Jakarta (ANTARA) - Pemanasan global merupakan satu permasalahan yang berdampak pada perubahan iklim. Pemanasan global disebabkan oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca.
Pemanasan global dan perubahan iklim itu akan memunculkan berbagai risiko mendatang yang bisa mengancam kehidupan manusia, di antaranya terganggunya pola hujan, meningkatnya risiko banjir secara signifikan, risiko kekeringan yang makin tinggi, yang di kemudian hari bisa berdampak pada produktivitas sektor pertanian hingga akhirnya menyebabkan terganggunya ketahanan pangan. Untuk mencegah kondisi makin buruk, maka perlu dilakukan upaya mitigasi perubahan iklim, salah satunya dengan mengelola sumber-sumber peningkat gas emisi rumah kaca dalam rangka mengurangi pencemaran terhadap lingkungan.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.
Salah satu yang menjadi sorotan pemerintah Indonesia adalah mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan menggantinya dengan energi baru terbarukan serta mengendalikan sumber-sumber yang bisa meningkatkan emisi gas rumah kaca termasuk kebakaran hutan dan lahan serta pencemaran lingkungan akibat sampah dan limbah.
Peningkatan emisi gas rumah kaca bisa dipengaruhi oleh meningkatnya pelepasan gas metana dan karbondioksida ke atmosfer secara terus-menerus. Gas metana dan karbondioksida tersebut dapat dikontribusikan dari aktivitas manusia dan industri.
Di antara berbagai sumber, gas metana dan karbondioksida bisa berasal dari limbah cair sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME).
Indonesia merupakan produsen minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) terbesar di dunia. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) menghasilkan sebanyak 2,5-3 ton limbah cair atau POME dari setiap produksi satu ton CPO.
Menurut Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza, POME tersebut berpotensi mencemari lingkungan jika tidak dikendalikan karena secara alami menghasilkan biogas dengan kandungan 50-70 persen gas metana dan 25-45 persen gas karbondioksida yang berbahaya untuk lingkungan karena dapat memperburuk efek gas rumah kaca.
Gas metana di sisi lain dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi.
Untuk mengatasi agar POME tidak menimbulkan pencemaran lingkungan maka perlu pengolahan dan pemanfaatan lanjutan. Jika diolah secara anaerobik , maka dari POME dapat dihasilkan biogas, yang kemudian juga bisa menghasilkan energi listrik, dan dimanfaatkan sebagai bahan bakar gas rumah tangga dan industri.
Kurangi ketergantungan fosil
Penggunaan biogas dari POME juga mendukung pencapaian target bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang tidak ramah lingkungan.
Direktur Pusat Teknologi Sumber Daya Mineral BPPT Rudi Nugroho mengatakan BPPT telah berhasil membangun dua pembangkit listrik tenaga biogas percontohan atau Pilot Plant Biogas untuk memanfaatkan POME sehingga dapat menghasilkan tidak hanya energi, namun sekaligus mengurangi limbah dan meminimalisasi dampaknya terhadap lingkungan.
Pilot Plant Biogas yang pertama dibangun oleh BPPT adalah PLTBg (Pembangkit Listrik Tenaga Biogas) di PKS Terantam milik PTPN V, di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Di PKS ini, POME ditampung dalam reaktor "cover lagoon" berkapasitas 12.000 meter kubik di mana POME dikonversi menjadi gas metana.
Biogas yang dihasilkan kemudian diturunkan atau dikurangi kandungan gas Hidrogen Sulfida (H2S)-nya melalui unit Bio-scrubber sampai konsentrasi kurang dari 200 ppm.
Kandungan air dalam biogas kemudian diturunkan pada unit gas "handling" dan selanjutnya diumpankan ke dalam gas "engine" sebagai bahan bakar untuk membangkitkan listrik sebesar 0,7-1 MW.
Listrik yang dihasilkan kemudian dikirim ke pabrik Palm Kernel Oil (PKO) Tandun PTPN V untuk mencukupi kekurangan daya untuk pengoperasian pabrik, yang berjarak sekitar 9,4 kilometer (km) dari lokasi PLTBg Terantam. PLTBg Terantam ini telah dikelola BPPT dan PTPN V dengan pola Kerja Sama Operasi (KSO).
Pilot Plant Biogas yang kedua dibangun BPPT berlokasi di PKS Sei Pagar milik PTPN V dengan teknologi Reaktor Tanki Berpengaduk (CSTR/Continuous Stirred Tank Reactor) kapasitas 2000 meter kubik yang menghasilkan biogas sekitar 120 Nm³/jam (kapasitas desain) dan dapat beroperasi sampai dengan 160 persen dari kapasitas desain.
Teknologi itu mempunyai kelebihan berupa ukuran yang lebih kecil dan kompak dibandingkan "covered lagoon", prosesnya kontinyu dan lebih mudah dikendalikan.
Biogas yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler (co-firing) untuk proses produksi CPO di PKS Sei Pagar.
Dengan adanya biogas itu, maka sebagian bahan bakar (cangkang sawit) yang selama ini digunakan dapat digantikan oleh biogas, sehingga hasil penghematan cangkang dapat dijual dan akan memberikan tambahan pendapatan bagi PTPN V.
Biogas tersebut juga kelak dapat diproses lebih lanjut (upgrading) menjadi bio-CNG (Compressed Natural Gas) untuk substitusi LPG dan bahan bakar kendaraan bermotor.
Biogas merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan karena menghasilkan emisi yang rendah dibandingkan dengan bahan bakar lainnya sehingga teknologi "waste to energy" yang dikembangkan BPPT itu berpotensi menyumbangkan reduksi emisi gas rumah kaca secara signifikan.
Teknologi yang dikembangkan BPPT tersebut diharapkan dapat menjadi solusi tepat untuk mengatasi permasalahan lingkungan, mendukung penyediaan energi nasional, sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi Indonesia.
Dengan demikian, implementasi teknologi biogas dari POME memberikan manfaat yakni pengurangan pencemaran lingkungan akibat limbah cair pabrik kelapa sawit, pengurangan emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global, dan pemanfaatan biogas sebagai sumber energi terbarukan.
Baca juga: Jepang ingin impor limbah sawit Indonesia untuk energi
Baca juga: PTPN V manfaatkan limbah sawit untuk produksi listrik
Baca juga: Universitas Jambi olah limbah sawit jadi bahan bakar
Baca juga: Limbah sawit potensial sebagai sumber energi alternatif