Jakarta (ANTARA) - Sembilan puluh tiga tahun yang lalu, tiga (3) butir ikrar berkumandang. Pemuda-pemudi Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, yaitu Tanah Indonesia, berbangsa yang satu, yakni bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Tidak berhenti di sana, kelompok radikal pun dapat menggunakan ancaman kekerasan atau pun perbuatan yang menimbulkan suasana teror dan rasa takut yang meluas. Jejak-jejak dari ancaman dan kekerasan itu terangkum dalam beberapa tahun terakhir dan menunjukkan bahwa generasi muda adalah sasaran utama dari kelompok yang hendak mengikis nasionalisme di Indonesia itu.
Menurut Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia Muhammad Syauqillah, sejak tahun 2000 sampai saat ini, pelaku-pelaku radikalisme ataupun terorisme merupakan mereka yang berada dalam usia produktif.
Bayang-bayang radikalisme
Salah satu fakta dari generasi muda yang menjadi sasaran pengaruh kelompok radikalisme hingga melalukan teror dapat dilihat dalam peristiwa bom bunuh diri di Surabaya pada 2018 dan pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar di awal tahun ini yang merupakan pasangan suami-istri berusia 25 tahun dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).Tidak hanya tentang pola perekrutan anggota kelompok radikal yang cenderung mengincar generasi muda, ancaman terhadap kesatuan bangsa itu pun dilakukan melalui pola yang mengikuti perkembangan arus teknologi dengan pemuda-pemudi yang menjadi pihak paling adaptif.
Dari keterangan yang diberikan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Boy Rafli Amar, pasangan suami-istri yang melakukan teror berupa bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar merakit bom dengan bantuan pelatihan daring di media sosial yang dilakukan oleh perekrut mereka.
Hal senada juga diungkapkan oleh Muhammad Syauqillah, menurut pengamatannya, perekrutan anggota kelompok radikal terus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Dahulu, konteks perekrutan generasi muda ke dalam kelompok radikal memanfaatkan ikatan keluarga yang menyebabkan anggota keluarga pelaku otomatis menjadi anggota organisasi radikal. Selain itu, ada pula cara perekrutan melalui ikatan pernikahan, bahkan pertemuan-pertemuan keagamaan.
Namun sekarang, seiring dengan perkembangan pesat teknologi yang memperluas kemudahan penyebaran informasi melalui media sosial, perekrutan anggota radikal perlahan juga ikut menjamuri dunia digital. Modus baru dari propaganda dan perekrutan jaringan radikalisme serta terorisme merambah pada media-media sosial, seperti YouTube, Facebook, Twitter, bahkan Instagram.
Oleh karena itulah, generasi muda di Indonesia yang menjadi kelompok usia paling dominan menggunakan beragam media sosial menjadi sasaran empuk dari para kelompok radikal tersebut. Mereka memainkan narasi, elemen musik, bahkan nilai ideologi-ideologi yang terbilang luar biasa sehingga selaras dengan generasi yang menuju transisi masa dewasa dan mudah terpengaruhi.
Terkait narasi yang digunakan oleh kelompok radikal untuk merekrut anggota dengan memanfaatkan teknologi internet, menurut Wakil Ketua Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) Irjen Pol. (Purn.) Hamli, mereka menggunakan berbagai jenis narasi.
Pertama adalah narasi militansi yang menanamkan kebencian terhadap yang lain. Selain itu, ada pula narasi keterancaman, konspirasi tentang terorisme, narasi umat suatu agama yang diperlakukan tidak adil, dan narasi intoleransi yang mengikutsertakan sentimen keagamaan.
Hamli pun menambahkan narasi-narasi yang digunakan untuk merekrut generasi muda Tanah Air menjadi bagian kelompok radikal tersebut masih menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat yang sulit untuk dilepaskan dan berpotensi mengarah, bahkan mengajak pada tindakan terorisme.
Ia juga mengatakan motif teror di Indonesia sebagian besar didasarkan oleh ideologi agama. Dengan kata lain, kelompok radikal berusaha menanamkan ideologi agama untuk menyingkirkan Pancasila. Kemudian, kelompok yang mengaku beragama, namun menolak bernasionalisme itu cenderung menjadikan universitas sebagai tempat menanamkan pengaruhnya kepada pemuda-pemudi Indonesia.
Semangat Sumpah Pemuda tangkal radikalisme
Bertepatan dengan momentum Sumpah Pemuda ke-93 tahun ini, sudah saatnya generasi muda semakin menyadari rentannya pengaruh radikalisme menyusupi jiwa-jiwa mereka. Untuk itu, momentum ini dapat pula dijadikan pendorong bagi generasi penerus bangsa untuk aktif melawan radikalisme dan mulai benar-benar menjelajahi makna dan semangat Sumpah Pemuda.Sumpah Pemuda bukan hanya ikrar yang terlafalkan, melainkan juga ikrar yang tumbuh dari kesadaran pemuda-pemudi Indonesia tentang negeri ini yang mutlak beragam, namun menyatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumpah pemuda adalah titik mula kemunculan kesadaran generasi muda Tanah Air tentang pentingnya menjaga keberagaman di Indonesia, mulai dari agama, suku, budaya, bahkan bahasa di bawah naungan persatuan dan kesatuan sebagai suatu bangsa yang merdeka. Ikrar untuk menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan tersebut sudah sepatutnya untuk dijaga dari masa ke masa.
Tidak kalah penting, pemahaman pemuda-pemudi terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia juga harus diperkuat sebagai penangkal perpecahan di dalam diri bangsa dari pengaruh radikalisme.
Langkah paling sederhana pun dapat ditempuh oleh generasi muda, seperti yang disarankan oleh Syauqillah dan Hamli, yaitu menyajikan kontra narasi, kontra propaganda, dan kontra ideologi di media sosial untuk menandingi narasi radikalisme.
Berbagai bentuk ancaman radikalisme terhadap persatuan dan kesatuan Indonesia juga bisa dilawan oleh segenap bangsa Indonesia, khususnya generasi muda dengan selalu mengingat bahwa kita adalah satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Tanah Air pasti jaya untuk selama-lamanya.