Jakarta (ANTARA) -
Diperkirakan dalam beberapa hari ke depan, perdebatan juga masih terjadi. Informasi mengenai rencana unjuk rasa juga masih berseliweran di aplikasi perpesanan.
Semua itu menambah fenomenal perjalanan undang-undang (UU) ini. Sejak awal ketika baru diwacanakan hingga pengajuan ke DPR RI, Rancangan UU (RUU) ini sudah diwarnai beragam sikap dari berbagai komponen masyarakat.
Ada yang setuju dan ada yang menolak. Sikap berseberangan itu juga mengiringi pembahasannya di DPR RI.
Sampai akhirnya DPR menyetujui RUU ini disahkan menjadi UU pada 5 Oktober 2020, sikap berseberangan itu masih terjadi. Bahkan pihak yang menolak melanjutkan perjuangan ke ranah ekstraparlementer yang puncaknya pada 8 Oktober 2020.
Mereka dari beragam latar belakang. Tidak hanya buruh atau pekerja, ada juga mahasiswa, pelajar dan masyarakat.
Bukan hanya di DKI Jakarta, tetapi juga di berbagai kota besar di Indonesia. Umumnya unjuk rasa itu menyasar kantor DPRD dan pemerintah provinsi.
Fasum
Tetapi di Jakarta justru berbeda. Pada awalnya pembahasan hingga persetujuan RUU ini, unjuk rasa dilakukan di sekitar Gedung Parlemen, tempat seluruh proses legislasi.
Namun setelah 5 Oktober, aksi-aksi penolakan bergeser. Mulai dari Cikarang (Kabupaten Bekasi) dan daerah lainnya.
Baca juga: Pengamat sebut hal bagus dari UU Ciptaker tidak dijelaskan dari awal
Puncaknya pada 8 Oktober, aksi-aksi menyasar kawasan bisnis, seperti Senen, Harmoni hingga Sudirman-Thamrin termasuk Bundaran Hotel Indonesia (HI).
Kerusakan fisik berupa fasilitas umum (fasum) terjadi di sejumlah kawasan. Sejauh ini, kerusakan terparah dialami PT TransJakarta dengan 46 halte, tiga di antaranya harus dirombak total.
Kerugian fisik atas perusakan, penjarahan dan pembakaran halte tidak diungkapkan. Tetapi butuh kucuran anggaran sekitar Rp65 miliar hingga fasum ini bisa digunakan lagi secara normal.
Bisa dibayangkan betapa terganggunya mobilitas warga yang sudah terbatas di tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat operasional TransJakarta tanpa ada halte.
Kerugian fisik bisa dikalkulasi dan dana perbaikannya bisa diusahakan, tetapi kerugian masyarakat siapa yang menanggung?
Kerugian tersebut pasti juga dialami perusuh yang merusak halte-halte itu jika bermobilitas untuk suatu urusan menggunakan TransJakarta dalam kurun waktu hingga beberapa pekan mendatang.
Belum lagi kalau dikaitkan dengan potensi penyebaran virus corona (COVID-19). Tak sedikit pihak yang mencemaskan munculnya klaster baru dari ajang unjuk rasa, apalagi dari hasil tes cepat (rapid test) yang dilakukan Polda Metro Jaya menunjukkan tak sedikit pedemo yang reaktif.
Gugatan
Kini kontroversi terhadap UU ini masih terjadi di masyarakat. Penolak masih pada sikapnya, di sisi lain pemerintah terus menjelaskan substansi UU ini.
Sebagian pihak mendesak pemerintah membatalkannya tetapi mungkinkah akan dilakukan pemerintah mengingat RUU ini diajukan pemerintah?
Baca juga: Presiden Jokowi persilakan uji materi jika tidak puas atas UU Ciptaker
Baca juga: Presiden sebut 3 alasan UU Ciptaker dibutuhkan
Begitu juga desakan agar pemerintah merevisinya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pasti tidak akan dipenuhi. Perppu pun membutuhkan proses persetujuan dari parlemen.
Setelah proses DPR, sebuah RUU menjadi UU setelah ditandatangani presiden untuk diundangkan dalam lembaran negara. Jika pun presiden tidak menandatangani, dalam rentang 30 hari sebuah UU tetap sah.
Karena itu, UU ini tidak bisa lagi dibendung dan akan tetap berlaku. Jajaran pemerintah pun langsung melakukan sosialisasi substansinya.
