Jakarta (ANTARA) - Saat malaikat Jibril dikisahkan merengkuh Nabi Muhammad sedemikian erat pada satu malam ribuan tahun lalu di Gua Hira pada 17 Ramadhan, yang mengalir darinya adalah:
Ayat tersebut merupakan wahyu yang mengandung perintah kepada Nabi Muhammad untuk membaca (Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu). Peristiwa ini menandai awal mula turunnya Alquran (Nuzulul Quran) serta sebagai Ke-Rasul-an Muhammad.
Setelah itu Al Quran diturunkan secara bertahap, sebagai jawaban demi jawaban atas masalah yang dihadapi Nabi Muhammad saw dan umat Islam.
Allah SWT melalui Malaikat Jibril tak secara gamblang menyebut satu objek yang mesti dibaca Nabi Muhammad, tetapi menyinggung motivasi dan tujuan membaca yakni semata-mata demi Tuhanmu.
Secara semantik, membaca memiliki dua sisi yakni teks dan kontekstual. Teks di sini berarti membaca tulisan/ayat, sementara kontekstual membaca bisa diartikan memahami, mempelajari, merenungi, dan menelaah setiap kejadian objek yang ada di semesta alam.
Membaca adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan jiwanya ingin menyatakan 'bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu'.
Baca juga: Peringatan Nuzulul Quran di Masjid Raya Aceh berjalan sederhana
Baca juga: Imam Besar Al Markaz: Jadikan Al Quran pedoman hidup
Pembacaan atas COVID-19
Sejak ditemukan pertama kali di Wuhan, Cina, pada akhir 2019 dan menyebar amat cepat ke berbagai negara. Virus ini begitu mematikan. Sejumlah video-video yang beredar di media sosial memperlihatkan betapa mematikannya virus tersebut.
Banyak spekulasi tentang penularan virus, tetapi sejumlah penelitian menduga penyakit itu tumbuh dari pasar hewan hidup di Wuhan yang tidak higienis.
Publik lantas panik dan gelisah dengan virus corona jenis baru itu karena saat informasi tersebut mulai "bocor", puluhan ribu orang telah tertular dan korban tewas telah mencapai ribuan jiwa.
Pada Kamis (29/4/2021), WHO melaporkan 148.999.876 orang tertular virus tersebut dan 3.140.115 jiwa meninggal dunia di seluruh dunia. Penularan virus yang berujung pada wabah hingga pandemi memang bukanlah barang baru dalam kehidupan manusia. Wabah yang berasal dari patogen memang telah menjadi ancaman nyata bagi kehidupan manusia.
Virus yang tercipta dari patogen dan berukuran sangat kecil hanya bisa hidup berparasit pada inangnya, baik itu tumbuhan, hewan, maupun manusia. Lantas bagaimana hubungannya antara Iqra dan COVID-19?
Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Mahbub Maafi menyatakan bahwa pandemi COVID-19 mesti dibaca betapa ada yang salah dalam sistem kehidupan kita sehingga virus itu mampu memporak-porandakan setiap sendi kehidupan di seluruh dunia.
"Ini juga perintah Allah agar kita juga melakukan pembacaan terhadap mahlukNya. Bahwa di bumi ini ada tanda-tanda bagi orang yang bertakwa. Termasuk COVID-19 merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT, mahluk yang tidak kasat mata tapi mampu menggoncang tatanan dunia," kata Mahbub.
Lewat surah Al-Alaq, masyarakat diminta untuk membaca dan merenungkan atas segala peristiwa yang terjadi. kita dapat menjalankan perintah ini sesuai dengan peran yang kita miliki.
Jika hari ini tenaga medis sedang berjuang untuk menyelamatkan korban, para peneliti berusaha meneliti dan memproduksi vaksin, dan pemerintah berusaha mencari solusi terbaik. Maka, tugas masyarakat adalah membantu untuk memutus rantai penyebaran virus dengan membatasi kegiatan di luar rumah dan tidak pulang ke kampung halaman.
Termasuk pembacaan ini berarti semakin meningkatkan kesadaran masyarakat untuk semakin bersolidaritas dalam membantu sesama. Pandemi ini memberikan dampak dalam berbagai aspek, termasuk dalam masalah perekonomian. Maka, sebagai manusia mesti berusaha untuk membantu saudara yang membutuhkan.
"Pentingnya kita membaca Nuzulul Quran di dalam konteks ini, ketika Allah memerintahkan melalui ayat Alquran untuk melakukan pembacaan, 'dengan nama Allah', artinya merenungi diri kita sebagai mahluk itu, kita sedang diperintahkan membaca ayat-ayat Allah yang lain," kata Mahbub.
