Jakarta (ANTARA) - Para ilmuan memperkirakan gelombang kedua pandemi COVID-19 yang memuncak pada 15 Juli 2021 di Indonesia, boleh jadi bukanlah yang terakhir, sebab virus Corona terus bermutasi di tengah penurunan imunitas vaksin dalam waktu singkat.
Dilansir dari laporan Satgas Penanganan COVID-19, pada gelombang pertama November 2020 hingga Januari 2021 Indonesia mencatat peningkatan kasus harian dari 24.932 hingga 89.052. Pada gelombang kedua Mei hingga Juli 2021 terjadi lonjakan kasus dari 35.470 menjadi 253.600 kasus.
Pemerintah pun mengerahkan segala daya dan upaya untuk menekan angka kasus, salah satunya melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) secara berkala, pemenuhan fasilitas pelayanan kesehatan hingga mempercepat laju vaksinasi di seluruh provinsi.
Hasilnya, kasus COVID-19 di tingkat nasional per 29 Agustus 2021 mengalami penurunan hingga 86,9 persen jika dibandingkan dengan gelombang kedua. Namun angka kasus positif itu masih setara dua kali lipat dari gelombang pertama di Agustus 2021.
"Kita belum berhasil mengendalikan pandemi. Kita masih terjebak di lingkaran 'setan' itu. Kasus akan terus naik-turun kalau kebijakan pemerintah masih bersifat 'tambal sulam', di mana program kerja hanya fokus menangani keadaan yang yang sedang terjadi, bukan pada langkah antisipasi.," kata Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono yang dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Senin.
Pandu mengatakan Indonesia masih rentan terhadap gejolak pandemi akibat penanganan wabah Corona yang cenderung sporadis. Ketika terjadi lonjakan kasus, pemerintah segera memberlakukan pembatasan sosial. Namun, ketika pelonggaran dilakukan, justru mobilitas dan aktivitas masyarakat memicu naiknya jumlah kasus. Begitu seterusnya.
Kehadiran varian baru yang lebih ganas, kata Pandu, dapat membuat Indonesia lebih sulit untuk keluar dari krisis kesehatan publik yang berkepanjangan. Untuk itu, jalan keluar dari pandemi harus dipikirkan dan diwujudkan tidak hanya untuk menekan mortalitas dan morbiditas COVID-19 saat ini, tetapi juga untuk mengeluarkan bangsa ini dari krisis pandemi dalam jangka panjang.
Satgas Penanganan COVID-19 melaporkan, hingga Rabu (1/9), sudah dilakukan pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) di Indonesia pada 5.790 sampel dan ditemukan 2.323 di antaranya merupakan varian yang diwaspadai yaitu Alpha, Beta, dan Delta.
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan efikasi vaksin berbasis m-RNA menurun cukup drastis saat berhadapan dengan virus corona varian Delta. Kondisi itu diamati Budi terjadi pada lonjakan kasus gelombang kedua di sejumlah negara dengan laju vaksinasi yang tinggi seperti Amerika Serikat (51 persen) dan Israel (63 persen).
"Inggris lebih landai dari segi perawatan dan juga dari kematian. Perbedaan dari tiga negara ini adalah Amerika Serikat dan Israel lebih besar porsi vaksin mRNA. Inggris lebih besar komposisi penggunaan vaksin AstraZeneca (berplatform Adenovirus)," katanya.
Atas pertimbangan tersebut, Kementerian kesehatan pun mengubah strategi pencapaian herd immunity' atau kekebalan komunal dari semula mencapai 70 persen populasi, namun saat ini menyasar kepesertaan vaksinasi sebanyak mungkin penduduk.
Dari total target sasaran vaksinasi nasional berkisar 208 juta lebih jiwa, capaian vaksinasi nasional saat ini baru berkisar 32,1 persen.
"Kita sudah melakukan serangkaian analisa evaluasi situasi, di mana capaian herd immunity tidak lagi 70 hingga 80 persen (populasi), tapi sebagian besar masyarakat di Indonesia itu bisa divaksinasi," kata Wakil Menkes RI Dante Saksono Harbuwono.
Baca juga: Wakil Ketua MPR dorong bangun kemandirian bangsa pascapandemi
Skenario setelah pandemi
Aliansi Ilmuwan Indonesia Untuk Penyelesaian Pandemi mengusulkan jalan keluar berupa skenario setelah (pasca) pandemi. Disebut skenario karena untuk keluar dari suatu krisis yang penuh dengan ketidakpastian.
Skenario tersebut disusun oleh sejumlah ilmuwan Indonesia yang independen dan non partisan dengan latar belakang disiplin dan institusi yang beragam, di antaranya Sulfikar Amir yang mewakili Nanyang Technological University, Pandu Riono dari Universitas Indonesia, Irma Hidayana dari LaporCovid19, Iqbal Elyazar dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Ines Atmosukarto dari Australian National University dan Yanuar Nugrogo dari ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Tiga prinsip utama dalam skenario itu yakni empati atau kepedulian terhadap sesama yang menjadi pondasi dalam penanganan setiap krisis kemanusiaan, equity sebagai kesetaraan dan keadilan yang menjamin akses bagi seluruh warga tanpa diskriminasi dalam mendapatkan hak hidup sehat dan bahagia. Terakhir, episteme sebagai upaya pengetahuan ilmiah yang sangat dibutuhkan sebagai panduan dalam mengarungi ketidakpastian dan risiko pandemi.
