Jakarta (ANTARA) - Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Hasan Basri meminta Pemerintah mengkaji ulang dan membuka dialog terkait Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Program Jaminan Hari Tua (JHT).
Di Pasal 3 Permenaker tersebut dijelaskan terkait pencairan dana JHT yang baru bisa dilakukan apabila peserta berusia 56 tahun.
Padahal, pada aturan sebelumnya yaitu Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, JHT dapat diklaim satu bulan setelah peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek mengundurkan diri dari tempat bekerja.
"Karena JHT ini terkait dengan kepentingan pekerja dan tidak terkait langsung dengan Pemerintah, tapi kemudian Pemerintah melakukan kebijakan tersebut," katanya.
Dia menilai Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tersebut mencederai rasa kemanusiaan dan mengabaikan kondisi pekerja yang tertekan dalam situasi pandemi COVID-19 saat ini.
"Bayangkan, seorang peserta harus menunggu 15 tahun untuk mencairkan JHT-nya jika ia berhenti di usia 41 tahun," ucapnya.
Aturan tersebut berlaku bagi peserta yang berhenti karena mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau meninggalkan Indonesia selamanya.
"Berhenti bekerja karena PHK tentu bukan keinginan pekerja. Berhenti karena pengunduran diri pun bisa, karena situasi di tempat kerja yang sudah tidak nyaman. Jadi, mengapa JHT yang sebagian merupakan tabungan peserta ditahan pencairannya?” tukasnya.
Oleh karena itu, Hasan mendorong Pemerintah untuk mencabut peraturan tersebut sebagai bukti empati dan keberpihakan pada pekerja di tengah pandemi.
"Apalagi, gelombang PHK dan merumahkan pekerja makin besar. Akhir tahun 2021, jumlah pekerja yang berpotensi terkena PHK sebanyak 143.065 orang. Sementara itu, untuk jumlah pekerja yang berpotensi dirumahkan sebanyak 1.076.242 orang, sedangkan jumlah perusahaan yang berpotensi ditutup sebanyak 2.819 perusahaan," ujarnya.