Pun demikian mengapa pemerintah "bawel" agar masyarakat tidak memaksa mudik saat Lebaran tahun ini. Agar masyarakat membaca dan menelaah peristiwa yang terjadi di India akan abainya penerapan protokol kesehatan. Pemerintah tak ingin kasus di India terjadi di Tanah Air.
Baca juga: Menag: Peringatan Nuzulul Quran momentum perkuat kepedulian
Baca juga: Kenduri Nuzulul Quran di tengah pandemi COVID-19
Wabah dan kesadaran ekologis
Secara alami, patogen ini memang berparasit ke hewan-hewan liar namun tak menutup kemungkinan menularkan ke manusia seperti yang ditemukan sebagai virus malaria melalui jalur nyamuk.
Namun seiring dengan membludaknya populasi manusia membuat hutan-hutan yang awalnya tempat hidup patogen mengalami pengikisan akibat berbagai ambisi manusia.
Rusaknya ekosistem hutan yang merupakan tempat hidup jutaan jaringan organisme dan spesies hewan serta tumbuhan, menjadikan patogen kehilangan habitat aslinya. Kondisi ini juga membawa patogen kian dekat dengan kehidupan manusia.
Peneliti muda dari Universitas Gajah Mada Arif Novianto dalam pengantarnya di buku Slavoj Zizek, Panik Pandemik, menjelaskan sebelum virus corona menghantui bumi, sudah bermunculan jenis virus baru atau bentuk mutasi baru dari patogen yang ada di hewan liar, yang kemudian menular ke manusia (Zoonosis).
Ia mencontohkan wabah Flu Spanyol pada 1918 yang berasal dari patogen unggas dan menewaskan 50 juta orang. Kemudian wabah Ebola pada 1976 yang berasal dari kelelawar buah. Wabah SARS di awal dekade 2000-an, wabah Flu Babi pada 2009, hingga MERS pada 2012.
Pun demikian seperti yang terjadi di Kalimantan pada 1997. Hutan di sana dibakar untuk membuka lahan perkebunan. Pohon-pohon buah mati akibat pembakaran tersebut. Hilangnya tempat penghidupan hewan liar memaksa kelelawar mencari makan di kebun yang dikelola manusia.
Tak lama berselang, banyak babi peliharaan yang jatuh sakit karena diketahui memakan buah-buahan yang jatuh setelah digigit kelelawar. Kondisi itu kemudian berdampak ke petani babi yang mengalami peradangan otak yang parah pada tahun 1999. Sebanyak 265 petani menderita sakit parah dan 105 orang meninggal.
Kasus ini kemudian diketahui sebagai virus Nipah pada manusia, yang sejak itu menyebabkan serangkaian wabah berulang di Asia Tenggara. Cerita ini juga ditulis dalam sebuah artikel karya Katarina Zimmer di National Geographic "Deforestation is leading to more infectious diseases in human" pada 2019.
Sementara itu, ahli biologi evolusioner dan filogeografer Institute for Global Studies Universitas Minnesota Rob Wallace dalam buku Matinya Epidemolog menyatakan seluruh dunia harus melakukan pembacaan ulang terhadap virus-virus yang terus berevolusi.
Ia menganggap dunia tak benar-benar mendalami dan mengatasi berbagai virus yang berkembang. Para otoritas dunia hanya bernafas lega saat virus menyatakan kekalahannya -diatasi melalui vaksinasi-, sementara waktu mengatakan virus sedang menyiapkan kekuatan terbaik untuk kembali melawan.
Yang mesti dilakukan adalah mengembalikan hutan pada fungsinya sebagai intervensi darurat mencegah virus menyebar lewat hewan/tumbuhan. Manusia mesti berhenti bersikap egois terhadap alam dengan eksploitasi membabi buta.
Manusia dan patogen pada dasarnya hidup berdampingan dan bersama-sama-sama mendiami bumi. Namun, ada sekat berupa jarak ruang yang memisahkan keduanya. Alam secara alami menempatkan patogen dan manusia pada ruang yang berbeda.
Akan tetapi, keseimbangan ekologis yang mulai terganggu membuat sekat di antara keduanya menjadi sirna dan hutan tak bisa lagi menjadi medium intervensi darurat dalam mencegah perpindahan virus.
Kesadaran ekologis harus terus dipupuk sebagai upaya untuk melestarikan alam. Kemunculan wabah bukanlah sesuatu yang tiba-tiba, akan tetapi akibat dari pola hubungan manusia dengan alam semesta.
Wabah bukanlah musuh manusia. Musuh manusia yang utama adalah perilaku mereka yang memberikan ruang bagi wabah untuk hadir di kehidupan manusia melalui perusakan alam.
Baca juga: PBNU: Maknai Nuzulul Quran dengan melahirkan gagasan yang mencerahkan
Baca juga: Mahbub Maafi: Iqra bukan hanya membaca teks tapi perenungan