Jambi, (ANTARA Jambi) - Sudah delapan hari M.Y bin Yc (67) meringkuk di ranjang Rumah Sakit Dr Bratanata (RS DKT), Jambi. Wajahnya pucat, tangan kanan-kiri dan bagian atas tubuh lainnya terlihat kurus, namun kaki, paha kanan-kiri dan perut justru nampak lebih "gemuk".
Namun kegemukan pada kakinya itu sangat tidak wajar, bentuknya seperti buah busuk. Apabila dipencet daging kakinya itu melesak ke dalam, namun lambat kembali seperti kondisi semula.
Menurut NS (35), anak pertama M.Y bin Yc, orang tuanya itu mengalami gangguan ginjal, yang mengakibatkan terbuangnya protein dalam tubuh melalui air seni atau urine.
Oleh para medis, kondisi pembengkakan (oedema) yang disebabkan karena kurangnya Albumin dalam tubuh seseorang itu lazim diberi obat yang berfungsi menambah Albumin.
"Berdasarkan hasil laboratorium dan diagnosa dokter, ayah saya ini mengalami kekurangan protein dalam tubuh, sehingga perlu diinfus dengan cairan Albumin," katanya.
Anehnya, meski sudah delapan hari meringkuk tidak berdaya, M.Y bin Yc diperlakukan tanpa pengobatan yang semestinya oleh perawat di rumah sakit itu. Perawat tidak juga memberikan obat berupa cairan infus yang dibutuhkan pada ayahnya.
Ternyata, menurut NS, setelah dirinya bertanya kepada perawat, mereka (rumah sakit) harus menunggu konfirmasi dari perusahaan tempat ayahnya bekerja, yang menanggung seluruh biaya perobatan.
"Kata perawat, mereka menunggu konfirmasi dari perusahaan tempat ayah saya bekerja, sebab harga obat (Albumin) yang dibutuhkan ayah itu harganya mahal, sehingga perlu persetujuan penanggung-jawab pembiayaan pasien," katanya.
NS mendapat informasi dari perawat, bahwa harga cairan obat berwarna kuning serupa minyak untuk menaikkan kadar Albumin dalam tubuh ayahnya itu mencapai Rp2,3 juta. Celakanya, seperti disebutkan NS, kadar Albumin ayahnya sangat rendah, sehingga kata dokter tidak cukup hanya satu botol, tapi mungkin perlu 3 atau empat botol.
Namun anehnya, ada seseorang yang datang pada NS dan mengaku memiliki kenalan orang apotik dan menawarkan pada dirinya Albumin dengan harga yang jauh lebih murah dari harga yang disebut pihak rumah sakit.
"Saya heran, kenapa harganya berbeda untuk obat yang sama. Orang apotik itu menawarkan harga yang jauh lebih murah, yakni hanya Rp1,9 juta, Tapi saya tidak dapat menerima tawaran itu, karena dalam asuransi ayah saya, semua obat termasuk tanggungan perusahaan dan disediakan oleh rumah sakit," katanya.
Lambatnya pemberian obat karena harganya yang mahal itu dibantah oleh Eryasni Husni. Dokter Spesialis Penyakit Dalam di rumah sakit itu mengatakan, penggunaan obat (dalam hal ini albumin) harus disesuaikan dengan kondisi dan usia pasien.
"Penggunaan obat-obatan pada pasien M.Y bin Yc harus disesuaikan pada kondisi tubuh pasien. Usia bapak itu sudah lanjut dan perlu pertimbangan kondisional dalam penggunaan obat," ucapnya.
Namun soal penawaran harga obat yang berbeda juga dialami oleh Be di rumah sakit berbeda. Jurnalis harian di salah satu media terkemuka di Jambi ini heran ketika ada orang seperti "calo" yang menawarkan obat dengan harga jauh lebih murah dari yang disebut oleh pihak rumah sakit kepada dirinya, saat ia perlu membeli Albumin untuk sang istri yang sedang sakit.
"Apakah ini bagian dari mafia obat-obatan di rumah sakit, yang bekerjasama dengan dokter dan pihak apotik?" tanyanya.
Sebuah sumber di apotik ternama di Jambi menyebutkan, harga obat-obatan ketika sampai di tangan pembeli, sebenarnya sudah di-"mark up" sedemikian rupa, sesuai dengan panjangnya jalur distribusi obat-obat, sejak mulai dari distributor, pengecer, hingga rumah sakit dan dokter.
