Jakarta (ANTARA Jambi) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) terus melakukan pemantapan strategi induk industri pengolahan
kayu dari hulu hingga hilir.
"Dari hasil bedah kinerja yang dilakukan oleh KLHK, melemahnya
poduktivitas industri selama ini akibat berbagai faktor fisik maupun
sosial ekonomi," ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti
Nurbaya, di Jakarta, Kamis.
Beberapa masalah mendera, seperti persepsi publik belum positif,
"interlink" industri hulu-hilir belum cukup ideal dan diantaranya juga
berciri paradoksi; rantai bisnis serta dukungan-dukungannya belum
cukup kuat seperti infrastruktur dan sumber bahan bahan baku serta
finansial.
"Apalagi bila dikaitkan dengan cukup banyaknya distorsi atau
peristiwa-peristiwa lokalitas konflik tenurial yang sedikit banyak
diantaranya dapat mengguncang usaha."
Sementara dari sisi pengusaha (APHI), disebutkan beberapa masalah
yang juga cukup signifikan yaitu permasalahan distorsi harga kayu bulat,
biaya produksi, daya saing industri yang rendah, konflik lahan, serta
indikasi ketidak-pastian usaha.
Namun, yang paling serius menyangkut konflik tenurial dan
klaim-klaim atas tanah dan klaim-klaim mengaku masyarakat lokal seperti
yang sedang terjadi sekarang ini.
"Dari kerja kebijakan satu peta, terindikasi bahwa satu poligon
wilayah perijinan terindikasi tumpang tindih. Saya sudah meminta jajaran
teknis untuk menata dengan sebaik-baiknya, bangun aturan mainnya untuk
menjadi bahan diskusi yang harus dipimpin oleh pemerintah sebagai simpul
negosiasi," tegas dia.
Aturan main tersebut sangat penting untuk dibangun sebelum nanti
akan diundang entitas-entitas bisnis yang berada dalam satu poligon
untuk penyelesaiannya.
"Posisi pemerintah sangat jelas yaitu sebagai simpul negosiasi segala
kepentingan. Oleh karena itu pemerintah akan berada pada posisi sesuai
sasaran pembangunan nasional."
Menteri Siti kembali menegaskan, bahwa pemerintah menaruh perhatian
besar terhadap industri pengolahan kayu, dan industri kehutanan secara
menyeluruh. Namun harus dapat betul-betul diletakkan dalam kerangka
pembangunan nasional secara utuh, tidak dapat lagi berdiri sendiri tanpa
keterkaitan.
Perkembangan demokratisasi,kata Menteri Siti, menuntut kita pada
upaya-upaya pembangunan termasuk pembangunan industri pengolahan kayu
dan industri kehutanan secara menyeluruh dan pendekatan yang holistik
dengan satu konsep pada pemerintah yang sekarang yaitu konsep keadilan.
Maknanya bahwa kemajuan industri dalam hal ini industri pengolahan
kayu harus sekaligus menunjukkan dan nyata-nyata membawa dan mengangkat
kemajuan masyarakat. Kemajuan dalam arti tidak hanya pendapatan tetapi
juga menjadikan usaha kecil masyarakat atau menengah sebagai skala
industri yang sistematis dan memiliki "technical know how" serta
mengarah dan menuju dan sampai pada ciri manajemen sistematis dan
modern.
Dalam 10 tahun terakhir komposisi pemanfaatan hutan antara usaha
besar dan kecil di Indonesia tidak berubah. Komposisinya adalah 97
persen untuk usaha besar dan tiga persen untuk usaha kecil. Ditambah
lagi dengan terjadinya degradasi dan konversi hutan negara.
Skema perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam
(IUPHHK-HA), hutan tanaman (IUPHHK-HT), dan tambang melalui izin pinjam
pakai kawasan hutan (IUPPKH), secara de facto telah mewujudkan konversi
hutan alam secara sistematis. Peran IUPHHK-HA dalam menghasilkan kayu
bulat selama 10 tahun terakhir telah digantikan oleh IUPHHK-HT. Dalam
waktu yang sama juga terjadi peningkatan usaha tambang (IUPPKH).
Data APHI 2013 menunjukkan sejumlah 179 perusahaan IUPHHK-HA dan 139
perusahaan IUPHHK-HT mengalami penurunan dahsyat. Apabila ini benar
terjadi akan terdapat 39 juta ha hutan produksi menjadi akses terbuka.
"Kondisi ini akan semakin mempermudah usaha-usaha masuk di hutan produksi, dan menambah masalah," jelas Menteri Siti.
Oleh karena itu, kebijakan alokasi sumber daya alam termasuk hutan
yang selama ini mendapat stigma lebih berpihak kepada korporasi, telah
mulai ditata oleh pemerintah, dengan melakukan koreksi akan keberpihakan
dalam pengembangan kebijakan alokatif sumberdaya lahan, khususnya
hutan.
"Kebijakan ini harus dilakukan untuk mewujudkan cita-cita keadilan bagi rakyat banyak," tegas dia.
Untuk itulah, salah satu dari skema perhutanan sosial yang sedang
dikembangkan oleh pemerintah akan mengait sangat erat dengan entitas
bisnis.
"Oleh karena kita mau tidak mau sekarang sudah harus mengajak usaha
masyarakat kedalam pola bisnis korporat dan fasilitasi kita bersama
untuk mengangkat small holders bergerak maju seiring dengan kemajuan
entitas bisnis, dunia usaha perkayuan kita. Ini memang harus kita
lakukan, dengan prinsip dari bapak Presiden Jokowi yaitu prinsip
keadilan," jelas Menteri Siti.
Kemajuan dunia usaha dan bisnis industri pengolahan kayu, harus
beriringan dengan kemajuan masyarakat tepi hutan untuk juga dapat maju
dari akses kelola kawasan, sebagai salah satu dari skema perhutanan
sosial.
"Konstitusi kita menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam Indonesia
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan menjadi manusia yang
produktif juga merupakan salah satu dari unsur hak azasi manusia. UUD
1945 menjamin hal tersebut. Jadi kebijakan perhutanan sosial, bukan
hanya soal perizinan semata, melainkan soal pintu masuk, akses kelola
hutan menuju kesejahteraan," jelas dia.
Menteri LHK: hutan untuk rakyat, tidak hanya korporasi
Kamis, 15 Desember 2016 14:43 WIB