Berdasarkan tiga prinsip ini, Aliansi Ilmuwan menekankan dua hal penting yang tidak hanya bertujuan untuk menyelesaikan pandemi COVID-19, tetapi juga untuk memperkuat kapasitas pemerintah dalam mengantisipasi pandemi di masa datang. Dua hal tersebut adalah peta jalan penyelesaian pandemi dan pembangunan tata kelola pandemi melalui pelembagaan badan pengendalian wabah penyakit.
Guru Besar Bidang Sosiologi Bencana dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura Prof Sulfikar Amir membagi skenario penanggulangan situasi pandemi di Indonesia dalam tiga fase.
Fase pertama, fokus pada penekanan laju kasus, fase dua melalui upaya menstabilkan pandemi dan fase ketiga menormalkan situasi pandemi.
"Indonesia saat ini masih ada di fase satu. Target yang harus dilakukan adalah menurunkan laju penularan hingga di angka rata-rata di bawah 10 persen," katanya.
Strategi pada fase satu, kata Sulfikar, adalah push and pull dengan fokus pada pembatasan sosial antarwilayah secara terpadu melalui pengembangan teknik pengendalian risiko di ruang publik dan strategi penguatan biosurveilans pada tingkat komunitas.
Sulfikar menilai penerapan platform tunggal PeduliLindungi merupakan strategi penguatan biosurveilans pada aktivitas publik di perkantoran, mall, restoran dan tempat lainnya. Aplikasi tersebut terkoneksi dengan pelacakan kasus di fasilitas pelayanan kesehatan dengan New All Record (NAR) sebagai sistem data yang tersentral.
Menurut Sulfikar indikator pencapaian yang dapat dimonitor pada fase satu di antaranya penurunan jumlah kasus harian, kematian, dan tingkat keterisian rumah sakit.
"Pada fase satu ini targetnya adalah kelompok rentan yang terdampak pembatasan sosial terkompensasi bantuan langsung tunai (voucher) dan pengeluaran individu rentan yang terdampak," katanya.
Pada fase kedua, kata Sulfikar, laju penularan perlu ditekan hingga rata-rata angka positif berada di bawah 5 persen agar situasi dapat dikendalikan dan berada pada situasi yang stabil.
Strategi yang dapat ditempuh adalah pengembangan teknik pengendalian risiko di ruang publik melalui penurunan angka reproduksi (R0) di bawah 1 persen. "Strateginya meningkatkan partisipasi publik dalam penanganan pandemi secara terintegrasi. Pengembangan kapasitas mitigasi berbasis komunitas dan partisipasi publik dalam penanganan pandemi di tingkat komunitas," katanya.
Untuk mencapai fase tiga, kata Sulfikar, Indonesia perlu menurunkan laju penularan hingga rata-rata angka positif di bawah 1 persen. "Strateginya penguatan biosurveilans pada tingkat komunitas dan jumlah kasus secara nasional di bawah 5 per 100 ribu penduduk per pekan," katanya.
Strategi yang dapat dilakukan pemerintah adalah memperkuat kolaborasi vertikal dan horisontal dalam pengawasan pandemi.
"Strateginya adalah menumbuhkan ketahanan sosial pada tingkat komunitas, pemulihan aktivitas sosial ekonomi khususnya pada tingkat akar rumput. Indikator yang bisa diperhatikan adalah pertumbuhan pendapatan kelas menengah bawah," katanya.
Baca juga: Menteri PPN: Ekonomi biru jadi model transformasi pascapandemi
Pelembagaan
Dalam skenario setelah pandemi juga diusulkan pembentukan pusat pengendalian dan pencegahan penyakit agar Indonesia lebih siap dalam menghadapi wabah lanjutan.
Pandu Riono mengemukakan kehadiran Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, Komite Penanganan Coronavirus Disease 2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) merupakan wadah kepanitiaan yang bersifat sementara yang khusus menangani pandemi COVID-19.
"Kalau masih kepanitiaan, nanti setelah selesai, panitia bubar. Ilmu pengetahuan dan pengalaman selama menangani pandemi hilang juga," katanya.
Menurut Pandu, sejumlah negara maju di dunia telah lebih siap menghadapi pandemi COVID-19 melalui peran pusat pengendalian dan pencegahan penyakit di negara masing-masing. Contohnya Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat dan China Central Depository & Clearing (CCDC) di China.
Jajaran kementerian maupun lembaga pemerintah perlu memiliki kesiapan yang lebih matang dan terintegrasi dalam menghadapi kemunculan wabah berikutnya.
Pandemi ini mengubah gaya hidup semuanya, pelayanan kesehatan diubah. Pandemi yang akan datang akan jauh lebih dekat *
Baca juga: Kominfo: Percepatan transformasi digital kunci pemulihan pascapandemi