Jakarta (ANTARA) - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) telah menembus Rp16.000 dalam beberapa hari terakhir. Kondisi ini sempat memunculkan kekhawatiran, terutama dari kalangan dunia usaha.
Pada awal perdagangan Selasa (16/4) atau hari kerja pertama setelah libur panjang Lebaran, kurs rupiah dibuka merosot 240 poin atau 1,51 persen menjadi Rp16.088 per dolar AS dari penutupan perdagangan sebelumnya pada 5 April 2024 sebesar Rp15.848 per dolar AS.
Pelemahan rupiah berlanjut hingga Rabu (17/4) yang ditutup melemah 44 poin atau 0,28 persen menjadi Rp16.220 per dolar AS dari yang sebelumnya sebesar Rp16.176 per dolar AS.
Namun pada Kamis (18/4) pagi, kurs rupiah menguat 43 poin atau 0,27 persen menjadi Rp16.177 per dolar AS. Rupiah diperkirakan berpotensi rebound terhadap dolar AS. Peningkatan nilai tukar rupiah pada Kamis didukung oleh aksi ambil untung (profit taking) setelah penguatan dolar AS belakangan ini.
Kondisi eksternal dinilai menjadi penyebab utama pelemahan nilai tukar rupiah. Selama periode libur Lebaran terdapat perkembangan global di mana data-data indikator ekonomi AS terlihat masih solid. Hal ini membuat ekspektasi pemotongan suku bunga Bank Sentral AS atau The Fed menjadi bergeser lebih lama dalam kisaran September 2024.
Pelemahan rupiah juga semakin dibayangi tensi geopolitik di kawasan Timur Tengah pasca-penyerangan Iran ke Israel pada Sabtu (13/4). Ketegangan antara Iran dan Israel pun kian memperparah ketidakpastian global.
Selain itu, dari sisi internal, pelemahan rupiah juga dikarenakan oleh faktor atau pola musiman di mana pembayaran deviden dan kupon ke non-resident serta pembayaran pokok utang luar negeri (ULN) akan meningkat atau memuncak setiap kuartal kedua di tiap tahunnya.
Melihat kondisi tersebut, Head of Macroeconomic and Financial Market PermataBank, Faisal Rachman, memandang bahwa tekanan rupiah masih cukup tinggi dalam jangka pendek. Namun di sisi lain, masih ada peluang penguatan rupiah kembali mendekati akhir tahun.
Meski rupiah telah menyentuh Rp16.000 dolar per AS, pelemahan rupiah saat ini tidak seperti periode pandemi COVID-19. Sebagaimana diketahui, pandemi kala itu memang membawa dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.
Posisi pelemahan rupiah kali ini juga jauh berbeda jika dibandingkan dengan krisis tahun 1998. Saat ini kondisi fundamental ekonomi Indonesia dinilai masih cukup baik. Apalagi mengingat tekanan rupiah kali ini cenderung bersumber dari ketidakpastian global.
“Saat ini, fundamental ekonomi yang cukup solid masih mengindikasikan Indonesia masih bisa tumbuh kisaran 5 persen di tahun ini. Jadi, pasar Indonesia masih cukup menarik dan ketika nanti sentimen risk-on meningkat, Indonesia berpeluang untuk menerima capital inflow,” kata Faisal.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menegaskan bahwa fundamental perekonomian Indonesia cukup kuat yang ditunjukkan dari pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen dan inflasi yang masih terjaga. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian tumbuh 5,05 persen year on year (yoy) sepanjang tahun 2023. Sedangkan tingkat inflasi tahunan pada Maret 2024 sebesar 3,05 persen yoy.
Merespons kondisi terkini, Airlangga pun menggarisbawahi pentingnya menjaga stabilitas keuangan terutama dalam hal ini untuk mengantisipasi dampak konflik antara Iran dan Israel yang menyebabkan kemerosotan nilai tukar mata uang terhadap dolar AS.
Dampak pelemahan rupiah
Pelemahan rupiah yang terus berlanjut akan memberikan dampak langsung pada sektor-sektor yang banyak melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan input produksi seperti industri makanan dan minuman (mamin), farmasi, dan kimia.
Merespons pelemahan rupiah yang terjadi belakangan, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) pun berharap BI dapat segera melakukan intervensi untuk memulihkan nilai tukar rupiah sehingga dampak terhadap sektor mamin tidak terlalu berat.
Pasalnya, harga pokok produksi dan biaya logistik di sektor mamin turut terpengaruh akibat pelemahan rupiah. Hal ini mengingat pelaku usaha memerlukan banyak bahan baku yang harus diimpor.
Di sisi lain pada sektor perbankan, fluktuasi nilai tukar yang moderat tidak memberi pengaruh signifikan terhadap bisnis pelaku industri perbankan.
Dari pihak perbankan, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) misalnya, menyampaikan keyakinannya bahwa regulator dan pemerintah selalu merespons pergerakan nilai tukar rupiah yang terjadi secara terukur, sehingga hal tersebut tidak berpengaruh negatif terhadap industri perbankan.
