Siapa dalang teror harimau "Bonita"
Sabtu, 21 April 2018 17:54 WIB
Pekanbaru, (Antaranews Jambi) - Bonita adalah sebuah kasus unik tentang konflik manusia dengan harimau Sumatera. Proses penangkapannya juga menjadi operasi penyelamatan harimau liar yang paling lama di Indonesia, karena berlangsung selama empat bulan sejak Januari 2018.
Dalam periode tersebut, harimau betina itu telah menewaskan dua orang. Korban pertama adalah Jumiati, pekerja di perusahaan kelapa sawit PT Tabung Haji Indo Plantation (THIP) pada bulan Januari. Bonita memang kerap kali muncul di perusahaan sawit milik Malaysia tersebut pada siang hari. Kemudian korban kedua adalah warga Pulau Muda bernama Yusri, yang diterkam saat membangun rumah sarang burung walet pada bulan Maret.
Keanehan perilaku Bonita yang menyerang manusia, berkeliaran pada waktu siang dan tidak takut dengan orang, menjadi perhatian khusus dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menteri memerintahkan agar dibentuk tim khusus untuk menangkap Bonita. Tim Gabungan Penanganan Harimau Sumatera di bawah naungan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau itu berisi beragam pemangku kepentingan, mulai dari Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir, Kodim Indragiri Hilir, Polres Indragiri Hilir, Yayasan Arsari Djojohadikusumo, WWF Sumatera Program, Forum Harimau Kita, Pusat Konservasi Harimau Sumatera (PKHS), Vesswic, PT Arara Abadi dan PT THIP, serta warga setempat.
Tugas tim beragam, tidak hanya fokus menangkap dengan memasang perangkap dan mendatangkan pawang dari Aceh dan Kanada. Tim gabungan juga meredam kemarahan masyarakat yang ingin membalas dendam dan mensterilkan area jelajah harimau dari jerat-jerat yang ditebar pemburu.
Baca juga: BKSDA Riau tembak bius harimau Bonita
Semua upaya tersebut tidak langsung berhasil, bahkan Bonita sempat melarikan diri meski sudah ditembak bius. Tim baru berhasil benar-benar membius dan menangkap Bonita pada Jumat pagi tanggal 20 April, atau empat bulan setelah operasi berlangsung.
Baca juga: ZSL: Kantong habitat harimau sumatera semakin berkurang
Setelah Bonita benar-benar bisa diamankan, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno, langsung datang dari Jakarta ke Riau untuk memeriksanya. Ia memberikan apresiasi kepada semua pihak atas ditangkapnya satwa yang dilindungi undang-undang tersebut, yang populasinya di Sumatera diperkirakan tinggal 400 hingga 500 ekor lagi.
"Ini upaya penyelamatan paling panjang untuk harimau Sumatera, dan jadi perhatian khusus Menteri KLHK dan juga Presiden Joko Widodo," katanya.
Ia memerintahkan agar tim gabungan keberadaanya terus dilanjutkan, dan Riau akan menjadi percontohan penanganan konflik harimau-manusia di Indonesia. Keberadaan tim tersebut juga penting karena ia yakin penyebab terjadinya kasus Bonita adalah akibat ketidakseimbangan jumlah makanan untuk predator tertinggi itu, akibat perubahan besar-besaran bentuk hutan sebagai habitat aslinya.
Baca juga: BBKSDA Riau redam konflik pasca penyerangan harimau
Baca juga: Harimau Sumatera Berfungsi Menjaga Keseimbangan Ekosistem
"Kita punya banyak pekerjaan rumah konflik satwa dengan manusia. Harimau kalau sampai turun (keluar hutan) sebabnya ada dua. Pertama, dia kelaparan. Dan kedua, dia terganggu keluarganya, anaknya terbunuh atau seperti itu. Pasti itu penyebabnya berdasarkan pengalaman saya di Leuser (Aceh)," kata Wiratno.
Daerah Pelangiran sebenarnya merupakan bagian dari habitat harimau Sumatera di lansekap Kerumutan. Pemerintah memang telah menetapkan Kawasan Suaka Margasatwa Kerumutan, namun di sekelilingnya sudah terdapat banyak perusahaan kelapa sawit dan industri kehutanan.
Karena itu, Wiratno berani menyatakan kasus Bonita bukan menjadi konflik terakhir di daerah itu, selama masih ada perburuan, pola pengusiran yang keliru, dan jumlah hewan untuk sumber makanan harimau di daerah itu tidak dijaga.
