Jayapura (ANTARA) - Rumah Bakau Jayapura, rumah besar bagi komunitas pecinta lingkungan di Kota Jayapura dan sekitarnya memilih cara unik untuk menyemarakkan HUT ke-75 kemerdekaan RI, 17 Agustus 2020.
Dengan tagline "Aksi cinta tanah air dan rehabilitasi mangrove dengan menanam 1.000 bibit pohon", aksi yang dilakukan tak jauh dari areal tersebut bekerja sama dengan Pemuda Panca Marga Provinsi Papua dan Pemuda Merah Putih Solo, Surakarta.
Abdel Gamel Naser, pendiri komunitas Rumah Bakau Jayapura, menjelaskan secara singkat tentang penggunaan nama Rumah Bakau Jayapura. Gamel, sapaan akrabnya, berkata bahwa komunitas ini erat kaitannya dengan generasi milenial.
Dirinya tinggal di dekat hutan bakau di kawasan Entrop, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, merasa terpanggil untuk menjaga kawasan tersebut, sehingga lahirlah gagasan untuk membuat wadah yang mendedikasikan diri pada pelestarian lingkungan hidup itu.
Rumah Bakau (RB) terbentuk karena dia melihat semangat anak-anak muda di bidang lingkungan, yang berjalan sendiri-sendiri tanpa wadah untuk menyalurkan semangat mereka.
"Padahal sebenarnya mereka ini punya kepedulian di bidang lingkungan, sehingga saya coba buat Rumah Bakau yang di dalamnya berisi banyak komunitas lingkungan, dan Rumah Bakau ibarat rumah adat honai, rumah besar bagi mereka semua," kata alumni SMK N 4 Kota Jayapura itu.
Baca juga: Bhayangkari Papua tanam 200 bibit mangrove di pesisir Pantai Mendug
Pertama kali
Namun, siapa sangka Rumah Bakau Jayapura (RB Jayapura) itu, akhirnya resmi berdiri pada 25 Maret 2019. Jauh sebelum itu, cikal bakal komunitas ini telah banyak berbuat untuk pelestarian lingkungan, mulai dari aksi bersih-bersih pantai di Kota Jayapura, tanam pohon hingga menumbuhkembangkan sikap nasionalisme dan cinta tanah air kepada kaum milenial.
Ayah satu anak itu mengatakan bahwa setahun sebelum dibentuk secara resmi, cikal bakal komunitas RB Jayapura menggelar upacara bendera HUT ke-75 Kemerdekaan RI di hutan bakau Entrop, Kelurahan Entrop, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, dengan melibatkan sejumlah anak muda dari berbagai kampus ternama di ibu kota Provinsi Papua, salah satunya Universitas Cenderawasih (Uncen).
"Mungkin upacara di tengah bakau ini yang pertama kali dilakukan di Papua, selain di Asmat yang dilakukan di atas papan. Tapi sebenarnya pesan yang mau disampaikan adalah cintah tanah air dan jiwa patriotisme di tengah HUT Kemerdekaan yang disandingkan dengan gaya perjuangan masa kini, melestarikan dan melindungi alam dan hutan dengan cara kami, cara anak muda Papua," ungkapnya.
Pada Agustus 2019, mereka ikut meramaikan dan melempar gagasan dalam pelaksanaan festival atau parade budaya yang digelar oleh Pemerintah Kota Jayapura di lapangan Trisila milik Lantamal X Jayapura. Dalam kegiatan ini, kelompok pemuda dalam komunitas yang bermarkas di Hanyaan Entrop itu, menampilkan sebuah boneka yang tidak tersenyum dan aksi teatrikal.
Dalam aksi itu, sejumlah kawula muda yang tertutup plastik dan botol bekas berjalan sejauh kurang lebih tiga hingga empat kilometer, tepatnya dari kompleks PTC Entrop menuju lapangan Trisila.
"Di sini kami sampaikan salam kepada Pak Wali Kota Jayapura Benhur Tomi Mano kepada pengunjung terkait sampah plastik dan kebersihan lingkungan yang menjadi ancaman bersama, sehingga perlu perhatian serius dalam penanganannya," kata Gamel didampingi sejumlah relawan RB Jayapura.
Kemudian, guna menyambut dan menyemarakkan perayaan HUT ke-75 Kemerdekaan RI, RB Jayapura menginisiasi aksi bersih-bersih pantai Hamadi-Holtekam sejauh satu kilometer, membagikan seribuan masker dan bendera merah putih.
Aksi mereka bekerja sama dengan Pemuda Panca Marga Provinsi Papua dan Pemuda Merah Putih asal Solo yang sengaja datang untuk melihat perayaan menyambut HUT Proklamasi di ujung timur Indonesia itu.
