Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Asep Nana Mulyana di Jakarta, Selasa, menyampaikan bahwa Kejagung telah menyetujui 32 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme restorative justice (keadilan restoratif).
"Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan karena telah dilaksanakan proses perdamaian di mana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf," kata Asep.
Menurut dia, ke-32 perkara yang dihentikan melalui restorative justice itu mulai dari pencurian, pengeroyokan, penadahan, penggelapan dan lainnya.
Ia menjelaskan bahwa ke-32 orang ini sudah memenuhi unsur untuk diberikan restorative justice karena memang sudah ada kesepakatan damai, selain itu tersangka juga belum pernah di hukum.
"Tersangka juga baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, dan ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun," tuturnya.
Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif.
"Hal ini sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum," katanya.
Sebelumnya, Kejagung menyetujui pengajuan restorative justice (RJ) dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Kota Surakarta, Jawa Tengah, setelah mempertimbangkan sejumlah aspek.
"Adapun berkas perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif, yaitu tersangka Hany Setiyawan alias Gusdur bin Mulyadi dari Kejaksaan Negeri Surakarta," kata Asep.
Menurut dia, disetujuinya restorative justice terhadap tersangka penyalahgunaan narkotika setelah dilakukan sejumlah pertimbangan yang menjadikan permohonan penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif dikabulkan.