Denpasar (ANTARA) - Psikolog klinis remaja dewasa dari Bali Mental Health Centre, Nena Mawar Sari mengatakan bahwa stigma negatif yang diterima penyintas COVID-19 dapat memicu munculnya gangguan kesehatan mental.
"Tentu stigma negatif terhadap penyintas berupa psikis rendah diri, bisa depresi kalau secara terus menerus, selama keluarga dekat masih support tapi kalau tidak ya bisa jadi mengarah ke depresi, cemas dan sebagainya. Ini akan jadi tambahan lagi selain kena COVID, bisa kena kesehatan mental juga," kata Nena saat dihubungi di Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan bahwa agar tidak terjebak dalam pemerasan mental, lebih baik menghindari lingkungan yang tidak sehat bagi kondisi mental.
Munculnya gangguan kesehatan mental karena banyak masyarakat yang mulai jenuh terhadap COVID-19 ini.
"Kaitannya dengan pemerasan mental, toxic people yang ada di lingkungan kita alih-alih mau membantu memulihkan dampak psikis penyintas tapi justru membuat stigma baru yang mana efeknya tidak membuat baik kondisi si penyintas tersebut," jelasnya.
Ia mengatakan hasil stigma negatif kepada penyintas ada yang langsung dan tidak langsung. Salah satunya adalah dengan memberikan kekerasan verbal emosional secara langsung. Sedangkan tidak langsung itu menyakiti perasaan dari penyintas itu sendiri melalui rumor di lingkungan masyarakat.
"Kita saat ini sedang jenuh hampir satu tahun berhadapan dengan COVID-19, perubahan-perubahan mental jelas terjadi di lingkungan terutama persepsi," ucap Nena.
Adapun kaitan pemerasan mental dengan situasi pandemi COVID-19 terletak pada lingkungan yang menjadi racun bagi kesehatan mental.
"Kita harus bisa cepat sadar menghindar dari toxic people yang ada di lingkungan kita. Alih-alih mau membantu memulihkan dampak psikis penyintas tapi justru membuat stigma baru yang mana efeknya tidak membuat baik kondisi si penyintas tersebut," katanya.
Pemerasan mental melalui munculnya stigma negatif terkait penyintas atau COVID-19, kata dia bisa berefek pada malasnya melapor atau melakukan tes usap COVID-19, karena stigma itu sendiri.
"Efek stigma (terutama negatif) lebih parah dari psikologi kita sendiri," katanya.