"Banyak juga "permainan" antara apotik, distributor dan dokter dalam merekomendasikan (meresepkan) obat tertentu dengan merek tertentu. Setiap obat yang diresepkan di apotik tertentu, seorang dokter akan mendapat "fee" sekian persen dari harga obat tersebut," kata sumber itu.
Dalam sebuah situs belanja online medicastore.com disebutkan, harga Human Albumin Infus 20 persen 100 ML behering dilabel dengan harga sekitar Rp1.6 juta. Harga ini jelas jauh lebih murah dari harga obat sejenis yang disebutkan oleh rumah sakit dan "oknum" perawat yang mengaku ada kenal dengan orang apotik di Jambi itu.
Kepala PT Askes Cabang Jambi, dr Sri Mugirahayu, hanya tertawa saat ditanya tentang "permainan rahasia" para dokter ini.
"Makanya saya memilih masuk dan bekerja di Askes dari pada berpraktek sebagai seorang dokter, dalam soal ini saya masih memiliki idealisme yang harus saya pertahankan," katanya dalam sebuah pelatihan "Bagaimana BPJS Bekerja" yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang bekerja sama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES) di Jambi dua pekan lalu.
Begitulah, minimnya pengetahuan masyarakat tentang jenis obat, khasiat dan perbedaan harga untuk masing-masing merk membuat mereka acap termenung di depan loket kasir saat membayar tagihan biaya berobat di rumah sakit.
Persoalan menjadi rumit ketika masyarakat tidak punya pilihan dalam menggunakan jenis obat di rumah sakit, dan atau menentukan sendiri masa perawatan yang disesuaikan dengan isi kantong masing-masing.
Maksudnya, dapatkah pasien atau masyarakat menentukan biaya berobat termasuk mengkonsumsi obat yang kandungan obatnya serta harganya sesuai dengan isi kantongnya? Sama seperti misalnya ketika mereka memilih menu di restoran warung tegal, dengan asumsi makan apa saja, yang penting bisa kenyang, enak dan sehat.
Khasiat obat, lama perawatan plus biaya yang meningkat
Berbedanya harga obat untuk jenis yang sama, sebenarnya dimungkinkan oleh regulasi pasar dan faktor produksi obat. Namun yang paling mencengangkan, ternyata harga obat berpengaruh terhadap tingkat penyembuhan dan lamanya seorang pasien sembuh dari penyakitnya.
Maksudnya, semakin mahal harga obat yang dikonsumsi, maka si pengguna (pasien) dapat cepat sembuh, dan semakin murah harga obat yang dimakan, maka si pasien musti berlama-lama menanggung sakit, karena lambatnya reaksi obat itu.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dra. Agusdini Banun Saptaningsih Apt, MARS, Humas dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit (Persi), diketahui bahwa Albumin memiliki beberapa merk yang ternyata masa penyembuhannya (khasiatnya) teragntung harganya.
Menurut dia dalam studi kasus di Rumah Sakit Darmais, Jakarta, yang bertajuk "Perbandingan Efektivitas Biaya Albumin Merk A, Merk B dan Merk C Pada Pasien Kanker" itu, dalam penelitian awal menunjukkan bahwa tiga pasien yang menggunakan Albumin dengan merk berbeda tetap mengalami peningkatan Albumin dalam tubuhnya.
Namun, setelah dilakukan penelitian lanjut, diketahui bahwa masing-masing merk obat memiliki waktu penyembuhan (peningkatan kadar albumin) yang berbeda, yang tergantung pada harganya.
Pasien pengguna Albumin merk pertama--yang harganya mahal--mengalami peningkatan albumin dalam tubuhnya rata-rata 40 jam atau 2 hari, merk kedua mengalami peningkatan rata-rata 52 jam atau 3 hari, sementara merk ketiga butuh waktu 110 jam atau 5 hari, tulisnya lagi.
Persoalannya, lamanya masa penyembuhan--dalam hal ini peningkatan albumin dalam tubuh pasien-- akan berimbas pada biaya perawatan secara menyeluruh.
Pasien yang mengunakan Albumin merk A dengan harga paling mahal dari kedua merk lainnya butuh waktu dua hari untuk meningkatkan Albumin dalam tubuhnya, sehingga biaya rawat inap oleh si pasien di rumah sakit dapat ditekan.
