Jakarta (ANTARA) - Memasuki bulan di ujung tahun ini keriuhan publik terkait kerumunan dalam situasi pandemi virus corona (COVID-19) di Indonesia, khususnya DKI Jakarta, agaknya masih tak terbendung.
Bias karena fokusnya, seakan tidak lagi, bagaimana mencari jalan keluar dan hikmah agar kejadian serupa di Jakarta dan sekitarnya, bahkan di Indonesia, tidak terjadi lagi.
Padahal, situasi pandemi ini di Tanah Air hingga saat ini belum bisa dikatakan berakhir. Bahkan Presiden Joko Widodo saat membuka Rapat Terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (30/11), menyebut trennya memburuk.
Kondisi itu karena data hingga 29 November 2020 atau sekitar 9 bulan sejak pandemi melanda di Indonesia, kasus aktif COVID-19 meningkat menjadi 13,41 persen dari pekan lalu sebesar 12,78 persen.
Meski kasus aktif tersebut, lebih baik dari angka rata-rata dunia, namun tetap saja mengkhawatirkan. Presiden saat itu sempat menyoroti dua provinsi yang menonjol, yakni Jawa Tengah dan DKI Jakarta.
Peringatan orang nomor satu di Indonesia itu pun berulang pada kesempatan sidang kabinet paripurna Selasa (1/12) di Istana Negara Jakarta kepada para menteri dan kepala daerah agar bila ada kenaikan, angka positif COVID-19 tidak berlanjut.
Hingga Senin (30/11) jumlah terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia mencapai 538.883 orang dengan penambahan hari tersebut mencapai 4.617 kasus.
Terdapat 450.518 orang dinyatakan sembuh dan 16.945 orang meninggal dunia. Sedangkan jumlah pasien suspek mencapai 72.786 orang.
DKI Jakarta masih menjadi provinsi terbanyak kasus COVID-19, yaitu mencapai 136.861 kasus dengan penambahan per Senin (30/11) adalah 1.099 kasus.
Provinsi selanjutnya dengan positif terbanyak adalah Jawa Timur dengan 61.883 kasus, Jawa Tengah (55.899), Jawa Barat (52.571) dan Sulawesi Selatan 20.657 kasus.
Baca juga: Wagub: Wewenang polisi usut pelanggaran kekarantinaan di Petamburan Kerumunan Petamburan
Semangat peringatan Presiden Jokowi itu agaknya juga terasa, ketika aparat terkait dalam empat pekan terakhir dan hingga saat ini sedang mengusut seputar kerumunan pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan pernikahan puteri pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab (MRS) pada Sabtu, 14 November 2020 di markas FPI, Jalan Petamburan III, Kelurahan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Kerumunan yang dihadiri ribuan orang itu tak pelak membuat publik dan aparat terkait, khususnya Forum Kordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) menjadi kaget karena terjadi pada saat di Jakarta sedang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi. Apalagi massa yang hadir sebagian mengabaikan protokol kesehatan (prokes), tak bermasker dan tak berjarak.
Tidak hanya di Petamburan, Jakarta, sejak MRS menginjakkan kaki kembali di Tanah Air pada 10 November, terjadi juga kerumunan massa yang menjemput di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Kerumunan berikutnya terjadi saat acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Majelis Taklim dan Zikir Al-A'faf Tebet.
Selanjutnya, kerumunan di Pondok Pesantren Alam Agrokultural milik MRS di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, pada 13 November 2020.
Tak berapa lama, setelah aneka kerumunan itu terjadi, jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memastikan akan melakukan investigasi, sekaligus memberikan sanksi sesuai Pergub Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan serta Pergub Nomor 80 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi.
Keluarga MRS dikenakan sanksi administrasi tertinggi berupa denda senilai Rp50 juta dan pihak keluarga MRS sudah menyelesaikan sanksi itu. Namun, sanksi sejenis kepada kerumunan di lain tempat seperti pada agenda di Tebet dan Megamendung, Bogor, belum terdengar oleh publik.
Baca juga: Wali Kota Jakarta Pusat-Kadis LH dicopot akibat kerumunan Rizieq Berbuah Pencopotan
Tidak berhenti pada sanksi administrasi kepada keluarga MRS, para pihak yang merasa "kebobolan" dengan kerumunan yang terkesan tak terkendali itu, membuahkan rasa tidak nyaman institusi lain, yakni Kepolisian RI dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Hingga Selasa (1/12), sembilan orang telah dicopot dari jabatannya karena kasus kerumunan terkait MRS, mulai dari perwira polisi, satu wali kota, satu pegawai Kementerian Agama, satu kepala dinas di Provinsi DKI Jakarta, hingga seorang lurah dan camat.
