Jakarta (ANTARA Jambi) - Demonstrasi buruh selalu mewarnai menjelang
penetapan upah minimun provinsi tanggal 1 November karena UMP itu akan
berdampak pada upah buruh di kabupaten/kota dan upah sundulannya.
Walaupun sudah ada landasan penetapan, yaitu berdasarkan survei
Kebutuhan Hidup Layak (KHL), pada Sidang Dewan Pengupahan, perwakilan
buruh akan meminta besaran lebih tinggi, sementara pengusaha berupaya
menekan upah di bawah besaran KHL.
Selama ini buruh menggugat jumlah komponen KHL yang hanya 60 item,
padahal kebutuhan buruh lebih dari itu. Serikat pekerja menuntut 84 item
kebutuhan yang dihitung dalam survei KHL.
Hampir di setiap daerah muncul aksi demontrasi yang tidak semua
bebas kekerasan. Ada aksi memaksa buruh keluar dari pabrik untuk ikut
demontrasi, ada massa yang bentrok dengan petugas keamanan, ada mogok
kerja, bahkan pernah ada aksi menurup tol sehingga menganggu akses
ekonomi dan sosial masyarakat.
Tampaknya itulah yang menjadi dasar Pemerintah pada tanggal 23
Oktober 2015 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan. Peraturan pemerintah baru itu ingin membuat
penetapan upah menjadi sesuatu yang berjalan mulus dengan formula yang
dipastikan membuat upah selalu naik setiap tahun.
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan bahwa formula upah
minimum pada PP No. 78/2015 itu memperhitungkan persentase inflasi dan
pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). PDB pada dasarnya merupakan
jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu
negara tertentu, inilah yang menjadi ukuran apakah ada pertumbuhan
ekonomi atau tidak.
Formula kenaikan upah itu dihitung dengan rumus "upah minimum yang
baru = upah minimum saat ini + {upah minimum x (persentase inflasi +
persentase pertumbuhan produk domestik bruto yang sedang berjalan)}".
Pasti Naik
Peraturan Pemerintah Pengupahan yang mulai berlaku untuk UMP tahun
2016, ternyata memang memastikan adanya kenaikan upah karena dengan
formula baru paling tidak UMP 2016 lebih tinggi 12 persen dari UMP 2015
dengan asumsi diperkirakan inflasi tahun ini sekitar 6,5 persen dan
pertumbuhan ekonomi sekitar 5,5 persen.
Misalnya, Upah Minimum Kota Yogyakarta 2016 yang ditetapkan
berdasarkan PP Pengupahan ternyata lebih tinggi daripada upah yang
ditetapkan berdasarkan survei kebutuhan hidup layak.
Sekretaris Dewan Pengupahan Kota Yogyakarta Rihari Wulandari
mengungkapkan bahwa Pemerintah menetapkan nilai inflasi sebesar 6,83
persen dan pertumbuhan domestik bruto sebesar 4,67 persen. Dengan
patokan UMK Yogyakarta 2015 sebesar Rp1.302.500,00 per bulan, UMK
Yogyakarta 2016 mencapai Rp1.452.287,50/bulan.
"Angka itu lebih baik dibanding menggunakan formula lama yang
ditetapkan Dewan Pengupahan," katanya tanpa mau menyebut besaran angka
UMK yang dihasilkan Rapat Dewan Pengupahan Kota Yogyakarta pada
tanggal 19 sampai 23 Oktober 2015.
Namun, untuk DKI Jakarta, Dewan Pengupahan telah menetapkan KHL 2015
sebesar Rp2,98 juta. Dengan asumsi inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang
totalnya 11 persen, UMK 2016 menjadi Rp2,98 ditambah Rp357 ribu, yaitu
Rp3,33 juta. KHL 2015 itu besarannya naik 14,2 persen atau Rp441.826
dibandingkan tahun 2014 yang hanya Rp2.538.174,00.
Jadi, jika menggunakan formula baru, UMK DKI 2016 justru menurun,
yaitu besaran UMK 2015 sebesar Rp2,7 juta ditambah Rp357 ribu (asumsi
total inflasi dan pertumbuhan 12 persen). Artinya, angka yang dicapai
hanya Rp3,057 juta.