Apabila pelemahan rupiah terus berlanjut, bank-bank yang memiliki portofolio bisnis luar negeri dalam porsi besar atau terkait kegiatan treasury, trade financing, dan international banking yang berhubungan erat dengan valas, kemungkinan akan merasakan dampaknya secara langsung.
Namun data terakhir menunjukkan, eksposur neto untuk valas di perbankan masih terbilang kecil dengan rasio posisi devisa neto (PDN) yang sebesar 1,44 persen di akhir tahun 2023 atau masih jauh di bawah ambang batas atau threshold 20 persen.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, menilai penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) valas terhadap total DPK di industri perbankan saat ini juga masih relatif rendah. Begitu pula dari sisi penyaluran kredit dalam valas.
Oleh sebab itu, industri perbankan tidak terkena dampak signifikan atas pelemahan rupiah yang terjadi belakangan dan laba bank juga tidak ikut tergerus. Namun risiko lain juga bisa muncul, yaitu peningkatan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) pada bank-bank yang menyalurkan kredit valas dalam porsi besar, terutama ke sektor-sektor yang rentan terhadap pelemahan ekonomi global.
Jurus halau pelemahan rupiah
Belakangan ini, muncul opsi terbuka untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI-rate. Dengan menaikkan suku bunga acuan, harapannya dapat menahan laju pelemahan rupiah agar tak terperosok semakin dalam.
Apalagi, ketidakpastian di pasar keuangan global saat ini masih sangat tinggi dan dapat dengan cepat berubah drastis. Kondisi geopolitik dan antisipasi rilis beberapa data di AS pun menjadi sangat penting dan berpengaruh.
Namun, ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan periode 2014-2016, Bambang Brodjonegoro, menilai keputusan untuk menaikkan BI-rate bukanlah langkah yang tepat mengingat penguatan dolar AS terjadi terhadap hampir semua mata uang negara lainnya.
Sedangkan Faisal, ekonom dari PermataBank, memandang bahwa langkah untuk menaikkan suku bunga acuan akan menjadi opsi terakhir bagi BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Sebagai informasi, BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen pada Maret lalu. Pada pekan depan atau pada 23-24 April 2024, BI dijadwalkan kembali menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang salah satunya untuk menetapkan besaran suku bunga acuan.
BI, sebagai bank sentral yang mengatur kebijakan moneter di Indonesia, sebenarnya memiliki langkah andalan untuk menahan laju pelemahan rupiah salah satunya yaitu dengan melakukan intervensi rangkap tiga atau triple intervention.
Untuk menjaga kestabilan rupiah kali ini, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter (DPM) BI, Edi Susianto, mengatakan bahwa BI menjaga keseimbangan supply-demand valuta asing di pasar melalui triple intervention yang dilakukan terutama di spot dan domestic non-deliverable forward (DNDF).
Selain itu, BI juga meningkatkan daya tarik aset rupiah untuk mendorong aliran modal masuk asing atau capital inflow seperti lewat daya tarik Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan hedging cost.
Faisal, ekonom PermataBank, menilai bahwa langkah-langkah dilakukan BI saat ini sudah tepat karena bank sentral itu memiliki amunisi yang cukup kuat untuk melakukan intervensi.
Hal ini terbukti dengan besaran depresiasi rupiah pada Rabu (17/4) yang lebih kecil yaitu sebesar 0,28 persen pada penutupan perdagangan jika dibandingkan pada Selasa (16/4) yang dibuka merosot sebesar 1,51 persen. Juga pada Kamis pagi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS meningkat 0,27 persen dan diperkirakan akan rebound.
Untuk menahan pelemahan rupiah lebih lanjut, Bl juga sebenarnya masih mempunyai amunisi yang cukup banyak dan kuat ditopang oleh cadangan devisa yang masih terbilang relatif tinggi sehingga Bl masih bisa akan terus masuk dan melakukan intervensi ke pasar.
Menurut BI, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2024 tetap tinggi sebesar 140,4 miliar dolar AS meski menurun dibandingkan posisi pada akhir Februari 2024 sebesar 144,0 miliar dolar AS.
BI pun menilai, cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Di sisi lain, upaya menjaga kestabilan rupiah secara berkelanjutan tak hanya dititikberatkan pada otoritas moneter. Yang tak boleh terlewatkan, upaya penguatan rupiah kembali perlu didukung oleh langkah-langkah strategis pemerintah.
Dalam hal ini, pemerintah harus menjaga inflasi dengan menurunkan inflasi pangan. Sebagaimana diketahui, inflasi pangan merupakan faktor penyebab inflasi Indonesia yang saat ini kembali dalam tren meningkat.
Dengan inflasi yang dapat dijaga stabil dan rendah, maka real return dari instrumen keuangan Indonesia akan cenderung lebih menarik bagi investor asing. Posisi ini baik bagi Indonesia saat banyak negara masih berjuang dengan inflasi yang tinggi di atas target.
Menimbang opsi terbaik untuk menjaga kestabilan rupiah
Kamis, 18 April 2024 13:56 WIB