Obat pereda nyeri atau sakit yang diderita pasien kanker atau Samarium-153-Ethylene Diamine Tetramethylene Phosphonate (Samarium-I53-EDTMP) akan dipromosikan di Jerman melalui pameran Indonesia Innovation Day 2019 pada 26 Juni 2019.
"Samarium-I53-EDTMP merupakan suatu radiofarmaka yang digunakan untuk terapi paliatif terhadap pasien kanker yang sudah metastasis ke tulang," kata peneliti dari Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka Titis Sekar Humani di sela-sela acara Persiapan Pameran Indonesia Innovation Day 2019 di Eropa: Pembekalan Kapasitas Hilirisasi Produk Unggulan 2019, Jakarta, Rabu.
Pameran lndonesia lnnovation Day 2O19 yang akan diadakan di Jerman mempromosikan 20 produk Pusat Unggulan lptek (PUl) Tanah Air yang sudah lolos seleksi.
Titis menuturkan karakteristik kanker stadium lanjut biasanya akan terjadi penyebaran atau metastasis ke jaringan lain seperti tulang. Dengan adanya sebaran sel kanker ke tulang, pasien akan merasa nyeri yang hebat.
"Obat pereda nyeri pada tulang ini bisa digunakan penderita kanker termasuk kanker payudara, prostat, rahim dan paru," katanya.
Untuk meredakan nyeri tersebut secara konvensional, pasien dapat menggunakan morfin hanya saja efek samping yang ditimbulkan dengan penggunaan morfin lumayan banyak seperti kadang menimbulkan ketergantungan, membut pasien mengalami kondisi seperti "fly" atau "mabuk" dengan kemungkinan terus merasa kantuk sehingga menjalani hidup yang kurang produktif.
Selain itu, dosis penggunaan morfin juga makin lama makin meningkat sehingga terapinya makin lama makin mahal, dan pemakaianya bersifat rutin tiap hari.
Namun, jika menggunakan Samarium-I53-EDTMP, pasien kanker diinjeksi dengan obat itu di rumah sakit. Penggunaan obat itu memberikan efek pereda nyeri hingga empat bulan tergantung kondisi pasien.
"Jadi pasien kanker ini cukup disuntik empat bulan sekali di rumah sakit untuk meredakan nyerinya dan dia tidak menimbulkan efek ketergantungan dan "fly" seperti pada penggunaan morfin," ujarnya.
Selain itu Samarium-I53-EDTMP juga langsung menargetkan tulang sehingga ketika diinjeksi ke tulang, obat ini akan langsung menuju ke tukang dan sel-sel kanker di tulang sehingga tidak mengganggu sel normal lain pada tubuh.
Samarium-I53-EDTMP mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan pada Oktober 2016
Kini, Samarium-I53-EDTMP telah digunakan oleh sejumlah rumah sakit di sejumlah daerah di Indonesia dan masuk dalam daftar obat yang ditanggung BPJS.
Di Jakarta, Samarium-I53-EDTMP digunakan di RS Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, RS kanker Dharmais dan MRCCC Siloam. Obat itu juga digunakan di beberapa rumah sakit di Semarang dan Bandung.
Ia menjelaskan, biaya satu kali injeksi obat Samarium-I53-EDTMP sebesar Rp3-Rp4 juta untuk pasien dengan berat badan sekitar 50-70 kilogram.
Titus mengatakan, dosis Samarium-I53-EDTMP adalah satu milikuri per kilogram berat badan pasien, dengan harga obat Rp58 ribu hingga Rp60 ribu per milikuri.
Baca juga: Indonesia bawa 20 produk ke Innovation Day di Jerman
Baca juga: Waspadai masalah tulang belakang seiring bertambah tua
Baca juga: Waspadai benjolan yang ternyata pertanda kanker bernama sarkoma
"Samarium-I53-EDTMP merupakan suatu radiofarmaka yang digunakan untuk terapi paliatif terhadap pasien kanker yang sudah metastasis ke tulang," kata peneliti dari Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka Titis Sekar Humani di sela-sela acara Persiapan Pameran Indonesia Innovation Day 2019 di Eropa: Pembekalan Kapasitas Hilirisasi Produk Unggulan 2019, Jakarta, Rabu.
Pameran lndonesia lnnovation Day 2O19 yang akan diadakan di Jerman mempromosikan 20 produk Pusat Unggulan lptek (PUl) Tanah Air yang sudah lolos seleksi.
Titis menuturkan karakteristik kanker stadium lanjut biasanya akan terjadi penyebaran atau metastasis ke jaringan lain seperti tulang. Dengan adanya sebaran sel kanker ke tulang, pasien akan merasa nyeri yang hebat.
"Obat pereda nyeri pada tulang ini bisa digunakan penderita kanker termasuk kanker payudara, prostat, rahim dan paru," katanya.
Untuk meredakan nyeri tersebut secara konvensional, pasien dapat menggunakan morfin hanya saja efek samping yang ditimbulkan dengan penggunaan morfin lumayan banyak seperti kadang menimbulkan ketergantungan, membut pasien mengalami kondisi seperti "fly" atau "mabuk" dengan kemungkinan terus merasa kantuk sehingga menjalani hidup yang kurang produktif.
Selain itu, dosis penggunaan morfin juga makin lama makin meningkat sehingga terapinya makin lama makin mahal, dan pemakaianya bersifat rutin tiap hari.
Namun, jika menggunakan Samarium-I53-EDTMP, pasien kanker diinjeksi dengan obat itu di rumah sakit. Penggunaan obat itu memberikan efek pereda nyeri hingga empat bulan tergantung kondisi pasien.
"Jadi pasien kanker ini cukup disuntik empat bulan sekali di rumah sakit untuk meredakan nyerinya dan dia tidak menimbulkan efek ketergantungan dan "fly" seperti pada penggunaan morfin," ujarnya.
Selain itu Samarium-I53-EDTMP juga langsung menargetkan tulang sehingga ketika diinjeksi ke tulang, obat ini akan langsung menuju ke tukang dan sel-sel kanker di tulang sehingga tidak mengganggu sel normal lain pada tubuh.
Samarium-I53-EDTMP mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan pada Oktober 2016
Kini, Samarium-I53-EDTMP telah digunakan oleh sejumlah rumah sakit di sejumlah daerah di Indonesia dan masuk dalam daftar obat yang ditanggung BPJS.
Di Jakarta, Samarium-I53-EDTMP digunakan di RS Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, RS kanker Dharmais dan MRCCC Siloam. Obat itu juga digunakan di beberapa rumah sakit di Semarang dan Bandung.
Ia menjelaskan, biaya satu kali injeksi obat Samarium-I53-EDTMP sebesar Rp3-Rp4 juta untuk pasien dengan berat badan sekitar 50-70 kilogram.
Titus mengatakan, dosis Samarium-I53-EDTMP adalah satu milikuri per kilogram berat badan pasien, dengan harga obat Rp58 ribu hingga Rp60 ribu per milikuri.
Baca juga: Indonesia bawa 20 produk ke Innovation Day di Jerman
Baca juga: Waspadai masalah tulang belakang seiring bertambah tua
Baca juga: Waspadai benjolan yang ternyata pertanda kanker bernama sarkoma