Jadi, ada daerah yang diuntungkan dengan formula baru. Akan tetapi,
ada juga yang dirugikan. Semua itu tergantung pada kenaikan angka KHL
dan besaran upah minimum tahun sebelumnya, selain dari faktor inflasi
dan pertumbuhan yang ditetapkan pemerintah pusat.
Bagaimana dengan daerah yang upahnya masih di bawah KHL?
Empat Tahun
Hanif Dhakiri mengatakan bahwa seluruh Provinsi Indonesia harus
penuhi besaran KHL, yang menjadi dasar dalam penentuan upah minimum yang
baru sehingga nanti yang belum sesuai maka diberikan waktu empat tahun
untuk menyamakan dengan KHL.
"Nanti, pada tahun kelima akan dilakukan evaluasi komponen KHL, yang
saat ini masih berlaku yaitu 60 item. Ukuran evaluasi lima tahun ini
karena menurut Badan Pusat Statistik (BPS), perubahan pola konsumsi
masyarakat terjadi dalam setiap lima tahunan," katanya
Ia mengungkap bahwa masih ada delapan daerah yang upah buruhnya
belum memenuhi KHL, yaitu Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Barat, Maluku, Maluku utara, NTB, NTT, dan Papua Barat.
"Daerah-daerah itu diwajibkan untuk memiliki road map atau rencana terstruktur untuk memenuhi KHL-nya," katanya.
Jika pada saat ini daerah itu hanya bisa memenuhi 92 persen, kata
dia, delapan persen harus bisa diselesaikan paling lama empat tahun.
"Kita beri kesempatan mengejar dulu upah yang sama dengan KHL setelah
itu perhitungannya ikut formula yang baru," katanya.
Peraturan Pemerintah Pengupahan itu sendiri merupakan tindak lanjut
dari Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV yang dikeluarkan pada hari Kamis
(15/10). Bidang lain yang masuk paket itu adalah pengembangan kredit
usaha rakyat (KUR) dan pengembangan ekspor oleh pelaku UMKM dengan
dukungan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
"Peraturan Pemerintah Pengupahan akan langsung diterapkan tahun
2015, artinya UMP 2016 sudah akan ditetapkan menggunakan formula baru
tersebut," katanya.
Ia menegaskan bahwa Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV yang menyentuh
buruh itu akan membuat perusahaan tidak perlu lagi "pusing" memikirkan
kenaikan upah secara mendadak karena adanya formula pengupahan sehingga
bisa fokus meningkatkan kesejahteraan pekerja melalui dialog bipartit.
Selain itu, kebijakan baru itu akan bisa menggeser perjuangan
pekerja dari sebelumnya menuntut upah minimum menjadi memperjuangkan
upah layak dan hak-hak pekerja lainnya yang mungkin diabaikan
perusahaan.
Pemerintah juga berupaya tidak hanya mengamankan upah minimum,
tetapi juga meminta setiap perusahaan wajib memiliki struktur dan skala
upah yang jelas, artinya ada besaran yang berbeda pada setiap tingkatan
manajemen, serta faktor lain, seperti pendidikan, kompetensi, dan
prestasi atau produktivitas.
"Struktur dan skala upah ini penting untuk sehatnya bisnis
perusahaan dan melindungi kepentingan para pekerja," kata Hanif
Dhakiri.
Bagi perusahaan yang tidak memiliki struktur dan skala upah yang
jelas, Pemerintah akan memberikan sanksi berupa sanksi administratif
hingga pembekuan perusahaan. Sebaliknya, Pemerintah juga akan memberikan
penghargaan atau "reward" kepada perusahaan yang taat aturan
pengupahan.
Pro dan Kontra
Keluarnya PP No. 78/2015 itu mengudang aksi pro dan kontra. Sebagian
besar pengusaha justru menyambut baik usulan itu karena mereka akan
dengan mudah menentukan besaran biaya tenaga kerja untuk satu tahun ke
depan. Sementara itu, serikat pekerja sebagian besar justru menolak itu
yang ditandai aksi demontrasi di sejumlah kota.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani
mendukung kebijakan pemerintah karena menguntungkan pengusaha dan
pekerja.
"Upah buruh akan naik secara proporsional sesuai dengan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Pengusaha juga mudah menghitung besaran biaya
tenaga kerja," katanya.
Ia menegaskan bahwa selama ini kenaikan upah buruh sering di luar
prediksi pengusaha dan selalu ditetapkan mengikuti tekanan buruh melalui
demontrasi.