Ini berbeda dengan pasien pengguna Albumin merk B dan C. Pengguna kedua merk ini membutuhkan waktu yang relatif lebih lama untuk peningkatan Albumin dalam tubuh mereka.
Artinya, semakin lama masa rawat inapnya di rumah sakit, sejalan dengan masa peningkatan Albumin pada obat yang "murah" membuat biaya si pasien meningkat pula, seiring dengan meningkatnya jumlah kunjungan (visit) sang dokter untuk mengecek kondisi pasien.
Dengan demikian, penggunaan obat yang mahal oleh pasien akan terbayarkan dengan masa penyembuhan yang cepat. Yang artinya pula, biaya rawat inap di rumah sakit akan berkurang. Sementara itu, penggunaan obat yang murah akan berdampak pada lamanya masa penyembuhan, yang akan berdampak pula terhadap biaya rawat inap pasien di rumah sakit.
Kesimpulan penelitian ini, menurut Agusdini Banun Saptaningsih, Albumin merk A (yang harganya mahal) merupakan terapi paling efektif dalam meningkatkan kadar albumin, dengan pengeluaran biaya yang paling sedikit.
Namun sebenarnya penelitian ingin menegaskan bahwa berobat itu mahal. Tidak ada berobat yang murah. "Murah diobatnya, mahal diperawatannya", atau "mahal diobatnya, murah dibiaya perawatannya". Sebuah pilihan yang sejatinya bukan pilihan.
Mahalnya harga obat
Personnel & General Affair's Manager PT Dexa Medica, Kahar Gentar, dalam sebuah lawatan ke pabrik PT Dexa medica di Palembang, Sumatera Selatan beberapa waktu lalu mengatakan, mahalnya harga obat di Indonesia sangat dimungkinkan, karena bahan-bahan obat di negara ini sebagian besarnya musti didatangkan dari luar negeri (impor).
Namun selain biaya produksi, yang meliputi harga bahan baku, peracikan, pengepakan, dan lain sebagainya, sebenarnya harga (coast) obat-obatan sudah dihitung sejak dari penelitian atau uji labpratorium yang biayanya kadang justru lebih mahal dari produksi obat-obatan itu.
Bayangkan, untuk membuat/penelitian awal satu jenis obat, mulai dari isolasi atau sintesis senyawa kimia, uji praklinik dan uji klinik sampai diperolehnya satu jenis obat, biayanya dapat mencapai angka 500 juta dollar AS.
Angka ini sangat fluktuatif, sebab Profesor Arini Setiawati dari Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menengarai biaya penelitian dan pengembangan satu jenis obat baru membutuhkan dana sebesar 900 hingga 1,8 miliar dollar AS, dengan rentang waktu antara 12-15 tahun.
Jenis obat baru "fresh from the oven" inilah yang kemudian dikenal sebagai obat paten—dengan masa paten yang mencapai 20 tahun. Dengan hak paten yang dibeli oleh perusahaan, maka monopoli obat yang diproduksi sangat mungkin terjadi, sehingga harganya tentu saja disesuaikan dengan hitung-hitungan si produsen.
Angka-angka ini jelas tidak berhenti sampai di sana. Setelah dikemas semenarik mungkin, agar obat-obatan yang diproduksi dapat dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat secara luas, maka diperlukan sebuah promosi, yang anggarannya juga bisa lebih besar dari ongkos produksi barang atau obat-obatan itu sendiri. Maka tidak heran, harga obat menjadi mahal di pasaran.
Obat Generik Berlogo
Dalam beberapa referensi disebutkan, di negara-negara maju hanya dikenal dua jenis obat, yakni obat generik dan obat paten. Namun di Indonesia, obat generik kiranya masih dibedakan menjadi dua macam, yakni Obat Generik Berlogo (OGB) dan obat generik bermerk.
Yang terakhir ini adalah jenis obat yang dipasarkan dengan menggunakan nama dagang/merek tertentu, sebab itu harganya masih jauh lebih mahal dari Obat Generik Berlogo, karena diproduksi dengan merek dagang.
Sementara itu OGB adalah jenis obat-obatan yang dibuat berdasarkan program pemerintah RI sejak tahun 1989. Laiknya program pemerintah, OGB dipasarkan tidak menggunakan bendera atau merek dagang tertentu.
