"Ini akan menunjukkan pentingnya peran lembaga pengawas media dalam mengarahkan praktik jurnalistik yang bertanggung jawab dan aman bagi masyarakat," ujar Agung dalam Diskusi Kelompok Forum terkait Peran Media Massa dalam Pencegahan Paham Radikal Terorisme di Jakarta, Selasa.
Ia menyebutkan teknologi komunikasi dan media sosial tidak selalu digunakan secara positif, tetapi terkadang juga dimanfaatkan untuk tujuan negatif, termasuk dalam kegiatan terorisme.
Berdasarkan penelusuran Dewan Pers, narasi paham terorisme marak muncul di media sosial sebagai platform media baru, seperti Twitter atau X, Instagram, maupun Youtube.
Media sosial dan kemajuan teknologi komunikasi, kata Agung, digunakan oleh pelaku terorisme untuk menyebarkan propaganda, berita, dan merekrut anggota baru.
Dengan begitu, dirinya menilai situasi tersebut menunjukkan bahwa media sosial dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk tujuan yang tidak aman.
"Kesadaran pelaku terorisme tentang potensi media sosial sebagai alat propagandanya menyoroti bahwa media sosial tidak bersifat netral, tetapi tergantung pada bagaimana individu menggunakan platform tersebut untuk tujuan tertentu," ucap dia.
Maka dari itu, Agung menegaskan media sosial tidak bisa disamakan dengan media online atau daring, di mana merupakan media massa arus utama (mainstream) yang menggunakan platform daring.
Untuk itu, lanjut dia, hal tersebut yang menjadikan peran media massa dalam mencegah paham radikal terorisme menyebar sangat penting karena pers berdampak pada pemahaman dan partisipasi publik.
"Namun media massa berpotensi menjadi 'oksigen' bagi gerakan terorisme melalui berita yang berlebihan dan pelanggaran kode etik jurnalistik," kata Agung mengingatkan.