Padang (ANTARA) - Sosiolog Universitas Islam Negeri Imam Bonjol (UIN IB) Padang Muhammad Taufik menilai nilai-nilai keminangkabauan hidup dalam sosok Buya Ahmad Syafii Maarif selaku tokoh yang mampu menjadikan makrokosmos Minangkabau sebagai pakaian dalam berpikir dan bersikap.
“Meskipun kita tidak banyak melihat dan menemukan gagasan tersebut secara teks, tapi dari alur dan diksi, kita melihat nilai-nilai Minangkabau tersebut hidup dalam gagasan beliau yang banyak tersebar di berbagai forum dan media massa,” ujarnya di Padang, Jumat.
Ia menyampaikan hal itu pada bedah buku tentang Ahmad Syafii Maarif berjudul "Ibu Kemanusiaan: Catatan-catatan Perempuan untuk 86 Tahun Buya Syafii Ma’arif" yang merupakan bunga rampai tulisan 32 penulis perempuan dan dua editor perempuan.
Buku berisi beragam pikiran dan pandangan dalam melihat sosok Buya Syafii Maarif, sesuai latar belakang penulis mulai dari aktivis LSM, seniman, akademisi, sastrawan, pegiat media, politisi serta ulama perempuan dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Tidak ketinggalan pula tokoh agama perempuan dari nonmuslim.
Ada 32 penulis yang menyumbang tulisan untuk buku, empat orang di antaranya Bundo Kanduang atau tokoh perempuan Minang, yaitu Silfia Hanani, Devi Adriyanti, Ka’bati, dan Rezki Khainidar.
Keempat penulis ini dihadirkan dalam kegiatan yang diinisiasi Komunitas Halaqah Budaya di Kampus UNP, Padang. Kegiatan ini didukung UNP, Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, SaRang Yogyakarta, Magistra Indonesia, Ruang Kerja Budaya, PPASB, valoranews tv dan Fast.
Menurut Taufik, Buya Syafii Maarif sosok yang memiliki kemampuan memberi sikap tengah, tidak konservatif dan tidak juga liberal, dalam mengemukakan spirit kepemimpinan perempuan menurut Islam dan negara.
“Cara berpikir Buya Syafii dengan mengelaborasi model neomodernis Islam dan pendekatan kritis, telah menjadikannya sebagai integritas keislaman yang unik dan independen,” ujarnya.
Ia menilai Indonesia butuh Syafii Maarif guna memberikan kontribusi terhadap pencitraan Islam Indonesia, neomodernis Islam, dan pendekatan kritis.
Rektor Universitas Negeri Padang yang juga Ketua PWNU Sumatera Barat Prof Ganefri menilai banyak sifat Buya Syafii Maarif yang mesti ditiru publik, di antaranya peduli dan rendah hati, mandiri dan egaliter, arif dan bijaksana serta konsisten.
Ia berharap, buku ini bisa menjadi penguatan dalam perspektif gender di tengah diskursus keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan, melihat berbagai sudut pandang perempuan ketika merespons ada ruang dari ketokohan Buya Syafii Maarid dalam menyampaikan gagasan dan kritikannya.
Buku ini diharapkan menjadi salah satu sumbangan literatur untuk studi kritis tentang gender dalam pesan pluralistik serta penulisnya yang berasal dari berbagai kalangan dan latar belakang serta organisasi.
“Dalam buku ini, sepertinya para penulis menyetujui pemikiran Buya (Syafii Maarif, red.), memberi penguatan pada pemikiran serta menetralisir pandangan negatif oleh segelintir orang pada Buya,” kata dia.
Dimoderatori budayawan Minang, Bung Edy Utama, keempat penulis berdarah Minang serta para pembahas lainnya, diberikan kesempatan berbicara ataupun mengungkap latar belakang dan motivasi mereka menulis tentang Buya Syafii Maarif.