Medan (ANTARA) - Amnesty International Indonesia (AII) mengatakan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang (UU) TPKS merupakan langkah maju dari negara untuk melindungi korban kekerasan seksual.
Menurutnya, pengesahan RUU TPKS dapat dicapai berkat kegigihan dan kerja keras masyarakat sipil, khususnya organisasi-organisasi pembela hak perempuan serta para penyintas kekerasan seksual dan keluarganya, yang senantiasa berupaya meningkatkan kesadaran perihal urgensi masalah kekerasan seksual selama hampir satu dekade.
Meskipun begitu, kata Usman, pihaknya memandang Undang-Undang TPKS belum sempurna. Ketidaksempurnaan itu muncul dari keputusan DPR untuk tidak mencantumkan pemerkosaan ke dalam jenis kekerasan seksual.
Baca juga: Pengesahan UU TPKS momentum Polri kembangkan Direktorat PPA
Baca juga: LPSK sebut ada 7 muatan progresif dalam UU TPKS
Baca juga: KSP: UU TPKS jadi terobosan penyusunan produk hukum yang progresif
UU TPKS hanya mengatur sembilan jenis kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non-fisik, kontrasepsi paksa, sterilisasi paksa, kawin paksa, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Sementara itu, dua jenis kekerasan seksual lainnya, yakni pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang pernah masuk dalam draf sebelumnya dikeluarkan untuk menghindari tumpang tindih dengan RKUHP yang masih dibahas oleh DPR RI.
"Meskipun UU TPKS adalah legislasi yang sangat diperlukan, UU ini belum sempurna. Oleh karena itu, kami dari Amnesty International Indonesia mendesak Pemerintah dan DPR untuk memastikan pasal-pasal tentang pemerkosaan dalam RKUHP sejalan dengan UU TPKS dan mengutamakan hak-hak korban," ujarnya.
DPR menyetujui pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang pada 12 April 2022. Aturan tersebut merupakan legislasi pertama terkait dengan kekerasan seksual dalam sejarah Indonesia.
Pertama kali, RUU TPKS digagas oleh Komnas Perempuan pada tahun 2012. Komnas Perempuan menyelesaikan penyusunan RUU tersebut bersama dengan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dan Forum Pengada Layanan (FPL) pada tahun 2016. Setelah itu, RUU TPKS mulai dibahas di DPR RI.