Ikrar itu bukan hanya catatan sejarah, melainkan titik balik kesadaran nasional yang melahirkan semangat kemerdekaan. Kini, hampir seabad kemudian, tantangan pemuda tidak lagi penjajahan bersenjata, tetapi penjajahan yang lebih halus—hegemoni ekonomi, disrupsi teknologi, dan arus informasi global tanpa batas.
Di tengah keterhubungan digital yang makin kuat, nasionalisme diuji oleh pragmatisme dan individualisme. Karena itu, semangat Sumpah Pemuda 5.0 menjadi relevan. Angka “5.0” merujuk pada konsep Society 5.0, yakni masyarakat cerdas yang memanfaatkan kecerdasan buatan dan teknologi digital untuk kesejahteraan manusia.
Sumpah Pemuda 5.0 adalah reinterpretasi nasionalisme dalam era digital—mengajak generasi muda tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi pencipta nilai, inovator, dan penjaga moralitas bangsa.
Generasi Digital dan Krisis Nilai
Generasi muda kini tumbuh dalam dunia hiper-terhubung, di mana algoritma menentukan apa yang dilihat dan dipercaya. Tantangan utama bukan lagi melawan penjajahan fisik, melainkan penjajahan mental: kehilangan fokus, arah, dan jati diri di tengah banjir informasi. Otomatisasi dan kecerdasan buatan mengubah dunia kerja; banyak profesi hilang, sementara yang baru menuntut keahlian baru.
Sebagian anak muda tergoda jalan pintas dari pinjaman online ilegal, judi daring, hingga penipuan digital yang mencerminkan krisis nilai dan melemahnya etos kerja. Sumpah Pemuda modern mengingatkan bahwa cinta tanah air berarti setia pada kejujuran, kemandirian, dan tanggung jawab sosial.
Di sisi lain, media sosial membentuk budaya eksistensi semu: banyak anak muda ingin terlihat sukses, tetapi berjuang melawan kecemasan dan kesepian. Identitas tidak boleh ditentukan oleh likes atau followers, melainkan oleh kontribusi nyata.
Nilai gotong royong dan solidaritas generasi perlu dihidupkan kembali dalam bentuk kolaborasi digital yang kreatif dan beretika.
Pemuda masa kini harus bersumpah untuk menyatukan moral dan intelektualitas, menjaga literasi digital, menolak hoaks, dan melawan eksploitasi ekonomi digital.
Kemerdekaan di era ini berarti merdeka dari kebodohan digital, dari jebakan budaya instan, dan dari sikap konsumtif yang tak produktif.
Globalisasi dan Pencarian Jati Diri
Globalisasi menghadirkan paradoks: membuka peluang tanpa batas namun juga mengaburkan identitas bangsa. Budaya instan, gaya hidup global, dan glorifikasi popularitas digital membuat nilai-nilai luhur seperti kesopanan dan gotong royong kian pudar.
Banyak anak muda tahu apa yang viral, tetapi tak mengenal lingkungan sekitarnya, terhubung secara daring, namun terasing di dunia nyata.
Fenomena ini menunjukkan bahwa moralitas kini dikendalikan oleh tren, bukan nurani. Di ruang digital, apa yang populer sering dianggap benar.
Dalam bidang ekonomi, muncul kesenjangan baru: sebagian pemuda menjadi inovator digital, tetapi banyak pula yang tertinggal dalam pengangguran struktural dan keterbatasan akses.
Inilah bentuk kolonialisme baru: bukan oleh penjajah asing, melainkan sistem yang menyingkirkan mereka yang tak siap menghadapi revolusi digital.
Jika pemuda 1928 menolak penjajahan fisik, maka pemuda 2025 harus melawan penjajahan sistemik yang mengekang potensi bangsa.
