK juga membantah bahwa putusan Pemilu Serentak 2019 dan selanjutnya hanya semata-mata didasarkan atas pertimbangan kesiapan atau ketidaksiapan teknis tata cara penyelenggaraan oleh KPU saja seperti yang didalilkan Yusril.
Sedangkan gugatan Yusril terkait aturan "presidential treshold" yang diatur dalam Pasal 9 UU Pilpres, MK menegaskan bahwa ketentuan tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai "legal policy" oleh pembentuk Undang-Undang.
Dalam Pasal 9 UU Pilpres menyebutkan: "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden".
"Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, dalil Pemohon untuk selain dan selebihnya tidak beralasan menurut hukum," kata Harjono.
Sedangkan permintaan Yusril untuk menafsirkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C, dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan penafsiran Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, MK menyatakan tidak dapat diterima.
Menanggapi putusan ini, Yusril langsung menyatakan kekecewaaannya. "Kalau permohonnan dikabulkan MK, saya biasa-biasa saja, tapi kalau permohonan ditolak saya ketawa-ketawa," kata Yusril, usai sidang.
Mantan menteri kehakiman ini mengatakan MK telah mengklaim sebagai lembaga penafsir tunggal konstitusi, tetapi kali ini MK menyatakan tidak berwenang untuk menafsirkan.
"Jadi saya ketawa ha..ha..ha...," kata Yusril.
Dia mengatakan jika MK tidak berwenang untuk menafsirkan konstitusi, sebaiknya kewenangnanya untuk menguji UU dibatalkan saja.
Yusril mengatakan persoalan penting jika MK menolak menafsirkan pasal 6a ayat 2 UUD 1945, akan ada persoalan konstitusionalitas legitimasi.
"Bagi presiden terpilih yang akan datang, kalau terjadi sesuatu silahkan diatasi sendiri. Saya sudah merasa lepas dari tanggung jawab sebagai seorang akademisi hukum merasa miliki kewajiban moral untuk mengingatkan bahwa akan timbul persoalan seperti ini," katanya.
Dalam permohonannya, Yusril menguji Pasal 3 Ayat (4) UU Pilpres yang mengatur: "Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan dengan keputusan KPU."
Selanjutnya, Pasal 9 UU Pilpres yang mengatur: "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 14 Ayat (2) UU Pilpres yang mengatur: "Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR."
Pasal 112 UU Pilpres yang mengatur: "Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama tiga bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota."
Yusril yang telah diputuskan Partai Politik Bulan Bintang sebagai calon presiden pada Pilpres 2014 merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal-pasal tersebut.
Yusril menilai Pasal 9 UU Pilpres bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 karena memanipulasi kata "pemilihan umum".
Menurut Yusril, UUD 1945 tidak secara spesifik mengatur urutan penyelenggaraan pemilihan umum. Namun, jika dibaca Pasal 22E Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945, menunjukkan bahwa pemilihan umum yang dimaksudkan diadakan satu kali (secara serentak) sehingga Pasal 3 Ayat (4), Pasal 9, Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 bertentangan dengan norma Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945.
Yusril juga menilai hal-hal yang diatur dalam Pasal 3 Ayat (4), Pasal 9, Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres tidaklah sungguh-sungguh untuk melaksanakan atau menegakkan norma-norma konstitusi. Namun, justru untuk menghalangi munculnya calon presiden dan wakil presiden dari kekuatan partai lain.
Bahwa kekhawatiran calon presiden dan wakil presiden akan terlalu banyak sehingga harus dibatasi dengan presidential threshold menjadi kehilangan relevansinya karena pada Pemilu 2014 hanya diikuti oleh 12 partai politik nasional dan tiga partai lokal Aceh.
Jika Pemilu 2014 akan diikuti oleh 12 pasang calon menurut pemohon masih berada dalam batas yang wajar, kata Yusril. (Ant)
MK tolak permohonan Yusril Ihza Mahendra
Kamis, 20 Maret 2014 18:41 WIB
.....Meskipun mahkamah tidak secara eksplisit menyebut pasal a quo (yang dimohonkan Yusril), pertimbangan mahkamah tersebut 'mutatis mutandis' (berlaku secara otomatis), berlaku terhadap dalil pemohon.....