Semarang (ANTARA) - Hingga detik ini pembuat undang-undang, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, belum berencana mengubah Undang-Undang Pemilihan Umum dan UU Pemilihan Kepala Daerah. Praktis tidak ada nuansa lain dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada pada tahun 2024.
Kompleksitas teknis Pemilu 2019 dan problematika berpotensi berulang pada Pemilu 2024. Bahkan, tumpukan beban kerja penyelenggaraan pemilu dan pemilihan bisa memengaruhi profesionalitas dan integritas penyelenggara pemilu. Artinya, juga bisa berdampak pada kinerja dan kondisi kesehatan demokrasi Indonesia.
Baca juga: 629 pendaftar anggota KPU dan Bawaslu lolos seleksi administrasi
Baca juga: 868 orang daftar anggota KPU dan Bawaslu, partisipasi perempuan kurang
Terobosan dan inovasi kepemiluan sepenuhnya mengandalkan inovasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan aturan main dalam peraturan KPU dan peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk penguatan kapasitas personel, penggunaan teknologi, penyesuaian teknis, dan lain-lain. Padahal, kata anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, peraturan KPU/Bawaslu banyak keterbatasan daya jangkau.
Di sinilah dibutuhkan sosok penyelenggara pemilu yang kuat, otonom, kompeten, inovatif, inklusif, dan berwawasan global. Kuat dalam penguasaan substansi kepemiluan maupun kuat secara fisik dan psikologis. Mereka juga harus mampu berlaku otonom atau memiliki hak dan kekuasaan menentukan arah tindakannya sendiri dalam mengambil keputusan sebagai penyelenggara pemilu tanpa meninggalkan konsultasi dan pelibatan partisipasi para pemangku kepentingan pemilu.
Penyelenggara pemilu harus punya kompetensi yang memadai untuk menyusun kebijakan sekaligus melakukan berbagai fungsi sebagai penyelenggara pemilu. Secara terukur dan proporsional, mereka mampu berinovasi dan melahirkan terobosan yang relevan guna merespons dan mengurai kompleksitas, kerumitan, dan dinamika penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak pada tahun 2024 di tengah masifnya penggunaan teknologi dan tantangan penyebaran hoaks politik/pemilu.
Pelaksanaan pada Pemilu/Pilkada 2024 dibutuhkan penyelenggara pemilu dengan paradigma inklusif di tengah situasi post truth era dan polarisasi politik yang membelah. Hal ini, kata pegiat pemilu Titi Anggraini, agar orientasi pelayanan penyelenggara pemilu maksimal dan adil bagi semua pemangku kepentingan.
Di samping itu, penyelenggara pemilu mampu membangun jejaring global untuk melaksanakan praktik terbaik dalam penyelenggaraan pemilu, kemudian berdasarkan keluasan pengetahuan kepemiluan sekaligus memerankan diplomasi demokrasi internasional untuk mengukuhkan kualitas demokrasi Indonesia di mata dunia.
Penyelenggara pemilu juga mampu membangun relasi sinergis di antara KPU, Bawaslu, dan DKPP tanpa menggadaikan kemandirian masing-masing lembaga. Fungsionalisasi forum tripartit dan komunikasi kelembagaan yang sehat, dialektika langsung, bukan dengan perantara media.
Tidak hanya itu, harapan pada seleksi bakal calon anggota KPU dan bakal calon anggota Bawaslu masa jabatan 2022—2027 menelurkan sosok penyelenggara pemilu yang mampu mengerjakan aspek teknis secara cermat, teliti, dan detail. Namun, tetap dalam kerangka berpikir atau paradigma yang terhubung dan menyeluruh. Dengan demikian, tidak terjebak pada egosektoral divisi atau pembagian kerja secara parsial.
