Jakarta (ANTARA) - Sidang kedua perkara sengketa hasil Pemilu Presiden 2019 digelar oleh Mahkamah Konstitusi pada Selasa (18/6), dibuka pada pukul 09.00 WIB dan ditutup pada pukul 17.24 WIB.
Sidang dengan dua kali masa skors ini beragendakan mendengarkan jawaban pihak termohon yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), keterangan pihak terkait yaitu pihak Jokowi-Ma'ruf, dan keterangan pihak Bawaslu.
Pihak pertama yang memberikan keterangan adalah KPU. Dalam keterangannya KPU secara tegas menolak permohonan tersebut, karena dianggap telah melanggar hukum acara di MK.
Berdasarkan hukum acara di MK yang tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 4/2018, perkara sengketa perselisihan hasil pemilu presiden tidak diperkenankan untuk melakukan perbaikan permohonan.
Kendati demikian, pihak pemohon menyerahkan berkas perbaikan permohonan pada tanggal 10 Juni, meskipun yang diregistrasi oleh panitera MK adalah berkas permohonan yang diserahkan pemohon pada 24 Mei.
Oleh sebab itu KPU menolak untuk memberikan keterangan yang berdasarkan pada permohonan bertanggal 10 Juni. Kendati demikian, demi menghormati Mahkamah dan memberikan fakta kepada masyarakat, KPU menjawab dalil-dalil pemohon yang termuat dalam permohonan tersebut.
Keberatan juga diutarakan oleh pihak terkait, yang menganggap permohonan pemohon cacat secara formil, karena pemohon menggunakan permohonan bertanggal 10 Juni.
Pihak terkait melalui kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra berpendapat, apabila perbaikan diperbolehkan, yang dilakukan oleh pemohon bukanlah perbaikan melainkan perubahan permohonan.
Hal itu disebabkan karena adanya perubahan yang terjadi secara drastis pada baik posita maupun petitum permohonan. Karena sebelumnya berkas permohonan pemohon berjumlah 37 halaman, menjadi 146 halaman.
Baik pihak KPU selaku termohon dan Pihak terkait, sepakat meminta kepada Mahkamah untuk tidak menerima permohonan pemohon karena tidak sesuai dengan hukum acara.
KPU juga menilai sudah seharusnya pemohon dapat membuktikan adanya kecurangan yang selama ini didalilkan terjadi, akan tetapi karena ketidakjelasan yang tidak didasari oleh fakta dan bukti yang dibangun, maka dianggap sebagai mengada-ada.
Dalil pemohon yang menyebutkan bahwa pihaknya kesulitan untuk menemukan bukti, dianggap KPU bukan disebabkan karena pemohon mendapat ancaman dan intimidasi, melainkan karena ketidakjelasan dalil yang tidak didasari fakta dan bukti yang jelas.
Selain itu KPU juga menilai dalil pemohon yang meminta Mahkamah untuk turut melakukan pembuktian dalam persidangan, berdasarkan informasi dari media massa, telah melanggar asas peradilan yang cepat, efektif, dan sederhana, karena MK masih diminta untuk membuktikan kebenaran video tersebut.
Mengakui KPU
Dalam permohonan pemohon bertanggal 24 Mei, pemohon tidak mendalilkan kecurangan atau kesalahan penghitungan oleh KPU. Dalil tersebut baru tertuang dalam permohonan yang diserahkan pemohon pada 10 Juni.
Menurut KPU hal itu menjadi bukti bahwasanya pihak pemohon mengakui kinerja KPU dan menganggapnya benar.
Sementara itu terkait dengan DPT yang dipermasalahkan oleh pemohon, KPU mengungkapkan hal itu sudah diselesaikan disepakati serta dipahami oleh seluruh pihak bersama-sama, yaitu KPU, pihak pemohon, pihak terkait, dan Bawaslu. Sehingga KPU menilai tidak perlu lagi ada persoalan DPT yang dipermasalahkan.
Sementara mengenai sistem penghitungan KPU Selain itu terkait dalil pemohon yang mempermasalahkan sistem penghitungan (situng) KPU, Ali Nurdin selaku kuasa hukum KPU mengatakan bahwa pemohon hanya menguraikan terjadinya manipulasi perolehan suara karena terjadi kesalahan input data pada 21 TPS.
"Padahal jika dibandingkan dengan total seluruh TPS di Indonesia, maka persoalan input data situng tidak sampai satu persen dan tidak signifikan," kata Ali.
Kalau benar terjadi kesalahan input data maka halnitu dikatakan Ali tidak bisa disimpulkan sebagai adanya rekayasa untuk manipulasi perolehan suara.
"Tuduhan rekayasa situng untuk memenangkan pasangan calon adalah tidak benar atau bohong sebagaimana dikembangkan oleh salah satu pendukung pemohon, yang beberapa hari yang lalu ditangkap oleh Bareskrim Polri karena telah menyebarkan berita bohong bahwa server KPU disetting untuk memenangkan Pasangan calon Jokowi dan Ma'ruf," kata Ali.