Imbas kerumunan itu tak berhenti sampai hanya kepada tindakan pencopotan kepada para pejabat dan sanksi administrasi kepada penyelenggara acara kerumunan, tetapi juga mengarah penegakan hukum terhadap kemungkinan adanya tindak pidana.
Karena itu, Kepolisian RI melalui Polda Metro Jaya menggelar penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) pada agenda pernikahan puteri MRS dan Maulid Nabi Muhammad SAW, pada Sabtu, 14 November itu.
Polisi telah memulai penyelidikan dengan melakukan klarifikasi terhadap Pemda DKI Jakarta, panitia acara, dan pihak-pihak terkait acara tersebut. Bahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria yang keduanya kini juga positif COVID-19, adalah pihak yang telah
dipanggil oleh Polda Metro Jaya terkait kegiatan tersebut.
Selain itu, penyidik juga memanggil rukun tetangga dan rukun warga (RT/RW), satpam atau linmas, lurah dan camat setempat serta Wali Kota Jakarta Pusat. Juga Kantor Urusan Agama (KUA), Biro Hukum Pemerintah Provinsi DKI dan beberapa tamu yang hadir.
Dari beberapa pihak itu, kini Polda Metro Jaya sudah memanggil pemimpin FPI, MRS dan menantunya Hanif Alatas. Keduanya, diundang datang pada 1 Desember 2020, tetapi tidak hadir dengan sejumlah alasan.
Polda pun menjadwalkan pemanggilan kembali untuk dimintai klarifikasi dan keterangan.
Pemanggilan dan pemeriksaan itu diperlukan karena kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan terkait kerumunan massa di Petamburan telah ditingkatkan ke tahap penyidikan oleh Penyidik Sub Direktorat Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya.
"Dari hasil gelar perkara, sudah dianggap cukup untuk dinaikkan dari penyelidikan ke penyidikan," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Polisi Yusri Yunus di Mako Polda Metro Jaya, Kamis (26/11).
Dari gelar perkara, Kepolisian menemukan bahwa telah terjadi tindak pidana dalam kerumunan massa tersebut. Hal itulah yang menjadi dasar untuk melanjutkan kasus tersebut ke tahap penyidikan.
Kemudian, sehari setelah itu, Jumat (27/11), Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran menegaskan adanya temuan tindak pidana dalam kasus kerumunan massa di Petamburan, Jakarta Pusat itu.
Baca juga: Polda Metro datangi rumah Rizieq serahkan surat panggilan
Klaster Baru?
Ketika hiruk-pikuk terkait kerumunan ini bergulir, agaknya publik lantas publik bertanya, benarkah peristiwa itu telah menimbulkan klaster baru penularan COVID-19?
Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran pada Ahad (22/11) menyebutkan adanya klaster COVID-19 di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat dan di Tebet, Jakarta Selatan.
Sang Kapolda baru ini juga menyebut adanya klaster penyebaran COVID-19 di Bandara Soekarno Hatta dan juga klaster Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat. Karena itu, jajarannya akan memastikan masyarakat yang terkonfirmasi positif mendapat perawatan memadai.
Tes cepat COVID-19 oleh TNI-Polri pun dilaksanakan di SDN Petamburan I Gang IV, hanya 500 meter dari Petamburan III atau markas FPI. Seribu alat tes cepat disiapkan untuk memeriksa seluruh warga Kelurahan Petamburan.
Warga tidak begitu antusias dengan kegiatan tes cepat yang dijalankan oleh Polda Metro Jaya. "Banyak warga yang tidak mau," kata Ketua RT 09/04 Petamburan, Hambali.
Puskesmas Tanah Abang malah menemukan 38 orang positif Covid-19 dari hasil pelacakan kontak kasus positif Lurah Petamburan Setiyanto.
Mereka yang positif ini disebut tak pernah menghadiri kerumunan acara Maulid Nabi sekaligus pernikahan putri MRS di Markas FPI, Jalan Petamburan III.
"Berdasarkan hasil tes terhadap 185 orang yang kontak erat dengan Pak Lurah, ditemukan 38 kasus positif," kata Kepala Suku Dinas (Kasudinkes) Jakarta Pusat (Jakpus), Erizon Safari, Selasa (24/11).
Ke-38 orang yang positif itu murni hasil pelacakan dari kasus Lurah Petamburan dan mereka tak pernah menghadiri acara yang digelar MRS di Markas FPI.
Lurah Petamburan Setiyanto memang juga positif COVID-19 usai menjalani tes usap di Rumah Sakit Polri Keramat Jati, pada Rabu (18/11). Setiyanto diketahui sempat datang memantau acara yang digelar MRS.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jumat (20/11) adanya klaster Petamburan. Kepala Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyebut terdapat tujuh orang yang terkonfirmasi positif virus corona di wilayah Petamburan.