Obat-obatan tersebut diproduksi dan dijual dengan apa adanya. Artinya tanpa mengunakan nama, atau kemasan yang umum untuk menarik minat pembeli. Yang dijual dari OGB adalah kandungan zat aktifnya, zat aktif yang merupakan komponen utama dari obat untuk mengobati sesuatu penyakit.
Yang dikedepankan dalam penggunaan OGB adalah substansi dari pengobatan itu sendiri, yakni sehat. OGB berfungsi mengobati penyakit, bukan untuk menjual merek, gengsi atau macam-macam faktor eksternal lainnya.
Jadi jika ingin membeli amoxycilin, maka belilah amoxycilin, bukan Bemoxycilin atau Antumoxycilin. Yang pertama adalah zat aktif dalam obat, dan yang berikutnya adalah nama obat yang mengandung zat aktif amoxycilin.
Kualitas dan keampuhan obat jenis OGB ini tetap sama dengan obat paten atau bemerek, sebab mulai dari bahan baku hingga cara pembuatannya, tetap mengacu pada standar obat originator, dan diproses dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang diawasi secara ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI.
Faktor yang membuat obat generik dengan obat paten memiliki selisih harga yang sangat jauh, meski khasiatnya sama-sama manjur adalah karena obat generik berpenampilan biasa saja, kemasan monoton, dan tidak bermerek.
Persoalannya, apakah ketersediaan OGB dalam sistem Sistem Jaminan Sosial Nasioanal (SJSN) yang akan dimulai pada Januari 2014 ini sudah memadai? Maksudnya, apakah obat generik yang disediakan oleh pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) mencukupi untuk segala jenis obat dan penyakit?
Ketersediaan OGB dalam JKN
Kementerian Kesehatan telah menetapkan daftar obat yang akan digunakan dalam pelayanan pengobatan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Menurut Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes, Maura Linda Sitanggang, jumlah obat yang sudah disetujui masuk dalam formularium nasional (fornas) mencapai 923 sediaan, yang mencakup obat generik dan obat dengan merk.
"Dari daftar obat yang beredar di masyarakat, 10 persen diantaranya tidak masuk dalam fornas JKN ini. Obat-obatan tersebut umumnya adalah obat baru atau obat-obatan untuk jenis penyakit baru," katanya seperti dilansir sejumlah media awal bulan lalu.
Terpisah, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Jambi, Ida Yuliati mengakui, dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) nanti, seluruh obat-obatan akan disediakan oleh rumah sakit di daerah.
"Kita tengah menyediakan tempat untuk obat-obatan termasuk SDM yang akan mengelola distribusi obat kepada pasien di rumah sakit," katanya.
Saat ditanya obat apa saja yang disediakan dalam Formularium Nasional (fornas) itu, Ida menggeleng, "terlalu banyak obatnya, saya tidak hapal, tapi ada daftarnya," kata Ida.
Namun, kata dia, bagi pasien yang ingin minta resep dengan obat paten, tentu akan diresepkan sesuai dengan permintaannya. Dan soal ini sudah diatur dalam Permenkes. Obatnya ini diputuskan oleh komite medik atau rumah sakit.
Bagaimana dengan Albumin yang harganya relatif mahal dari obat-obat lainnya? Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 328 Tahun 2013 Tentang Fprmularium Nasional, diketahui ada tujuh frasa Albumin yang tercantum dalam Kepmenkes setebal 57 halaman yang memuat daftar obat-obatan yang disediakan dalam JKN. (dicari dengan metode control F pada komputer).
Artinya mungkin, pasien yang membutuhkan Albumin dalam tubuhnya untuk kesembuhan, akan mendapat layanan obat itu. Namun pemberian Albumin sepertinya ditakar dan dibatasi dengan beberapa persyaratan; penggunaan Human Albumin inj 5 persen dan 25 persen hanya tersedia untuk pasien JKN tingkat 2 dan 3.
Direktur Program Friedrich Ebert Stiftung (FES), Mian Manurung, mengatakan, secara umum banyak pemerintah daerah di masing-masing provinsi di Indonesia yang belum siap menjalankan SJSN.
Namun, kata dia, masyarakat Indonesia harus mendukung dan optimis dengan penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan dimulai pada 1 Januari 2014 ini.
"Kita harus mendukung dan optimis dengan program ini, sebab ini adalah proram yang baik dan harus diterapkan," pungkasnya. (Ant)