Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi dari lembaga kajian Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy menilai pemberian bantuan langsung tunai (BLT) untuk Pertalite dan elpiji 3 kg tidak bisa bekerja sendiri, namun mesti dibarengi skema bantalan lain.
Pemerintah menyatakan saat ini masih mengkaji rencana kenaikan harga BBM subsidi jenis Pertalite dan elpiji tiga kilogram sebagai respons atas kenaikan harga komoditas tersebut di pasar internasional.
Sejumlah bantalan sedang dipersiapkan untuk mengatasi gejolak sosial-ekonomi masyarakat atas keputusan menaikkan Pertalite dan gas melon tersebut, di antaranya dalam bentuk BLT seperti yang pemerintah berikan untuk minyak goreng.
Yusuf mengatakan wacana kenaikan harga Pertalite dan elpiji tiga kilogram itu dapat memberikan tekanan inflasi yang besar pada tahun ini.
Tekanan inflasi akan terasa lebih berat untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah, apalagi mereka yang belum sepenuhnya bisa pulih dari pandemi COVID-19.
Sementara itu, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi memandang program BLT yang akan diberikan kepada kelompok masyarakat menengah ke bawah merupakan solusi instan yang menimbulkan masalah baru.
Menurutnya, potensi penyaluran bantuan yang tidak tepat sasaran juga cukup besar lantaran ketidakvalidan data.
Adapun Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurahman menyampaikan parlemen mendorong pemerintah mengalihkan skema subsidi energi yang terbuka menjadi tertutup dengan melakukan validasi data penerimanya terlebih dahulu agar tepat sasaran.
"Spirit dari subsidi itu bukan mengurangkan harga, tapi mendorong agar masyarakat memiliki kemampuan daya beli agar tidak terjadi distorsi di lapangan," ujarnya.
Baca juga: Wacana kenaikan Pertalite dan elpiji bisa berdampak terhadap inflasi
Baca juga: Pertamina: Lonjakan konsumsi Pertalite hanya sementara
Baca juga: Minimalkan pergeseran konsumsi, pengguna Pertalite diusulkan dibatasi