Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan RI memperkirakan sekitar 2.500 bayi di Indonesia lahir dengan penyakit talasemia mayor per tahun yang diturunkan dari orang tua maupun keluarga terdekat.
Berdasarkan laporan dari Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman, kata Elvieda, Indonesia masuk dalam kawasan "sabuk talasemia" atau negara berisiko tinggi sebab hampir sebagian besar penduduknya berstatus sebagai pembawa sifat talasemia yang tersebar di berbagai suku di Indonesia.
Pada 2019, Kemenkes RI melaporkan pasien talasemia yang terdeteksi di Indonesia berjumlah 10.555 orang. Jumlah itu diperkirakan terus meningkat dalam kurun dua tahun terakhir, kata Elvieda menambahkan.
Pada acara yang sama dokter anak di RSCM Jakarta sekaligus perwakilan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Pustika Amalia Wahidiyat mengatakan jumlah kasus yang terdeteksi lebih sedikit jika dibandingkan dengan angka perkiraan kelahiran 2.500 bayi per tahun.
"Ke mana sisanya? Itu yang sampai saat ini belum terdeteksi tenaga kesehatan, karena ketidaktahuan atau karena gejala ringan, atau karena beratnya gejala, pasien meninggal tanpa penanganan medis," katanya.
Ia mengatakan seorang pasien talasemia membutuhkan perawatan medis berupa transfusi seumur hidup dengan biaya tanpa komplikasi berkisar Rp30 juta hingga Rp500 juta per tahun.
Pada saat terjadi komplikasi, maka diperlukan protokol medis transplantasi sumsum tulang dengan biaya berkisar Rp2 miliar.
Kelainan darah dengan kondisi jumlah protein pembawa oksigen kurang dari jumlah normal membuat pasien talasemia rawan mengalami penyakit komplikasi, seperti diabetes, patah tulang, hepatitis hingga kematian.