Jakarta (ANTARA) - Sebelum pandemi akibat penularan virus corona tipe baru penyebab COVID-19 yang membuat berbagai pembatasan dan penyesuaian harus dilakukan, rekaman sejarah menunjukkan bahwa wilayah Indonesia pada masa lalu pernah mengalami kejadian serupa yang disebabkan oleh wabah influenza.
Menurut buku karya Priyanto Wibowo, Magdalia Alfian, Tri Wahyuning M Irsyam, Kresno Brahmantyo, Harto Yuwono, Tubagus Arie Rukmantara, dan Syefri Luwis yang terbit tahun 2009 tersebut, pandemi COVID-19 jelas bukan lah pandemi pertama yang melanda wilayah Indonesia pada abad 21.
Sebelum pandemi yang sekarang, penyakit flu burung akibat virus influenza tipe A subtipe H5N1 mulai menjangkiti warga pada 2005 dan mewabah di sebagian besar wilayah provinsi pada tahun 2007. Selain itu, flu babi akibat virus influenza tipe A subtipe H1N1 sempat menimbulkan kekhawatiran di Indonesia pada 2009.
Jauh sebelum itu, wilayah Hindia Belanda menghadapi pandemi influenza atau flu Spanyol, yang disebut sebagai wabah penyakit terburuk pada abad 20.
Buku Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda merangkum berbagai informasi perihal kejadian pandemi tersebut dari berbagai arsip, termasuk arsip Kantoor voor Gezondheid Dienst tahun 1910-1942 yang mencakup berkas surat keputusan pemerintah serta bundel Binnenlandsch Bestuur yang meliputi arsip birokrasi kolonial pejabat pribumi.
Arsip lain yang dijadikan sebagai sumber informasi adalah koleksi laporan kepala daerah pada akhir masa jabatan dalam Memorie van Overgave, isi pidato pertanggungjawaban menteri koloni dalam sidang tahunan parlemen Belanda, kumpulan peraturan dalam almanak pemerintah dan lembaran negara Hindia Belanda, surat kabar dan majalah kesehatan pada masa lalu, serta koleksi foto masa lalu.
Arie Rukmantara menuturkan bahwa buku Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda disusun saat Indonesia menghadapi fase 5 wabah flu burung, yakni ketika ada sinyal kuat bahwa pandemi sudah mengancam sehingga menuntut penyempurnaan organisasi, komunikasi, dan implementasi rencana mitigasi.
Menurut Arie, yang kini menjadi bagian tim Komunikasi Publik Satuan Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, bidang komunikasi dan panel ahli Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagan Menghadapi Pandemi (Komnas FBPI) ketika itu bersiap-siap melakukan prakondisi masyarakat menghadapi pandemi, mulai mengkomunikasikan apa, di mana, dan bagaimana pandemi terjadi serta siapa yang berisiko terdampak.
"Intinya 5 W 1 H atau pandemi 101," kata Arie.
Saat Hindia Belanda menghadapi wabah
Buku setebal 215 halaman yang tercatat dalam Katalog Dalam Terbit Perpustakaan Nasional RI itu antara lain menuturkan kasus demam yang memakan korban di Karesidenan Pekalongan dan Banyumas pada 1846-1847, Rembang tahun 1875, Pulau Jawa tahun 1890, saat dokter mulai menggunakan istilah penyakit influenza pada pasien yang mengalami demam, sesak nafas, hidung tersumbat, dan batuk-batuk di barak-barak tentara.
Penulis selanjutnya mengutip peringatan Konsul Belanda di Singapura kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia pada April 1918 agar mencegah kapal-kapal dari Hongkong merapat di dermaga Batavia dan menurunkan penumpang karena Hongkong telah dinyatakan terjangkit oleh influenza.
Peringatan itu tidak begitu diperhatikan oleh Pemerintah Batavia, yang hanya menindaklanjuti peringatan dengan memperketat pengawasan terhadap kapal-kapal yang datang dari Hongkong.
Tiga bulan kemudian kasus influenza mulai dilaporkan oleh rumah sakit di Hindia Belanda. Jumlah kasusnya semakin meningkat pada Agustus hingga September 1918. Bulan selanjutnya kepala daerah Banjarmasin mengirimkan telegram darurat mengenai wabah influenza di daerahnya.
Pejabat daerah lain termasuk Buleleng (Bali); Banyuwangi, Mojowarno, dan Surabaya (Jawa Timur); serta Magelang, Rembang, dan Semarang (Jawa Tengah) kemudian melaporkan kasus serupa.
Menurut arsip, wabah tersebut mencapai puncak di wilayah Karesidenan Surabaya pada akhir 1918, ketika dalam waktu beberapa minggu jumlah korban yang meninggal sampai satu setengah juta orang.
Dalam Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, penulis juga menuangkan penuturan saksi sejarah mengenai pandemi di Tana Toraja, termasuk perihal kematian beberapa kerabat dalam waktu bersamaan setelah demam tinggi berhari-hari pada 1918.
Kepada ANTARA, Arie juga menuturkan tentang pertemuan dengan dukun berusia 90 tahun di Tana Toraja yang membawa tim penyusun buku ke tempat yang diduga sebagai lokasi penguburan korban pandemi influenza tahun 1918.
Dalam upaya mengatasi pandemi, Pemerintah Hindia Belanda kala itu membentuk tim penanggulangan, mengeluarkan
instruksi pembagian masker kepada warga yang tinggal di daerah terjangkit, serta menyebarluaskan informasi mengenai penyakit tersebut melalui sarana propaganda lewat jalur birokrasi.
Pada masa itu, pemerintah juga menerbitkan buku pedoman tentang penyakit influenza dalam bahasa Jawa yang berisi percakapan tokoh wayang punokawan yang populer di kalangan masyarakat Jawa.
Selain itu, pemerintah menerbitkan peraturan penanggulangan wabah influenza di Hindia Belanda dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië yang ditetapkan 20 Oktober 1920.
Menurut Arie, hasil penelitian yang dituangkan dalam buku tersebut mendorong keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2006 tentang Komite Nasional Pengendalaian Flu Burung dan Kesiapsiagaan menghadapi Pandemi Influenza.
Sayangnya, kejadian-kejadian wabah yang terjadi pada masa lalu serta upaya-upaya penanggulangannya seringkali terlupakan.
Gina Kolata, salah seorang penulis buku tentang pandemi yang dikutip penyusun buku, mengatakan bahwa kemajuan pesat ilmu kesehatan serta bertambahnya masalah-masalah baru di bidang kesehatan membantu proses hilangnya ingatan manusia terhadap pandemi flu 1918.
Menurut dia, setiap penemuan dalam dunia kesehatan membantu orang untuk merasa lega dan merasa bahwa ancaman kesehatan yang terjadi sebelumnya, seperti flu, tidak lagi mengkhawatirkan.
Baca juga:
Ilmuwan: Dunia hadapi bahaya pandemi influenza
COVID-19 masih tinggi, pemerintah minta warga tak mudik Idul Adha