Nasionalisme kini bukan menolak globalisasi, tetapi berdiri tegak di tengahnya untuk berani menjadi otentik di tengah imitasi global, berempati di tengah keterasingan, dan menjadi pelaku perubahan, bukan korban arus.
Menyalakan Kembali Api Persatuan
Sumpah Pemuda 5.0 bukan sekadar mengenang, tetapi menerjemahkan nilai persatuan dan kemandirian ke dalam aksi nyata. Persatuan hari ini bukan lagi menyatukan pulau atau bahasa, melainkan gagasan, inovasi, dan kolaborasi lintas batas.
Gerakan seperti Kitabisa.com membuktikan gotong royong bisa hidup dalam ruang digital, menghubungkan ribuan anak muda untuk menolong sesama. Ekosistem startup seperti GoTo dan Ruangguru menunjukkan bagaimana kolaborasi menjadi bentuk baru persatuan nasional.
Kemandirian ekonomi juga menjadi bentuk perjuangan baru. Jika dahulu pemuda memperjuangkan kemerdekaan politik, kini mereka harus memperjuangkan kedaulatan ekonomi digital.
Anak muda tidak boleh hanya menjadi konsumen platform global, tetapi pencipta inovasi lokal. Brand lokal seperti Erigo, MS Glow, dan Eiger adalah contoh nyata kebangkitan ekonomi kreatif nasional.
Begitu pula startup hijau seperti Xurya dan Jejak.in yang menggabungkan teknologi dan kepedulian lingkungan sebagai bentuk baru dari semangat berdikari ala Soekarno-Hatta.
Cinta tanah air hari ini tidak berhenti pada simbolisme, tetapi aksi nyata: melawan hoaks, menjaga ruang digital dari polarisasi, dan melindungi sumber daya bangsa.
Gerakan seperti Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) menjadi bentuk nyata nasionalisme digital, menjaga kebenaran demi keutuhan bangsa.
Demikian pula, inisiatif seperti Gerakan Indonesia Menanam atau aplikasi digital yang membantu petani dan nelayan kecil menunjukkan bentuk cinta tanah air yang konkret dengan menggabungkan nasionalisme dengan inovasi yang adaptif.
Sumpah Baru untuk Zaman Baru
Bangsa Indonesia memiliki tiga modal sosial utama: gotong royong, solidaritas, dan spiritualitas. Nilai-nilai ini harus diterjemahkan menjadi tindakan produktif di era digital. Gotong royong hari ini berarti kolaborasi lintas sektor—pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan komunitas muda.
Program seperti Digital Talent Scholarship, Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD), dan 1000 Startup Movement menunjukkan upaya pemerintah membuka ruang partisipasi generasi muda. Namun, ujung tombaknya tetap di tangan pemuda yang berani mengambil risiko dan berbuat nyata.
Mereka yang menciptakan solusi berbasis AI untuk pertanian, aplikasi kesehatan digital, atau gerakan lingkungan di media sosial sejatinya sedang menulis babak baru perjuangan kebangsaan.
Sumpah Pemuda 1928 menjadi tonggak lahirnya bangsa; Sumpah Pemuda 5.0 harus menjadi tonggak lahirnya peradaban digital Indonesia yang berkarakter.
Jika dahulu semangatnya menyatukan tanah air, bangsa, dan bahasa, maka kini semangatnya adalah menyatukan inovasi, nilai, dan aksi. Pemuda Indonesia masa kini harus berjanji untuk berpikir global tanpa kehilangan nasionalisme, berkolaborasi tanpa kehilangan jati diri, dan berkarya tanpa batas demi Indonesia yang bermartabat.
Selama masih ada anak muda yang berani bermimpi, berinovasi, dan bekerja untuk negeri, api Sumpah Pemuda akan terus menyala. Dari ruang kongres 1928 hingga ruang digital 2025, semangat itu tetap hidup untuk menuntun Indonesia menuju masa depan yang adil, mandiri, dan berdaulat di tengah dunia tanpa batas.