Pelanggaran TSM
Tiga kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf yaitu Yusril Ihza Mahendra, I Wayan Sudirta, dan Luhut Pangaribuan, membacakan bantahan dan keterangan pihak terkait terkait dalil pemohon yang menuding pasangan Jokowi-Ma'ruf telah melakukan pelanggaran dan atau kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam proses dan pelaksanaan Pilpres 2019.
Sebagai contoh I Wayan Sudirta mendapat giliran membacakan bantahan pihak terkait atas dalil pasangan Prabowo-Sandi yang menyebutkan bahwa Polri bersikap tidak netral karena cenderung memihak pasangan Jokowi-Ma'ruf.
"Bahwa terkait dengan netralitas Polri, Kapolri di setiap kesempatan menyampaikan dan memerintahkan jajarannya agar selalu bersikap netral dan tidak memihak, bahkan untuk memperkuat peneguhan sikap tersebut, Kapolri telah mengeluarkan perintah tertulis agar aparat Kepolisian menjaga netralitasnya," ujar Sudirta.
Terkait dengan dalil yang menyatakan adanya bukti pengakuan dari Kapolsek Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, AKP Sulman Aziz yang mengaku diperintahkan oleh Kapolres Garut untuk menggalang dukungan kepada Jokowi-Ma'ruf, adalah dalil yang mengada ada dan tidak berdasar, karena tuduhan pemohon telah dibantah oleh AKP Sulman Aziz sendiri berdasarkan rekaman video pengakuannya dan telah juga terpublikasi melalui media massa.
Selanjutnya dalil mengenai ketidaknetralan aparat intelijen berdasarkan pernyataan Presiden RI 2004-2014 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam jumpa pers pada tanggal 23 Juni 2018 di Bogor, Sudirta mengatakan bahwa pernyataan SBY sama sekali tidak berhubungan dengan Pemilu 2019, melainkan terkait dengan Pilkada serentak pada tahun 2018.
"Pemohon memenggal konteks ucapan SBY dan membuat penggiringan serta memanipulasi pernyataannya seakan terkait dengan situasi Pemilu 2019. Atas tuduhan tersebut, maka dalil pemohon tersebut untuk seluruhnya patut untuk dikesampingkan Mahkamah," kata Sudirta.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menyatakan tidak pernah menerima laporan keberpihakan intelijen terhadap salah satu paslon serta anggota polisi melakukan pendataan dukungan masyarakat kepada pasangan capres dan cawapres.
"Pemohon dalam dalil permohonan mendalilkan terjadinya keberpihakan intelijen kepada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bahwasanya Bawaslu serta jajarannya tidak pernah menerima laporan atau menerima laporan terkait dengan keberpihakan intelijen kepada salah satu pasangan calon," ujar Ketua Bawaslu RI Abhan.
Sementara itu Luhut Pangaribuan membacakan keterangan pihak terkait yang membantah seluruh dalil pemohon yang menyebutkan bahwa petahana telah menggunakan dana APBN dan program pemerintah sebagai alat untuk berkampanye.
Luhut mengatakan tudingan tersebut tidak dapat dibuktikan oleh pihak pemohon, sehingga pemohon tampak mengada-ada.
Persoalan saksi
Sebelum sudah ditutup, kuasa hukum Prabowo-Sandi Bambang Widjojanto berusaha meyakinkan Mahkamah supaya pihaknya diijinkan untuk menghadirkan lebih dari 30 saksi dan 5 orang ahli. Sementara itu peraturan Mahkamah hanya mengijinkan 15 saksi dan 2 orang ahli.
Terkait dengan hal itu Mahkamah menjelaskan alasan saksi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dibatasi hanya 15 orang, yakni peradilan privat hanya dihadiri pihak-pihak yang bersangkutan.
Baca juga: Sidang MK, MK jamin keamanan saksi pemohon
Alasan selanjutnya saksi dibatasi, kata dia, adalah susunan alat bukti dalam perkara PHPU yang berada di posisi pertama adalah surat, kemudian keterangan para pihak bersengketa dan terakhir saksi.
Hal itu berbeda dengan peradilan publik yang mengadili kasus pidana, yakni menempatkan saksi prioritas pertama, kemudian saksi ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka.
Sesuai skala prioritas, dalam sidang PHPU, Mahkamah Konstitusi tidak membatasi jumlah surat yang akan diserahkan, ia mencontohkan surat yang diklaim dibawa hingga bertruk-truk oleh pemohon.
Kemudian pemohon juga meminta Mahkamah untuk mengirimkan surat kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan perlindungan terhadap saksi serta ahli yang akan dihadirkan, karena pemohon khawatir akan adanya ancaman.
Terkait dengan hal itu Mahkamah menegaskan bahwa siapapun saksi atau ahli yang akan memberi keterangan DI MK, tentu akan dijamin keselamatannya. Sehingga Mahkamah menolak permohonan pemohon tersebut.
Selain itu, perlindungan oleh LPSK tentu akan bertentangan dengan UU LPSK, mengingat LPSK hanya dapat melindungi saksi dan korban dari perkara tindak pidana. Sementara PHPU Pilpres digolongkan sebagai perkara dalam ranah privat.
Baca juga: Kuasa hukum TKN: Jangan ada "drama" di persidangan