Jambi (ANTARA) - Suku Anak Dalam (SAD) atau yang Orang Rimba merupakan suku asli di Provinsi Jambi yang hidup secara berpindah-pindah atau nomaden di dalam hutan di provinsi itu.
Bagi sebagian besar warga SAD masih tetap melakukan aktivitas nomadennya sesuai kebiasaan turun temurun. Namun sebagian lagi sudah bermukim dan beraktifitas bersama masyarakat lainnya serta berinteraksi.
Berdasarkan data sekitar 6.000 warga SAD yang tersebar di enam kabupaten di daerah itu. Di antaranya di Kabupaten Batanghari, Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Warga SAD tersebut memanfaatkan hasil hutan untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan mereka. Baik itu kebutuhan untuk makan minum serta kebutuhan lainnya.
Sehari-hari kegiatan warga SAD tersebut yakni berburu hewan liar di hutan, mencari buah-buahan dan hasil hutan seperti buah rotan, jernang, damar, manau, jelutung, sialang hingga jenis-jenis makanan dan hasil hutan lainnya yang menjadi penghidupan bagi warga SAD.
Mereka hidup secara berkelompok dipimpin oleh seorang ketua yang biasa mereka sebut dengan temenggung.
Masing-masing kelompok dari warga SAD tersebut memiliki wilayah kekuasaan, sehingga mereka tidak akan mengganggu wilayah kekuasaan dari masing-masing kelompok untuk bertahan hidup.
SAD dan TNBD
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Haidir pada Juni 2021 lalu menyebutkan secara formal administrasi pemerintah telah mengalokasikan ruang yang cukup untuk kehidupan Orang Rimba di kawasan TNBD.
Berdasarkan keputusan Pemerintah, selain kawasan konservasi, KLHK telah membagi kawasan TNBD sebagai tempat bermukim serta memenuhi kebutuhan Orang Rimba.
Di dalam TNBD terdapat zona tradisional atau yang disebut sebagai Tanoh Behuma. Wilayah ini merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara tradisional untuk memenuhi sekaligus mengakomodasi kebutuhan hidup Orang Rimba dengan memegang prinsip kelestarian.
Zona ini merupakan wilayah yang paling luas yaitu 36.810,7 ha atau 67,19 persen dari total luas kawasan.
Menurut Haidir, Tano Behuma terbagi menjadi dua bagian, yaitu tapak keluarga yang merupakan areal garapan keluarga dan tapak komunal sebagai areal cadangan kelompok yang dikenal dengan istilah Tano Pesako.
Kedua kawasannya ini, punya pola dan program pengembangan yang berbeda, demikian dikutif dari Haidir dalam penjelasan tertulis Minggu 13 Juni 2021.
Orang Rimba hidup secara berkelompok dengan jumlah puluhan hingga ratusan keluarga dalam satu kelompok. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang ketua bergelar Temenggung.
Saat ini ada 13 kelompok yang hidup dan bermukim di dalam kawasan TN Bukit Duabelas. Mereka terdiri dari 718 keluarga dan 2.960 jiwa .
Setiap kelompok memiliki teritori yang mereka sebut sebagai wilayah adat. Oleh karena itu, kawasan TNBD seluas 54.780,40 ha telah terbagi habis menjadi 13 wilayah adat dari 13 kelompok tersebut.
Pembagian wilayah adat bukan untuk penguasaan sumberdaya alam karena setiap anggota kelompok bebas kemana saja di dalam kawasan tersebut.
Hanya saja, di tengah kemajuan zaman saat ini pola hidup meramu dan berburu tidak bisa lagi diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akhirnya sebagian Orang Rimba terpaksa harus mencari penghidupan di luar kawasan hutan. Hal itulah yang kerap menimbulkan konflik.
Di sisi lain, fakta juga menunjukkan bahwa Orang Rimba hingga kini masih sulit melakukan transformasi nilai-nilai sosio kultural dari masyarakat meramu-berburu menjadi masyarakat bercocok tanam.
Menurut Haidir, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mengajak semua pemangku kepentingan untuk mendampingi komunitas Orang Rimba untuk melanjutkan kehidupan dengan pola kehidupan sosial budaya yang lebih maju yaitu bercocok tanam.
Upaya tersebut diharapkan mampu menjadikan Tanoh Behuma sebagai sumber produksi dan ketahanan pangan bagi Orang Rimba.
Haidir mengatakan, selama ini cukup banyak pihak yang membantu. Selain pemerintah pusat, Pemerintah daerah, LSM serta perkebunan sawit PT Sari Aditya Loka (SAL) dan yang lainnya.
Ini menjadi tanggung jawab semua pihak agar Orang Rimba dapat hidup dengan mengelola tanah yang ada secara lestari selain tetap bisa memanfaatkan hasil hutan yang ada.
Bantuan
Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah telah memberikan beberapa bantuan sosial, seperti bantuan sembako dan bantuan langsung tunai. Namun bantuan tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan jangka pendek bagi mereka.
Sementara untuk jangka panjang bagi kehidupan anak cucu mereka harus disiapkan. Jika tuntutan mereka tidak dipenuhi bagaimana anak cucu mereka akan bertahan hidup karena kehidupan mereka di hutan adat tersebut.
Pendampingan juga telah dilakukan berbagai pihak baik melalui pemerintah daerah, LSM, perusahaan perkebunan bagian Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup juga menyalurkan programnya, yang kian bergulir sinergi.
Pendampingan dilakukan dari berbagai sisi baik sektor pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi hingga hak-hak kependudukannya sudah mulai disentuh dan mendapat perhatian.
Bantuan pemukiman juga dilakukan untuk memastikan mereka bisa hidup bermasyarakat dan berinteraksi yang bisa mendorong serta mendukung kesejahteraan dan keberlangsungan generasi orang rimba.