"Karena itu jangan ada penembakan dan perburuan lagi, yang salah itu perilaku masyarakatnya. Karena itu patroli gabungan harus terus dilanjutkan dan kita sudah bikin pusat pengaduan apabila terjadi konflik lagi," katanya.
Perubahan habitat
Aktivitas lingkungan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) sudah menduga munculnya fenomena harimau Bonita karena perubahan bentang alam yang massif di habitat satwa belang itu. Jikalahari menyayangkan kinerja pemerintah pusat dan daerah yang terkesan lamban dalam melakukan review AMDAL dan izin lingkungan korproasi hutan tanaman industri (HTI) dan sawit di lansekap Kerumutan.
Koordinator Jikalahari, Woro Supartinah menyatakan, konflik satwa dan manusia banyak terjadi disebabkan terganggunya habitat satwa oleh aktivitas konsesi HTI dan perusahaan sawit.
Sejak kematian Jumiati Januari lalu, Jikalahari telah berupaya mengingatkan pemerintah agar melakukan upaya yang serius untuk melindungi warga dari potensi konflik satwa dan manusia.
Jikalahari menilai, konflik akan terus terjadi selama pemerintah belum serius melakukan evaluasi dan pemulihan Kawasan Suaka Margasatwa Kerumutan.
Lansekap Kerumutan salah satunya terdiri atas Kawasan Suaka Margasatwa berada di Kabupaten Pelalawan, Indaragiri Hulu dan Indragiri Hilir, dengan luas sekitar 120.000 hektare.
Di dalam lansekap Kerumutan ada 15 korporasi HTI dan HPH dan tujuh korporasi sawit. Perusahaan kehutanan itu antara lain PT Selaras Abadi Utama, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitra Taninusa Sejati, PT Bukit Raya Pelalawan, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Kembang Selaras, PT Arara Abadi, PT Satria Perkasa Agung, PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa, PT Bina Duta Laksana, PT Sumatera Riang Lestari, PT Bhara Induk, PT Riau Indo Agropalma, PT Bina Daya Bentara dan PT Inhil Hutani Permai.
Sementara itu, tujuh korporasi perkebunan kelapa sawita antara lain PT Tabung Haji Indo plantation (THIP), PT Gandaerah Hendana, PT Guntung Hasrat Makmur, PT Guntung Idaman Nusa, PT Bhumireksanusa Sejati, PT Riau Sakti Trans Mandiri dan PT Riau Sakti United Plantation dengan dua konsesi.
Pada lansekap itu hanya menyisakan KSM Kerumutan dengan luas sekitar 93.000 hektare, sebagai satu-satunya lokasi konservasi bagi satwa liar di kawasan tersebut.
"Kematian Yusri dan Jumiati bukti bahwa korporasi HTI dan Sawit selain merusak hutan juga merusak habitat Harimau, dampaknya konflik Harimau tak bisa dihindarkan," katanya.
Hal itu juga tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi hak hidup sebagai hak asasi manusia. Kematian Yusri dan Jumiati membuktikan bahwa pemerintah masih abai terhadap pemenuhan.
Kepala BBKSDA Riau Suharyono menyatakan, pihaknya akan mengupayakan pencegahan konflik untuk terus menjadi fokus utama. Kasus Bonita seakan menjadi pintu masuk untuk melakukan pembenahan untuk mencegah konflik yang melibatkan semua pihak.
Ia mengakui masih ada harimau liar lain yang berkeliaran hingga ke area perusahaan, salah satunya harimau betina yang diberi nama Boni, namun sifatnya berbeda karena tidak menyerang manusia. Akan sulit mencegah harimau liar untuk tidak masuk ke area perusahaan, karena lokasi tersebut merupakan satu kesatuan Lansekap Kerumutan yang menjadi wilayah jelajah predator itu.
Berdasarkan data WWF, wilayah jelajah harimau Sumatera di Riau lebih kurang mencapai 60 kilometer persegi.
Pihak perusahaan PT THIP juga merasa tidak ingin disalahkan sebagai penyebab munculnya kasus Bonita. Syahri, perwakilan PT THIP mengatakan perusahaan sawit asal Malaysia tersebut mengantongi izin lengkap sejak beroperasi tahun 1995. Sedangkan, kasus Bonita mulai muncul pada 2017, hingga akhirnya menewaskan salah satu pekerjanya pada Januari 2018.
Bonita Diteliti
Sementara itu, Yayasan Arsari Djojohadikusumo menyatakan akan meneliti secara ilmiah penyimpangan perilaku Bonita. Pihak yayasan langsung meminta izin kepada Menteri LHK Siti Nurbaya agar bisa merebilitasi dan meneliti perilaku satwa belang itu.
