Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP Apkasindo) Gulat ME Manurung mengatakan sebanyak 17 juta petani mendukung gagasan Presiden Prabowo Subianto mengenai kelapa sawit yang harus dikawal bersama.
"Apkasindo memberikan apresiasi kepada Presiden Prabowo terkait kebijakan sawit tersebut. 17 juta kepala keluarga petani sawit dari Aceh hingga Papua memberikan dukungan penuh," kata Gulat dalam keterangan di Jakarta, Senin.
Menurut Gulat, kelapa sawit merupakan anugerah Tuhan kepada Indonesia. Negara lain sangat mendambakan sawit dapat tumbuh di negaranya dengan berbagai modifikasi lingkungan tapi produktivitasnya jauh di bawah ekonomis.
"Jadi anugerah tadi sudah sewajarnya menjadi daya tawar Indonesia kepada dunia," ujarnya.
Menurut dia, faktanya selama ini terlampau bebas siapapun menyudutkan sawit tanpa ada perlindungan regulasi yang kokoh terhadap komoditas strategis sawit
"Jadi kami petani sawit sangat bangga dan terharu atas pidato Presiden tersebut,” papar Gulat.
Gulat mengatakan arahan presiden tentang membuka kebun sawit yang baru seharusnya dibaca dalam arti luas untuk produktivitas sawit. Di mana, untuk meningkatkan produktivitas sawit itu dapat dilakukan melalui dua cara.
Pertama, replanting atau peremajaan sawit rakyat (PSR) yang dikenal dengan intensifikasi atau huluisasi. Kebijakan replanting tersebut dapat membuat produktivitas sawit rakyat naik 3-4 kali lipat.
Kedua, strategi ekstensifikasi atau menambah luas lahan sawit. Menurut dia, harapan ini sangat terbuka luas mengingat hutan Indonesia masih jauh lebih luas di atas standar minimum (hutan vs non hutan).
Namun, Gulat menyarankan lebih mengoptimalkan tanah terdegradasi atau terlantar, eks pertambangan atau klaim kawasan hutan yang sudah tidak berhutan sebagaimana rekomendasi hasil riset Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB tahun 2023.
Di sisi lain, Presiden Asian Society of Agricultural Economists (ASAE) Bustanul Arifin mengungkapkan para menteri Kabinet Merah Putih harus bekerja keras menerjemahkan arahan Presiden terkait rencana penambahan lahan kepala sawit.
Jika nantinya sudah menjadi kebijakan nasional, dia mengharapkan agar semua komponen bangsa mengawal bersama dengan mengedepankan prinsip keberlanjutan.
Dia mengatakan bahwa sejauh ini berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional tidak ada penambahan lahan sawit seperti yang disampaikan Presiden Prabowo.
Karena itu, jika nantinya rencana Presiden Prabowo akan dilaksanakan perlu adanya kebijakan yang baru.
"Karena bagaimana pun finalisasi aktivitas itu (penambahan lahan kelapa sawit) kan ada di dalam kebijakan. Kalau akan ada kebijakan baru, nanti memang perlu kita kawal sama sama," papar Bustanul.
Terkait pertanyaan apakah kelapa sawit memang sebagai kontributor laju deforestasi, Bustanul meminta agar ikut memikirkan konsekuensinya secara baik.
Dijelaskan, jika ada perubahan tata guna dari hutan menjadi tanaman sawit, pasti ada perubahan kemampuan menambat dan menyimpan karbon.
Tanaman hutan dipastikan mempunyai kemampuan daya tangkap dan daya simpan karbon lebih tinggi dibanding tanaman sawit. Bahkan, hutan juga mempunyai daya lepas karbon lebih sedikit daripada sawit.
‘’Dari situ para ahli meneliti sampai sedetail-detailnya sedapat mungkin kalau ada perubahan hutan menjadi sawit, harus ada reforestasi atau aforestasi yang harus ditambah. Jadi ada kompensasi, kalau ada perubahan ada pengurangan,’’ tutur Bustanul.
Dia tidak setuju jika benar-benar melakukan pembabatan hutan untuk ditanami sawit tanpa ada upaya kompensasi di atas. Begitu juga pembukaan lahan di lahan gambut.
"Di lahan gambut pasti akan menimbulkan emisi karbon baru, sementara pada saat yang sama kita menandatangani komitmen untuk menurunkan perubahan iklim,’’ jelasnya.
Reforestasi merupakan proses menanam kembali pohon di lahan yang sebelumnya telah gundul atau terdegradasi. Adapun, aforestasi adalah pembentukan hutan atau penegakan pepohonan di area yang sebelumnya bukan hutan.
Selama ini, Indonesia sudah menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan pada industri sawit. Misalnya untuk standar dunia, Indonesia sudah mengikuti RSPO (Rountable Sustainable Palm Oil).
Bahkan, di dalam negeri, Indonesia juga menerapkan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). Dan hal tersebut telah mendapatkan apresiasi dari komunitas internasional.
Terkait hambatan masuknya produk kepala sawit Indonesia ke Eropa, diakuinya, memang sudah menjadi rahasia umum. Mereka khawatir produk sawit Indonesia mengancam produk mereka seperti minyak bunga matahari dan minyak kanola.
"Kan menerapkan aturan deforestasi yaitu EUDR (European Union Deforestation Regulation) yang sempat ditunda setahun karena diprotes oleh Amerika Serikat. Apakah Indonesia diam saja? Tidak," tuturnya.
Menurut dia, ada tim task force yang saat ini sedang menyusun berbagai hal secara detail mulai definisi deforestasi dan lainnya. Mereka telah membahas bersama Malaysia dan juga Uni Eropa.
‘’Memang betul pangsa pasar sawit kita ke Eropa tidak terlalu besar, 12 persen, tak sampai 20 persen. Tapi Eropa kan menjadi trendsetter. Jika Eropa sudah ikut melarang memasukkan barang kita atau produksi bio fuel kita ke sana, saya khawatir negara lain ikut-ikutan,’’ ungkapnya.
Untuk itu, dia menyarankan selain daya saing, kemampuan diplomasi kampanye positif sawit harus terus dilakukan.