Jakarta (Antaranews Jambi) - Aksi heroik Yohanes "Joni" Ande Kala Marcal (14), bocah pemanjat tiang bendera di Atambua, Nusa Tenggara Timur menyentuh hati banyak orang.
Ia bahkan diundang langsung oleh untuk datang ke Jakarta oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.
Bocah yang biasa disapa Joni itu bertindak spontan untuk memperbaiki pengait tali agar Merah Putih bisa berkibar saat upacara peringatan kemerdekaan RI ke-73 di kampung halamannya.
Hari ini adalah kali pertama bungsu dari sembilan bersaudara itu menginjakkan kaki ke ibu kota. Ia berdiri di samping ibu bapaknya ketika tiba di Kementerian Pemuda dan Olahraga, Jakarta, melayani permintaan wartawan yang ingin mengabadikannya lewat kamera.
Walau ada gugup yang menyelimuti wajahnya, Joni tetap tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih.
Remaja yang lahir di Desa Silawan pada 10 Oktober 2004 itu mengenakan seragam SMP, kemeja putih gombrong yang ujung tangannya menutupi siku, dengan celana pendek biru yang menutupi dengkul.
Kakinya dibalut dengan kaos kaki putih dan sepatu hitam mengilat yang terlihat masih baru. Selendang tenun merah menghiasi lehernya.
Kepada para wartawan, Joni mengaku baru pertama kali menaiki pesawat terbang.
"Senang," katanya sambil tersenyum lebar, ketika ditanya bagaimana perasaannya naik pesawat.
Joni sempat bercerita detik-detik sebelum dia spontan memanjat tiang bendera.
Baca juga: Cerita Johanis si bocah pemanjat tiang bendera
Saat upacara itu, Joni sedang berada di tenda kesehatan karena sakit perut. Di sana dia mendengar pengumuman dari wakil bupati yang mencari siapa pun yang bisa membetulkan tali di tiang bendera.
"Saya langsung lari keluar, buka sepatu dan naik tiang bendera, gigit tali, turun ke bawah," kata Joni.
Tak ada rasa takut ketika memanjat karena selama ini dia sudah terbiasa memanjat pohon.
"Pohon pinang, pohon asam, kelapa," kata bocah yang bercita-cita jadi tentara itu.
Kepiawaiannya memanjat tiang membuat Imam Nahrawi mencetuskan akan meminta Pengurus Besar Panjat Tebing di Indonesia untuk melihat potensinya.
Dengan polosnya, Joni mengaku tidak berminat jadi atlet panjat tebing, dia masih tetap ingin jadi seorang tentara, cita-citanya sejak lama.
Di kantor Kemenpora, Joni juga diajak masuk ke ruangan pribadi Imam, juga duduk di kursi empuknya. Selama beberapa saat dia mendadak jadi Menpora, menerima "laporan" dari Imam yang berubah jadi "anak buah".Ia bahkan diundang langsung oleh untuk datang ke Jakarta oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.
Bocah yang biasa disapa Joni itu bertindak spontan untuk memperbaiki pengait tali agar Merah Putih bisa berkibar saat upacara peringatan kemerdekaan RI ke-73 di kampung halamannya.
Hari ini adalah kali pertama bungsu dari sembilan bersaudara itu menginjakkan kaki ke ibu kota. Ia berdiri di samping ibu bapaknya ketika tiba di Kementerian Pemuda dan Olahraga, Jakarta, melayani permintaan wartawan yang ingin mengabadikannya lewat kamera.
Walau ada gugup yang menyelimuti wajahnya, Joni tetap tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih.
Remaja yang lahir di Desa Silawan pada 10 Oktober 2004 itu mengenakan seragam SMP, kemeja putih gombrong yang ujung tangannya menutupi siku, dengan celana pendek biru yang menutupi dengkul.
Kakinya dibalut dengan kaos kaki putih dan sepatu hitam mengilat yang terlihat masih baru. Selendang tenun merah menghiasi lehernya.
Kepada para wartawan, Joni mengaku baru pertama kali menaiki pesawat terbang.
"Senang," katanya sambil tersenyum lebar, ketika ditanya bagaimana perasaannya naik pesawat.
Joni sempat bercerita detik-detik sebelum dia spontan memanjat tiang bendera.
Baca juga: Cerita Johanis si bocah pemanjat tiang bendera
Saat upacara itu, Joni sedang berada di tenda kesehatan karena sakit perut. Di sana dia mendengar pengumuman dari wakil bupati yang mencari siapa pun yang bisa membetulkan tali di tiang bendera.
"Saya langsung lari keluar, buka sepatu dan naik tiang bendera, gigit tali, turun ke bawah," kata Joni.
Tak ada rasa takut ketika memanjat karena selama ini dia sudah terbiasa memanjat pohon.
"Pohon pinang, pohon asam, kelapa," kata bocah yang bercita-cita jadi tentara itu.
Kepiawaiannya memanjat tiang membuat Imam Nahrawi mencetuskan akan meminta Pengurus Besar Panjat Tebing di Indonesia untuk melihat potensinya.
Dengan polosnya, Joni mengaku tidak berminat jadi atlet panjat tebing, dia masih tetap ingin jadi seorang tentara, cita-citanya sejak lama.
Dia meninggalkan jejak tulisan di buku yang berada di atas meja Imam. Joni menulis nama panjang, juga pesan untuk para pelajar Indonesia.
"Pesan dari Joni: anak Indonesia harus rajin belajar," tulis Joni yang juga membubuhkan tanda tangan yang terdiri dari tulisan sambung.
Petualangan Joni di ibu kota tak berakhir di Kemenpora. Malam ini, dia akan diajak menghadiri upacara pembukaan pesta olahraga Asian Games 2018 di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Imam berjanji akan membawanya berkeliling venue pertandingan Asian Games.
Senin mendatang, Joni akan dipertemukan dengan Presiden Joko Widodo.
Dia juga dijamin bisa menikmati jalannya pertandingan sepak bola, olahraga favoritnya. Dari semua pemain sepak bola, ada satu yang paling dia kagumi.
"Evan Dimas," kata Joni yang menyatakan ingin bertemu dengan idolanya.
Keberanian Joni menimbulkan decak kagum setelah videonya memanjat jadi viral di dunia maya.
Banyak pihak langsung memberikan apresiasi atas aksi Joni.
Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto memberikan beasiswa hingga lulus SMA. Setelah itu, dia akan mendapat prioritas apabila masih ingin jadi Prajurit TNI.
Baca juga: Panglima TNI berikan beasiswa kepada Joni
Baca juga: PLN berikan beasiswa bocah pemanjat tiang bendera
Pendidikan Joni hingga meraih gelar sarjana di perguruan tinggi juga dijamin oleh PLN yang bersedia membiayai biaya sekolahnya.
"Kami senang dan bangga," kata ayah Joni, Victorino Fahik Marschal.
Joni diundang ke Jakarta bersama kedua orangtuanya, Victorino serta istrinya Lorensa Gama. Ia berangkat dari Bandara El Tari Kupang pada Sabtu (18/8) pagi ini.
Kedua orangtua Joni adalah merupakan warga eks Timor Timur yang memilih menetap dan hidup di Indonesia setelah eksodus pada Agustus 1999 pascareferendum di bekas provinsi ke-27 Indonesia itu.