Namun, bukan berarti peluang untuk mempersoalkan substansi sebuah UU oleh masyarakat tertutup sama sekali. Peluang itu dapat ditempuh melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Prosedur ini konstitusional dan semua warga negara Indonesia--tentu yang memenuhi persyaratan--berhak mengajukan gugatan ke MK. Apalagi pemerintah pun mengarahkan pemanfaatan prosedur konstitusional ini.
Transformasi ekonomi
Presiden Joko Widodo mempersilahkan pihak manapun yang tidak puas atas Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) untuk mengajukan uji materi (judicial review) ke MK.
“Jika masih ada ketidakpuasan terhadap UU Ciptaker ini, silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui Mahkamah Konstitusi,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam keterangan pers terkait UU Cipta Kerja dari Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (9/10).
Sistem ketatanegaraan di negeri ini memang menggariskan seperti itu. Jika masih ada yang merasa tidak puas dan menolak UU disarankan untuk melalui jalur uji materi ke MK.
Presiden telah memimpin rapat terbatas secara virtual dengan jajarannya termasuk para menteri dan gubernur untuk membahas tentang UU Ciptaker.
Presiden mencatat setidaknya terdapat 11 klaster dalam UU tersebut yang secara umum bertujuan untuk mempercepat transformasi ekonomi.
UU itu di antaranya mengatur urusan penyederhanaan perizinan, investasi ketenagakerjaan, pengadaan lahan, kemudahan berusaha, riset dan inovasi administrasi, kemudahan dan perlindungan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), investasi dan proyek pemerintah serta urusan kawasan ekonomi.
Indonesia membutuhkan UU Cipta Kerja untuk membuka peluang lapangan kerja yang lebih luas.
Bohong
Presiden Joko Widodo menyebutkan terjadinya demonstrasi massa yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja karena dilatarbelakangi disinformasi dan juga kabar bohong atau hoaks di media sosial.
Presiden mencontohkan beberapa kabar keliru, di antaranya yang menyebutkan upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral provinsi dihapus.
Baca juga: Pemuda Muhammadiyah dukung uji materi UU Cipta Kerja ke MK
Pada UU yang disusun melalui metode Omnibus Law itu, ketentuan upah juga diatur berdasarkan waktu dan hasil yang diperoleh pekerja. Presiden dengan tegas membantah jika ada yang menyebut upah minimum akan dihitung per jam.
Kemudian, Presiden Jokowi juga menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja mengatur hak untuk semua cuti. Dari cuti sakit, cuti menikah, cuti khitanan, cuti babtis, cuti kematian hingga cuti melahirkan.
Selain itu, Presiden juga menjelaskan perusahaan tidak bisa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak karena harus mengikuti ketentuan di UU Cipta Kerja. Begitu juga dengan jaminan sosial terhadap pekerja yang diakomodasi dalam UU tersebut.
Yang juga sering diberitakan tidak benar adalah dihapusnya analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Amdal tetap harus ada bagi industri besar dan penerbitannya harus didasarkan pada studi yang ketat, sedangkan bagi UMKM lebih ditekankan pada pendampingan dan pengawasan.
Perlu sekali ditegaskan bahwa sistem ketatanegaraan membuka peluang uji materi sebuah UU di MK. Jadi kalau masih ada yang tidak puas dan menolak dipersilahkan mengajukan uji materi ke MK.
Tidak hanya UU Ciptaker, semua UU bisa digugat ke MK apabila dinilai bertentangan dengan undang-undang dasar (UUD). Saat terjadi unjuk rasa yang juga berakhir anarkis terkait revisi UU tentang KPK, pemerintah juga menawarkan opsi gugatan uji materi ke MK.
Saat itu isu pelemahan KPK memicu unjuk rasa secara luas di berbagai daerah dan ada yang berakhir ricuh serta adanya perusakan fasilitas umum. Opsi penyelesaian dari kontroversi itu adalah uji materi di MK.
Kini pintu pun terbuka lebar bagi setiap warga untuk mengajukan gugatan UU Ciptaker ke MK. Jalur ini konstitusional untuk menyampaikan penolakan dengan dalil-dalil hukum daripada melampiaskan ketidakpuasan di jalan-jalan umum.
Siapa mau menggugat?