"Dan kegiatan hari ini, yakni pembentangan bendera merah putih sepanjang satu kilometer serta penancapan 100 lembar bendera di bibir pantai Hamadi-Holtekam, juga merupakan ide atau gagasan dari RB Jayapura, tapi yang melaksanakannya adalah Pemuda Panca Marga dibantu sejumlah komunitas atau organisasi lainnya, seperti Menwa dari kampus Uncen Jayapura," kata alumni Universitas Semarang itu.
Baca juga: Masih banyak praktik baik menjaga alam di Papua, sebut peneliti
Baca juga: Mangrove di Pesisir Sorong ditanam bersama warga dan TNI-AL
Swadaya
Gamel, jurnalis di salah satu koran terbesar di Kota Jayapura itu mengemukakan selama melaksanakan sejumlah kegiatan ataupun aksi lingkungan dan perayaan HUT 17-an, mereka kebanyakan menggunakan dana swadaya dari sesama relawan yang berjumlah sekitar 30 orang.
Selain itu, mereka juga mendapat bantuan dua unit sepeda motor roda tiga dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua dan perhatian dari Dinas Lingkungan Hidup setempat.
Hal yang menjadi pembeda Rumah Bakau Jayapura dengan organisasi lainnya adalah mereka melakukan aksi sosial secara swadaya, mandiri, dan tidak harus menunggu pemerintah atau sponsor. Mereka membawakan air atau makanan seperti singkong dari rumah, dan menikmatinya secara bersama sambil melakukan bakti sosial.
"Jadi, tidak harus menunggu proposal cair, tidak harus menunggu disposisi, tidak harus menunggu baliho, apalagi menunggu pemerintah buka kegiatan seremoni. Kami tidak seperti itu," katanya yang hobi fotografer dan sering kali meraih juara foto dalam berbagai perlombaan.
Dengan begitu, lanjut ayah dari Gybrani itu, perjuangan bersama rekan-rekannya untuk kelestarian lingkungan tanpa diboncengi kepentingan tertentu atau motif tersembunyi, tetapi semata untuk kelestarian lingkungan. Rumah Bakau Jayapura ingin menularkan tanggung jawab bahwa manusia harus peduli dengan lingkungannya.
Baca juga: Lahan kritis di Teluk Wondama diperbaiki dengan penanaman mangrove
Baca juga: 1.000 bibit mangrove ditanam di Teluk Bintuni
Menggaung dan menggigit
Meski aksi pungut sampah dan tanam pohon dianggap tidak terlalu signifikan, setidaknya mereka berbuat sesuatu yang bisa dilakukan, daripada sibuk dengan permainan dan aplikasi-aplikasi di laptop ataupun telepon seluler, yang hanya menghabiskan waktu tanpa berbuat.
Terobosan Gamel yang terkenal kritis soal alam dan hutan mengantarnya meraih tiga kali penghargaan sebagai tokoh inspiratif atau duta lingkungan dari WWF Region Sahul Papua pada 2009, 2017 dan 2018.
Dia mengaku mendapatkan banyak ilmu semasa menjadi Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Semarang dan tujuh UKM lainya di kampus tersebut hingga magang di Suara Merdeka, yang belakangan membuat dia tertarik dengan dunia jurnalis, lalu mendaftar jadi kuli tinta di perusahaan pers di Kota Jayapura pada 2004/2005 yang telah membesarkan namanya.
"Saya kira menjadi wartawan adalah suatu wadah atau pekerjaan yang dapat menyalurkan dan memperjuangkan apa yang menjadi buah pikir masyarakat. Dengan itu kita bisa mendorong, mengadvokasi aspirasi-aspirasi yang ada, dan tidak harus jadi wakil rakyat di dewan, karena karya tulis lebih menggaungkannya atau menggigit," katanya sering menjadi pembicara dan mentor di sejumlah kegiatan lingkungan.
Gamel bahkan berpesan kepada generasi milenial di Papua dengan menyitir Santa Theresa dari Kalkuta, tidak perlu menunggu seorang pemimpin jika kamu ingin bergerak. Jika kamu ingin bergerak cepat berjalanlah sendiri, kalau kamu ingin berjalan jauh, jalanlah bersama-sama.
"Anak muda jangan buat malu, kalau punya kreativitas, punya ide, tuangkan saja. Kalau belum punya wadah, dicari. Di Jayapura banyak sekali komunitas, tinggal mau bergabung, menuangkan pikiran-pikiran positif, dan jangan hanya buat kita tertutup dengan kecanggihan dan kemudahan telepon seluler," ujar pria yang suka mengoleksi kacamata dan sepatu bermerek itu.*
Baca juga: Menitip asa di hutan mangrove Tongke-Tongke
Baca juga: FJPI peringati HUT Kartini di "hutan perempuan"