Keterwakilan Perempuan
Apabila kriteria di atas dimiliki perempuan, kemungkinan besar keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam lembaga penyelenggara pemilu bakal terwujud, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Saat ini Tim Seleksi (Timsel) Calon Anggota KPU/Bawaslu RI Periode 2022—2027 tengah menyeleksi bakal calon penyelenggara pemilu untuk mendapatkan 48 calon anggota KPU/Bawaslu. Di tengah Timsel bertugas, ada masukan dari sekumpulan perempuan yang secara individual menggabungkan diri dalam Maju Perempuan Indonesia (MPI).
Komunitas yang merupakan gerakan pemenuhan, pemajuan, dan perlindungan perempuan di bidang politik di Indonesia ini mendorong Timsel Calon Anggota KPU/Bawaslu RI Periode 2022—2027 mewujudkan 30 persen keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara pemilu. (Sumber: ANTARA, 1 Desember 2021).
Baca juga: Kepala PPATK siap membantu Tim Pansel Calon Ketua KPU dan Bawaslu
Baca juga: Menunggu kinerja Tim Seleksi Anggota KPU-Bawaslu
Apa yang disampaikan MPI kepada Timsel via daring, Rabu (1/12), merupakan hal yang wajar. Apalagi anggota MPI berlatar belakang beragam, antara lain aktivis kemanusiaan, pendamping korban, anggota partai politik, jurnalis, profesional, anggota dan pimpinan lembaga negara, kepala daerah, tenaga edukatif, anggota organisasi kemasyarakatan, dan anggota organisasi keagamaan.
Berdasarkan catatan MPI yang disampaikan oleh Koordinator MPI Lena Maryana Mukti kepada Ketua Timsel Juri Ardiantoro beserta Wakil Ketua Chandra Hamzah dan Sekretaris Bachtiar serta anggota Timsel lainnya disebutkan bahwa jumlah perempuan di KPU/Bawaslu RI alami penurunan.
Pada Pemilu 1999, misalnya, terdapat lima perempuan dari 30 orang panitia pengawas (panwas), yaitu Miriam Budiarjo, Zakiah Daradjat, Roesita Noer, Titi Anggraini, dan Ari Purwanti. Jumlah ini kemudian mengalami penurunan pada Pemilu 2004. Tercatat ada dua perempuan di KPU RI, yakni Chusnul Mar'iyah dan Valina Singka. Sementara itu, di Bawaslu RI hanya Nurjanah Djohantini.
Pasca-UU Nomor 22 Tahun 2007 yang mengamanatkan 30 persen keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu, terpilih 30 persen perempuan (Endang Sulastri, Sri Nuryanti, dan Andi Nurpati) di KPU RI, dan 50 persen lebih (Wahidah Suaib, Wirdyaningsih, dan Agustiani T.F. Sitorus) di Bawaslu RI sebagai penyelenggara Pemilu 2009.
Persoalan muncul pada Pemilu 2014. Timsel selalu menyiapkan 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon penyelenggara pemilu. Akan tetapi, DPR hanya memilih satu perempuan untuk KPU dan Bawaslu.
Pada Pemilu 2014 hanya Ida Budhiati di KPU, sementara di Bawaslu hanya Endang Wihdatiningtyas. Pemilihan umum berikutnya, Pemilu 2019, terulang hal yang sama. Hanya terpilih Evi Novida Ginting untuk KPU, dan Dewi Pettalolo untuk Bawaslu.
MPI lantas berharap penyelenggara Pemilu 2024 lebih banyak perempuan di dalam lembaga penyelenggara pemilu. Jika tersedia 50 persen perempuan yang berkualitas dan berintegritas, Timsel didorong untuk memuat keterwakilan perempuan 50 persen dalam daftar nama calon penyelenggara pemilu yang disampaikan kepada Pemerintah.
Oleh karena itu, Timsel tampaknya perlu melakukan seleksi dengan pendekatan affirmative action terhadap perempuan, yakni memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30 persen pada setiap tahapan seleksi.
Begitu nama calon penyelenggara pemilu sampai di tangan wakil rakyat, perlu pula diperhatikan komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu RI minimal 30 persen dari total masing-masing lembaga penyelenggara pemilu. Kendati demikian, DPR tidak boleh mengabaikan ketangguhan dan kompetensi kaum hawa.