"Ini (alasan) kenapa kami kirimkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan supaya bisa merehabilitasi Bonita karen ada perubahan perilaku. Ini kesempatan untuk diteliti lebih lanjut," kata Direktur Eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo, Catrini Pratihari Kubontubuh.
Yayasan Arsari ikut dalam tim gabungan yang dibentuk BBKSDA Riau untuk menangkap Bonita, dengan menerjunkan dua dokter hewan andalannya. Harimau betina yang diperkirakan berusia empat tahun itu, kini dalam proses evakuasi menuju Pusat Rehabilitasi Satwa Harimau Sumatera (PR-HSD) di Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Fasilitas tersebut didesain sebagai pusat penyelamatan, rehabilitasi dan lepas liar harimau Sumatera dan satwa endemik Sumatera lainnya.
Selama proses evakuasi Bonita menunjukkan perilaku yang berbeda dengan spesies sejenis pada umumnya. Satwa terancam punah itu sangat tenang dan hanya sekali mengaum pelan selama diperjalanan.
Dalam kasus Bonita, saat translokasi harimau sumatera tidak banyak mengaum. Bonita hanya sekali mengaum dan tidak keras, padahal biasanya mengaum ketika diberi senter ke arah mata.
"Bonita terlihat asyik jilat-jilati kakinya, seperti merasa nyaman. Mungkin ini bagian dari perubahan perilaku," lanjut Catrini.
Bonita selama ini juga kerap keluar pada siang hari, berbeda dengan spesiesnya yang lebih suka keluar pada saat hari gelap. Selain itu, Bonita juga tidak takut ketika berpapasan langsung dengan manusia.
Riset terhadap perubahan perilaku harimau Sumatera ini akan sangat penting bagi ilmu pengetahuan, karena riset seperti itu belum pernah dilakukan di Indonesia. Menurut dia, riset terhadap perilaku harimau baru dilakukan di Rusia dan India.
"Hasilnya (riset) akan jadi sumbangan besar bagi Indonesia dan dunia," katanya.
Setiap makhluk hidup dianugrahi kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan, yang ketika ia terus menerus ditekan dan dipojokan, akan berpotensi menghantam balik ke penyerangnya demi untuk bertahan hidup. Bukan tidak mungkin, hal itu menjadi pemicu lahirnya fenomena Bonita.
Tanpa ada upaya serius semua pihak untuk mencegah konflik dan menyelamatkan hutan, perseteruan harimau dengan manusia akan terus terjadi sampai satwa langka itu benar-benar punah di habitatnya. Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab?
Dalam periode tersebut, harimau betina itu telah menewaskan dua orang. Korban pertama adalah Jumiati, pekerja di perusahaan kelapa sawit PT Tabung Haji Indo Plantation (THIP) pada bulan Januari. Bonita memang kerap kali muncul di perusahaan sawit milik Malaysia tersebut pada siang hari. Kemudian korban kedua adalah warga Pulau Muda bernama Yusri, yang diterkam saat membangun rumah sarang burung walet pada bulan Maret.
Keanehan perilaku Bonita yang menyerang manusia, berkeliaran pada waktu siang dan tidak takut dengan orang, menjadi perhatian khusus dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menteri memerintahkan agar dibentuk tim khusus untuk menangkap Bonita. Tim Gabungan Penanganan Harimau Sumatera di bawah naungan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau itu berisi beragam pemangku kepentingan, mulai dari Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir, Kodim Indragiri Hilir, Polres Indragiri Hilir, Yayasan Arsari Djojohadikusumo, WWF Sumatera Program, Forum Harimau Kita, Pusat Konservasi Harimau Sumatera (PKHS), Vesswic, PT Arara Abadi dan PT THIP, serta warga setempat.
Tugas tim beragam, tidak hanya fokus menangkap dengan memasang perangkap dan mendatangkan pawang dari Aceh dan Kanada. Tim gabungan juga meredam kemarahan masyarakat yang ingin membalas dendam dan mensterilkan area jelajah harimau dari jerat-jerat yang ditebar pemburu.
Baca juga: BKSDA Riau tembak bius harimau Bonita
Semua upaya tersebut tidak langsung berhasil, bahkan Bonita sempat melarikan diri meski sudah ditembak bius. Tim baru berhasil benar-benar membius dan menangkap Bonita pada Jumat pagi tanggal 20 April, atau empat bulan setelah operasi berlangsung.
Baca juga: ZSL: Kantong habitat harimau sumatera semakin berkurang
Setelah Bonita benar-benar bisa diamankan, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno, langsung datang dari Jakarta ke Riau untuk memeriksanya. Ia memberikan apresiasi kepada semua pihak atas ditangkapnya satwa yang dilindungi undang-undang tersebut, yang populasinya di Sumatera diperkirakan tinggal 400 hingga 500 ekor lagi.