Sementara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan, berdasarkan pemeriksaan PCR di Labkesda pada Sabtu (21/11), ada 50 orang positif di Tebet dan 30 orang positif di Petamburan.
Untuk di kawasan Megamendung, Kemenkes masih menunggu hasil pemeriksaan terhadap 15 orang yang hadir dalam kerumunan penyambutan MRS.
Namun paparan data itu berbeda dengan pengamatan Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono. Dia membantah Satgas Penanganan COVID-19.
Pandu menyebutkan tak ada klaster Petamburan. Data FKM-UI menyebutkan kenaikan kasus positif COVID-19 di DKI Jakarta berasal dari klaster keluarga usai libur panjang 28 Oktober-1 November lalu.
"Tidak ada klaster Petamburan, yang positif memang banyak, tapi enggak ada kaitannya dengan klaster kerumunan itu. Kalau klaster keluarga yang berlibur, itu ada," kata Pandu.
Pandu mengatakan lonjakan kasus di DKI justru berasal dari aktivitas libur panjang ketimbang kerumunan Rizieq. Berdasarkan data yang ia miliki, belum ada laporan kasus positif COVID-19 akibat kerumunan yang terjadi di Petamburan, Tebet, dan Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Pandu justru menemukan di Tebet, sedikitnya ditemukan 19 klaster keluarga karena cuti liburan.
Baca juga: Rizieq Shihab dan menantu tak penuhi panggilan Polda Metro Jaya Lemahnya Koordinasi
Bagi Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho ternyata, kegaduhan kerumunan ini tak lebih dari lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengantisipasi kepulangan MRS, sehingga terjadi beberapa pelanggaran dan pembiaran yang dapat memunculkan klaster baru COVID-19 di Tanah Air.
Semestinya, ada pencegahan dan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, khususnya Banten, Jakarta, dan Jawa Barat karena penyambutan MRS juga terjadi di Kabupaten Bogor dan melibatkan massa dengan jumlah yang cukup banyak.
Dengan kata lain, pihak terkait tergagap dalam mengantisipasi. Tak hanya itu, pendekatan pendekatan konfrontatif Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan HAM, Mahfud MD, yang fokus pada penggiringan isu bahwa MRS dideportasi akibat melebihi izin tinggal saat kembali ke Tanah Air menjadi kontraproduktif.
Pendekatan itu justru mendorong simpatisannya berbondong-bondong menjemputnya di Terminal 3 Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta di Banten.
Ombudsman juga menilai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lambat mengantisipasi, terlebih ketika Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, justru menghadiri acara Maulid Nabi pada Jumat (13/11) di daerah Tebet, Jakarta Selatan, yang juga dihadiri MRS walau tidak melibatkan massa dalam jumlah besar.
Selain itu juga, kedatangan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, ke rumah sang tokoh, di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, membuat imbauan Wali Kota Jakarta Pusat pada 12 November 2020 menjadi tak berguna.
Kedatangan Anies pada Selasa malam (10/11), juga disayangkan karena semestinya MRS melakukan isolasi mandiri selama 14 hari sesuai Surat Edaran Nomor HK.02.01/Menkes/313/2020 tentang Protokol Kesehatan Penanganan Kepulangan WNI dan Kedatangan WNA dari Luar Negeri di Pintu Masuk Negara dan di wilayah pada situasi PSBB.
Kelemahan koordinasi itu juga tampak pada upaya pencegahan penyebaran COVID-19 oleh Satgas Nasional Penanganan COVID-19 dengan memberikan 20.000 masker lengkap dengan fasilitas lain.
Agaknya, kerumunan dan persoalan ikutannya, seperti kemungkinan adanya tindak pidana sehingga melahirkan para tersangka, tak perlu terjadi, jika pemerintah dan pihak terkait mampu melakukan koordinasi yang tepat.
Bukankah MRS sudah mengumumkan ke publik beberapa hari sebelum 10 November 2020 terkait rencana kepulangan dan beberapa agendanya, setelah bermukim 3,5 tahun di Arab Saudi? Bukankah pemerintah sudah bisa menghitung potensi massa dan kemungkinan kerumunan yang akan terjadi setelah MRS datang di Tanah Air?
Jika hal itu bisa diantisipasi dan koordinasi erat itu bisa dilakukan dengan baik, boleh jadi, meski agendanya tetap dilaksanakan, tetapi potensi kerumunan bisa dicegah semaksimal mungkin.
Pandemi belum berakhir dan grafik kasus positif di Tanah Air, terus naik. Mestinya, energi para pihak, fokus dan bekerjasama untuk mengatasi atau mengurangi dampak pandemi ini, bukan malah fokus dengan kesan mengurusi hal-hal yang kurang strategis bahkan politis.