Menurut Hariyadi, UMP adalah jaring mengaman sosial, artinya baru
menghitung upah paling bawah kepada buruh, sementara pengusaha juga
harus memikirkan juga upah sundulannya.
"Jadi, kalau kita hitung kenaikan UMP dan upah sundulan, sebenarnya
tiap tahun kenaikan upah bisa sebesar 12 persen," katanya.
Sejumlah konfederasi serikat pekerja justru menolak PP Pengupahan
tersebut karena mereka tidak pernah diajak rembukan untuk menentukan
formula yang tidak merugikan pekerja.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal
menegaskan bahwa formula kenaikan upah minimum yang tercantum pada PP
No. 78/2015 itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
Iqbal mengatakan bahwa undang-undang mengatur penetapan upah minimum
dilakukan oleh kepala daerah berdasarkan rekomendasi dewan pengupahan
yang terdiri atas perwakilan pengusaha, buruh, dan pemerintah, baru
kemudian mempertimbangkan faktor inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan
regresi.
"Jadi, bukan ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui PP tanpa
dirundingkan dengan serikat pekerja. Dengan diberlakukannya PP ini, upah
buruh akan naik paling tinggi hanya 10 persen dan berlaku selama
puluhan tahun sehingga berdampak pada pemiskinan secara sistemik,"
tuturnya.
Ia menilai PP Pengupahan itu lebih menguntungkan pengusaha dan
belum tentu formula itu membuat upah buruh Indonesia bisa sejajar dengan
negara lain.
"Upah minimum di Thailand saat ini Rp3,5 juta, Tiongkok Rp3,9 juta,
bahkan Filipina Rp4,2 juta. Sementara itu, upah minimum rata-rata
Indonesia hanya di kisaran Rp2 juta. Jakarta sebagai ibu kota negara
saja, upah minimum buruhnya hanya Rp2,7 juta," katanya.
Dengan formula yang hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan
ekonomi saja, Iqbal memperkirakan kenaikan upah buruh di Indonesia hanya
dalam kisaran 10 persen, bahkan bisa lebih kecil.
Iqbal juga menuntut agar komponen KHL diubah dari hanya 60 butir
menjadi 84 butir sehingga lebih mencerminkan kebutuhan layak yang
sebenarnya.
Sebagai bentuk penolakan, terjadi demontrasi oleh serikat pekerja di
Ibu Kota dan sejumlah daerah khususnya di kawasan industri.
Said Iqbal menyatakan aksi buruh akan dilakukan setiap hari, baik di
Istana Kepresidenan maupun di kawasan-kawasan industri se-Indonesia,
seperti Pulo Gadung, Cakung, MM 2100, Jababeka, KICC Karawang, Ngoro
Sidoarjo, PIR Pasuruan, KIM Medan, dan Cikupa Tangerang.
Buruh juga akan menggelar mimbar rakyat pada tanggal 29 Oktober dan
pada tanggal 30 Oktober 50.000 anggota KSPI dan Konfederasi Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) akan melakukan aksi di Istana
Presiden.
"Sepanjang November aksi buruh akan dilakukan di kantor bupati- wali
kota dan gubernur, kawasan industri dan pelabuhan. Puncaknya, pada
bulan Desember, lima juta buruh di 200 kabupaten/kota akan melakukan
mogok nasional," katanya.
Buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Upah menggelar aksi di sejumlah tempat menolak pemberlakuan PP Pengupahan.
Aksi-aksi buruh itu juga tidak bisa dipandang sebelah mata karena
saat ini kekuatan buruh lebih solid dan militan dibanding 10 atau 15
tahun yang lalu. Pemerintah harus segera mengambil sikap, jangan sampai
aksi-aksi penolakan buruh itu berlangsung masif di sejumlah daerah
sehingga berpotensi melemahkan upaya pemulihan ekonomi.
Alangkah baiknya kajian soal upah buruh juga bercermin dari besaran
upah di negara lain sehingga ada kesejajaran upah antarnegara di ASEAN,
apalagi Masyarakat Ekonomi ASEAN akan mulai berlaku 1 Januari 2016.
Buruh Indonesia juga harus sama sejahteranya dengan buruh-buruh dari
negara lain.
Benarkah PP Pengupahan perbaiki nasib buruh?
Rabu, 28 Oktober 2015 15:24 WIB