Jakarta (ANTARA) - Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Jumat pagi masih lanjut melemah tertekan kenaikan imbal hasil atau yield obligasi pemerintah Amerika Serikat.
"Nilai tukar rupiah mungkin bisa melemah lagi hari ini terhadap dolar AS seiring dengan kenaikan yield obligasi pemerintah AS terutama tenor 10 tahun yang menembus kisaran 1,7 persen," kata pengamat pasar uang Ariston Tjendra saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Rupiah ditutup melemah dipicu naiknya imbal hasil obligasi AS
Kenaikan imbal hasil obligasi AS tersebut menyusul data klaim tunjangan pengangguran mingguan AS yang dirilis semalam di mana hasilnya menunjukkan jumlah klaim yang di bawah ekspektasi.
Data klaim tunjangan pengangguran awal atau initial jobless claim AS pada pekan yang berakhir 16 Oktober lalu turun menjadi 290 ribu klaim, lebih rendah dibandingkan pekan sebelumnya (296 ribu klaim) maupun perkiraan konsensus (300 ribu klaim).
"Ini artinya warga yang menganggur mulai berkurang. Dan hasil ini akan mendukung kebijakan pengetatan bank sentral AS," ujar Ariston.
Ariston menyampaikan, pelaku pasar juga mewaspadai perkembangan isu utang raksasa properti asal China Evergrande di mana perusahaan tersebut dikabarkan kesulitan menjual anak perusahaannya yang rencananya hasil penjualan tersebut akan digunakan untuk membayar utang.
"Di sisi lain, pasar masih optimis dengan laporan keuangan perusahaan terdaftar di bursa yang mengindikasikan perbaikan pertumbuhan ekonomi global yang mungkin bisa menahan penguatan dolar AS," kata Ariston.
Baca juga: Dolar AS "rebound" setelah data pekerjaan dan perumahan membaik
Ariston mengatakan rupiah hari ini akan bergerak melemah ke kisaran Rp14.150 per dolar AS dengan potensi penguatan di kisaran Rp14.100 per dolar AS.
Pada Kamis (21/10) lalu, rupiah ditutup melemah 47 poin atau 0,33 persen ke posisi Rp14.123 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.076 per dolar AS.