"Ini upaya penyelamatan paling panjang untuk harimau Sumatera, dan jadi perhatian khusus Menteri KLHK dan juga Presiden Joko Widodo," katanya.
Ia memerintahkan agar tim gabungan keberadaanya terus dilanjutkan, dan Riau akan menjadi percontohan penanganan konflik harimau-manusia di Indonesia. Keberadaan tim tersebut juga penting karena ia yakin penyebab terjadinya kasus Bonita adalah akibat ketidakseimbangan jumlah makanan untuk predator tertinggi itu, akibat perubahan besar-besaran bentuk hutan sebagai habitat aslinya.
Baca juga: BBKSDA Riau redam konflik pasca penyerangan harimau
Baca juga: Harimau Sumatera Berfungsi Menjaga Keseimbangan Ekosistem
"Kita punya banyak pekerjaan rumah konflik satwa dengan manusia. Harimau kalau sampai turun (keluar hutan) sebabnya ada dua. Pertama, dia kelaparan. Dan kedua, dia terganggu keluarganya, anaknya terbunuh atau seperti itu. Pasti itu penyebabnya berdasarkan pengalaman saya di Leuser (Aceh)," kata Wiratno.
Daerah Pelangiran sebenarnya merupakan bagian dari habitat harimau Sumatera di lansekap Kerumutan. Pemerintah memang telah menetapkan Kawasan Suaka Margasatwa Kerumutan, namun di sekelilingnya sudah terdapat banyak perusahaan kelapa sawit dan industri kehutanan.
Karena itu, Wiratno berani menyatakan kasus Bonita bukan menjadi konflik terakhir di daerah itu, selama masih ada perburuan, pola pengusiran yang keliru, dan jumlah hewan untuk sumber makanan harimau di daerah itu tidak dijaga.
"Karena itu jangan ada penembakan dan perburuan lagi, yang salah itu perilaku masyarakatnya. Karena itu patroli gabungan harus terus dilanjutkan dan kita sudah bikin pusat pengaduan apabila terjadi konflik lagi," katanya.
Perubahan habitat
Aktivitas lingkungan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) sudah menduga munculnya fenomena harimau Bonita karena perubahan bentang alam yang massif di habitat satwa belang itu. Jikalahari menyayangkan kinerja pemerintah pusat dan daerah yang terkesan lamban dalam melakukan review AMDAL dan izin lingkungan korproasi hutan tanaman industri (HTI) dan sawit di lansekap Kerumutan.
Koordinator Jikalahari, Woro Supartinah menyatakan, konflik satwa dan manusia banyak terjadi disebabkan terganggunya habitat satwa oleh aktivitas konsesi HTI dan perusahaan sawit.
Sejak kematian Jumiati Januari lalu, Jikalahari telah berupaya mengingatkan pemerintah agar melakukan upaya yang serius untuk melindungi warga dari potensi konflik satwa dan manusia.
Jikalahari menilai, konflik akan terus terjadi selama pemerintah belum serius melakukan evaluasi dan pemulihan Kawasan Suaka Margasatwa Kerumutan.
Lansekap Kerumutan salah satunya terdiri atas Kawasan Suaka Margasatwa berada di Kabupaten Pelalawan, Indaragiri Hulu dan Indragiri Hilir, dengan luas sekitar 120.000 hektare.
Di dalam lansekap Kerumutan ada 15 korporasi HTI dan HPH dan tujuh korporasi sawit. Perusahaan kehutanan itu antara lain PT Selaras Abadi Utama, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitra Taninusa Sejati, PT Bukit Raya Pelalawan, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Kembang Selaras, PT Arara Abadi, PT Satria Perkasa Agung, PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa, PT Bina Duta Laksana, PT Sumatera Riang Lestari, PT Bhara Induk, PT Riau Indo Agropalma, PT Bina Daya Bentara dan PT Inhil Hutani Permai.
Sementara itu, tujuh korporasi perkebunan kelapa sawita antara lain PT Tabung Haji Indo plantation (THIP), PT Gandaerah Hendana, PT Guntung Hasrat Makmur, PT Guntung Idaman Nusa, PT Bhumireksanusa Sejati, PT Riau Sakti Trans Mandiri dan PT Riau Sakti United Plantation dengan dua konsesi.
Pada lansekap itu hanya menyisakan KSM Kerumutan dengan luas sekitar 93.000 hektare, sebagai satu-satunya lokasi konservasi bagi satwa liar di kawasan tersebut.
