Jambi (ANTARA Jambi) - Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi memaparkan salah satu penyebab utama selalu terjadinya kebakaran lahan gambut di setiap tahunnya adalah sistem kanalisasi lahan yang dibuat perusahaan perkebunan yang memiliki hak kelola lahan.
"Dari hasil kajian dan studi bersama yang kita lakukan dengan pihak laboraterium kebakaran hutan dan lahan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) selama setahun ini telah diperoleh kesimpulan satu hal yang menjadi peneybab utama rentan terbakarnya lahan gambut adalah persoalan sistem kanalisasi perusahaan perkebunan di Jambi," kata Manejer Humas Infokom KKI Warsi, Rudi Syaf di Jambi, Sabtu.
Dipaparkannya, bahwa sistem kanalisasi yang dibuat oleh perusahaan yang dimaksudkan sebagai membangun sarana transportasi dan distribusi produksi, serta untuk manajemen tata kelola air, ternyata telah mengakibatkan tidak teraturnya fungsi gambut sebagai 'bank' penyimpanan dan pengaturan air di lahan hutan gambut.
"Hal tersebut terjadi karena kanal yang dibangun perusahaan-perusahaan itu dalam volume atau ukuran yang besar dengan lebar 12 meter dan kedalaman 6 meter, juga dibangun dalam jumlah yang banyak dan kesemuanya dibangun dengan sistem terbuka di mana semua kanal bermuara ke sungai dengan sistem pembuangan terbuka," kata Rudi.
Selain itu sumber air yang tersimpan di bawah lahan gambut tersebut telah terkondisikan terkumpul dikanal dan selanjutnya dialirkan atau dibuang ke sungai tanpa pengaturan atau pengendalian hingga ketika terjadi musim kemarau lahan-lahan gambut tersebut kehilangan simpanan air hingga seratus persen.
Ketika kondisi air sudah sedemikian terkikis maka segala komponen gambut yang mudah terbakar tersebut mengalami kekeringan hingga sangat rentan memicu terjadinya kebakaran, jangan karena sengaja di bakar percikan api dari gesekan ranting pohon saja bisa menyebabkan terjadinya kebakarana hebat yang tidak terkendali di lahan gambut tersebut.
"Karena itu guna meminimalisir terjadinya kebakaran maka sudah saatnya mulai saat ini perusahaan yang beropersi diatas lahan gambut di Provinsi Jambi diberikan wawasan dan pengetahuan baru tentang sistem pembangunan kanalisasi baru yang aman dan bermanafaat yakni dengan membangun sistem kanal 'buka-tutup' layaknya pintu air irigasi," kata Rudi.
Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan Warsi dan IPB ke sistem kanal lahan gambut di Kalimantan, memang untuk membangun sistem kanal model baru dalam bentuk pintu air irigasi 'buka tutup' yang memang memerlukan biaya besar.
Pasalnya, kata Rusi Syaf bahwa membangun pintu air di atas tanah gambut harus benar-benar diperhitungkan secara cermat dimana tanah gambut adalah tanah yang sangat renggang dan longgar tidak mampu menahan beban berat, jadi kalau pintu air dibangun dengan material semen maka dapat dipastikan akan mampu bertahan selama satu tahun.
Berat bebannya yang akan membuat konstriksi tersebut tenggelam secara perlahan-lahan dan terus menerus hingga amblas ke dalam tanah karena itu, material yang pas untuk membangun pintu air kanal buka tutup tersebut adalah bahan fiberglas yang harganya tentu saja jauh lebih mahal tetapi tentunya bagi sebuah perusahaan yang peduli lingkungan.
Kemudian untuk produksi jangka panjangnya keberadaan pintu air kanal tersebut akan jauh lebih bermanfaat untuk mengatur tata kelola air di kebunnya dan biaya tentu saja bukan permasalahan bagi mereka.
Kemudian berdasarkan studi yang telah dilakuakn Warsi dan IPB, kanal yang dibangun masyarakat hanyalah kanal-kanal kecil berukuran satu meter dan dalam jumlah yang terbatas, jadi tidak berpengaruh terbesar dalam meningkatkan potensi terbakarnya gambut di Jambi. (Ant)