Jakarta (ANTARA) - Ketika Jepang memenangi bidding tuan rumah Olimpiade 2020 delapan tahun lalu, Tokyo diyakini bisa diandalkan sebagai lokasi penyelenggaraan yang aman ketimbang negara pesaing yang tengah berjuang dengan kesulitan finansial dan ketidakstabilan politik.
Kondisi kian bikin pening kepala ketika virus varian baru muncul di beberapa negara seperti India dan Brazil. Panitia sekali lagi dibuat pusing bagaimana mengantisipasi impor kasus Covid-19 agar tidak muncul saat Olimpiade berlangsung dan pada saat bersamaan, Jepang juga masih berjuang menghadapi lonjakan kasus virus corona.
Jepang yang dianggap sebagai salah satu negara maju justru yang paling lambat dalam melakukan vaksinasi. Sejauh ini hanya sekitar 0,9 persen dari 126 juta populasi penduduk yang telah mendapatkan satu dosis vaksin Covid-19, jauh jika dibandingkan dengan 2,2 persen di Korea Selatan atau 36 persen di Amerika Serikat, menurut data Reuters.
Dengan hanya satu jenis vaksin yang telah mendapat izin di Jepang, pemerintah pun perlu menjaga pasokan vaksinnya.
Walhasil, vaksinasi Covid-19 bagi atlet Olimpiade dan Paralimpiade pun mustahil bisa selesai sebelum musim panas tiba. Lagi pula, pemerintah Jepang telah menegaskan tidak akan memprioritaskan para atlet untuk menerima vaksin karena masih ada tenaga kesehatan, lansia, dan orang dengan penyakit kronis yang lebih memerlukan.
Kondisi pandemi yang tak pasti juga memaksa panitia harus melarang kehadiran penonton asing. Tak hanya itu, beberapa acara kirab obor juga terpaksa dialihkan hingga dibatalkan. Bahkan, panitia juga hingga kini belum memberikan kepastian terkait rencana akomodasi penonton lokal di Olimpiade nanti.
Lima badan penyelenggara pertandingan, termasuk Komite Olimpiade Internasional serta pemerintah metropolitan Tokyo, berencana untuk mengadakan pertemuan pada akhir April untuk menetapkan arahan tentang jumlah penonton yang akan diizinkan memasuki tempat pertandingan.
Panitia yang bertugas mengawasi persiapan logistik Tokyo 2020, Hidemasa Nakamura, pun mengakui bahwa panitia belum bisa memberikan kepastian apa pun soal pesta olahraga terakbar sejagat yang tinggal 100 hari lagi itu.
“Situasi terus berubah, bahkan dalam beberapa bulan terakhir situasi virus corona telah berubah masif, dan itu akan terus terjadi. Kondisi saat ini sangat menantang bagi kami untuk melanjutkan persiapan ketika kami sendiri pun tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan,” kata Nakamura dikutip Reuters, Rabu.
Meski demikian, Nakamura mengatakan bahwa panitia Tokyo 2020 berjanji untuk menggelar Olimpiade yang aman. Salah satunya, yakni dengan membuat buku panduan tindakan pencegahan Covid-19 yang edisi pertamanya telah dirilis Februari lalu. Buku panduan baru diharapkan selesai bulan ini.
“Penting bagi kami untuk menunjukkan apa yang kami punya saat ini, menerima masukan, dan menyelesaikan buku panduan selangkah demi selangkah. Kami tidak mau membahas ini secara tertutup,” ujarnya.
Tantangan nyata
Ketidakpastian kondisi gara-gara pandemi juga dirasakan salah seorang pejabat pemerintah kota Tokyo, Yoichiro Hara. Ia mengatakan timnya sedang mempertimbangkan apakah staf medis di posko pertolongan pertama perlu mengenakan APD lengkap. Namun dia belum tahu bagaimana kondisi penyebaran virus pada Juli nanti.
Keputusan jumlah penonton pun belum ditetapkan sehingga pihaknya belum dapat memastikan berapa banyak pos kesehatan yang dibutuhkan.
Tantangan lain yang dihadapi panitia adalah Kampung Atlet yang diharapkan bisa menampung 15.000 peserta dari lebih 200 negara yang akan berkompetisi pada 33 cabang olahraga di 42 venue. Panitia telah merencanakan merekrut 126.000 relawan untuk mengatur penempatan atlet dan penonton di sekitar kota.
“Sistem medis sudah terbatas. Pusat kesehatan lokal tidak mungkin bisa merawat para atlet di kampung atlet itu,” kata Hideki Hayakawa, direktur unit koordinasi Olimpiade di Chuo Tokyo.
Tantangan lain jelas datang dari publik sendiri yang hingga kini masih bersikeras mendesak menunda atau membatalkan pesta olahraga empat tahunan itu.
Berdasarkan hasil survei teranyar yang dilakukan Kantor Berita Kyodo, 12 April lalu, lebih dari 70 persen warga Jepang ingin Olimpiade Tokyo dibatalkan atau ditunda karena kekhawatiran pandemi virus corona yang masih berlanjut. Hanya 24,5 persen responden yang ingin acara olahraga terbesar di dunia itu berjalan sesuai jadwal.
Jepang telah mencatat lebih dari 513.000 kasus COVID-19 dan 9.500 kematian karena virus corona. Angka tersebut lebih kecil dari kebanyakan negara dengan ekonomi besar. Namun, total kasus yang dikonfirmasi di Tokyo dengan jumlah dari 126.000 kasus merupakan yang tertinggi di Jepang.
Akan tetapi, segala kekhawatiran tersebut telah dijawab oleh Gubernur Tokyo Yuriko Koike pada upacara 100 hari menuju Olimpiade. Ia bertekad untuk mewujudkan penyelenggaraan Olimpiade Tokyo yang sukses dan aman meski banyak tantangan yang mesti dihadapi.
"Saya dengan tulus menantikan untuk melihat semua atlet dari Jepang dan luar negeri, yang telah berlatih sangat keras, melakukan permainan yang luar biasa dengan mengadakan acara yang luar biasa dalam 100 hari dari sekarang," kata Koike
“Pertarungan melawan musuh yang tak terlihat, virus corona adalah penyebab dari alasan penundaan satu tahun (Olimpiade). Pandemi telah menjadi cobaan berat bagi umat manusia,”
“Saya ingin kita melawan virus corona dan menjadikan Olimpiade sebagai ajang yang tak terlupakan," ujarnya menambahkan.
Terlepas dari adanya penonton atau tribun kosong, penyelenggaraan Olimpiade 2020 Tokyo—jika tidak dibatalkan atau ditunda lagi—bakal menjadi salah satu bukti keberhasilan perjuangan umat manusia dalam pertarungan melawan virus corona yang telah menelan lebih dari dua juta jiwa di seluruh dunia.
Seperti yang diyakini Presiden IOC Thomas Bach bahwa "Olimpiade Tokyo akan menjadi cahaya di ujung pandemi."
Baca juga: KOI yakin Indonesia bisa tambah wakil ke Olimpiade Tokyo
Baca juga: Kasus COVID-19 naik, kirab obor Olimpiade di Ehime Jepang dibatalkan
Baca juga: Penasihat Olimpiade Jepang desak sedia vaksin untuk atlet