"Kematian Yusri dan Jumiati bukti bahwa korporasi HTI dan Sawit selain merusak hutan juga merusak habitat Harimau, dampaknya konflik Harimau tak bisa dihindarkan," katanya.
Hal itu juga tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi hak hidup sebagai hak asasi manusia. Kematian Yusri dan Jumiati membuktikan bahwa pemerintah masih abai terhadap pemenuhan.
Kepala BBKSDA Riau Suharyono menyatakan, pihaknya akan mengupayakan pencegahan konflik untuk terus menjadi fokus utama. Kasus Bonita seakan menjadi pintu masuk untuk melakukan pembenahan untuk mencegah konflik yang melibatkan semua pihak.
Ia mengakui masih ada harimau liar lain yang berkeliaran hingga ke area perusahaan, salah satunya harimau betina yang diberi nama Boni, namun sifatnya berbeda karena tidak menyerang manusia. Akan sulit mencegah harimau liar untuk tidak masuk ke area perusahaan, karena lokasi tersebut merupakan satu kesatuan Lansekap Kerumutan yang menjadi wilayah jelajah predator itu.
Berdasarkan data WWF, wilayah jelajah harimau Sumatera di Riau lebih kurang mencapai 60 kilometer persegi.
Pihak perusahaan PT THIP juga merasa tidak ingin disalahkan sebagai penyebab munculnya kasus Bonita. Syahri, perwakilan PT THIP mengatakan perusahaan sawit asal Malaysia tersebut mengantongi izin lengkap sejak beroperasi tahun 1995. Sedangkan, kasus Bonita mulai muncul pada 2017, hingga akhirnya menewaskan salah satu pekerjanya pada Januari 2018.
Bonita Diteliti
Sementara itu, Yayasan Arsari Djojohadikusumo menyatakan akan meneliti secara ilmiah penyimpangan perilaku Bonita. Pihak yayasan langsung meminta izin kepada Menteri LHK Siti Nurbaya agar bisa merebilitasi dan meneliti perilaku satwa belang itu.
"Ini (alasan) kenapa kami kirimkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan supaya bisa merehabilitasi Bonita karen ada perubahan perilaku. Ini kesempatan untuk diteliti lebih lanjut," kata Direktur Eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo, Catrini Pratihari Kubontubuh.
Yayasan Arsari ikut dalam tim gabungan yang dibentuk BBKSDA Riau untuk menangkap Bonita, dengan menerjunkan dua dokter hewan andalannya. Harimau betina yang diperkirakan berusia empat tahun itu, kini dalam proses evakuasi menuju Pusat Rehabilitasi Satwa Harimau Sumatera (PR-HSD) di Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Fasilitas tersebut didesain sebagai pusat penyelamatan, rehabilitasi dan lepas liar harimau Sumatera dan satwa endemik Sumatera lainnya.
Selama proses evakuasi Bonita menunjukkan perilaku yang berbeda dengan spesies sejenis pada umumnya. Satwa terancam punah itu sangat tenang dan hanya sekali mengaum pelan selama diperjalanan.
Dalam kasus Bonita, saat translokasi harimau sumatera tidak banyak mengaum. Bonita hanya sekali mengaum dan tidak keras, padahal biasanya mengaum ketika diberi senter ke arah mata.
"Bonita terlihat asyik jilat-jilati kakinya, seperti merasa nyaman. Mungkin ini bagian dari perubahan perilaku," lanjut Catrini.
Bonita selama ini juga kerap keluar pada siang hari, berbeda dengan spesiesnya yang lebih suka keluar pada saat hari gelap. Selain itu, Bonita juga tidak takut ketika berpapasan langsung dengan manusia.
Riset terhadap perubahan perilaku harimau Sumatera ini akan sangat penting bagi ilmu pengetahuan, karena riset seperti itu belum pernah dilakukan di Indonesia. Menurut dia, riset terhadap perilaku harimau baru dilakukan di Rusia dan India.
"Hasilnya (riset) akan jadi sumbangan besar bagi Indonesia dan dunia," katanya.
Setiap makhluk hidup dianugrahi kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan, yang ketika ia terus menerus ditekan dan dipojokan, akan berpotensi menghantam balik ke penyerangnya demi untuk bertahan hidup. Bukan tidak mungkin, hal itu menjadi pemicu lahirnya fenomena Bonita.
Tanpa ada upaya serius semua pihak untuk mencegah konflik dan menyelamatkan hutan, perseteruan harimau dengan manusia akan terus terjadi sampai satwa langka itu benar-benar punah di habitatnya. Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab?