Jakarta (ANTARA) - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dari 3,5 persen menjadi 3,75 persen menjadi tantangan tersendiri bagi industri perbankan dalam mendorong penyaluran kredit.
Oleh karenanya, ia menyadari kenaikan suku bunga acuan BI menjadi sesuatu yang perlu dicermati lebih jauh ke depan.
Kendati demikian, kondisi likuiditas perbankan saat ini masih sangat memadai yang tercermin dari rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) masing-masing sebesar 124,45 persen dan 27,92 persen. Angka itu terjaga di atas ambang batas ketentuan masing-masing pada level 50 persen dan 10 persen.
Sementara itu likuiditas perbankan daerah pada Juli 2022 berada pada level yang memadai sebagaimana tercermin pada AL/NCD dan AL/DPK yang berada di atas threshold, masing masing 118,21 persen dan 24,17 persen.
Dian melanjutkan, profil risiko perbankan pada Juli 2022 masih terjaga dengan rasio kredit macet (Non Performing Loan/NPL) neto perbankan tercatat sebesar 0,82 persen, dengan NPL bruto sebesar 2,9 persen.
"Sementara itu, posisi Devisa Neto (PDN) Juli 2022 tercatat sebesar 1,77 persen atau berada jauh di bawah threshold sebesar 20 persen. Industri perbankan juga mencatatkan peningkatan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) menjadi sebesar 24,92 persen," jelasnya.
Di sisi lain, dirinya melihat pemulihan ekonomi Indonesia saat ini masih terus tumbuh dan cenderung sangat prospektif dibanding negara lain.
Maka dari itu, pertumbuhan kredit masih akan terus berlanjut dan kemungkinan dampak dari kenaikan suku bunga acuan baru akan bertahap diimplementasikan oleh perbankan lantaran terdapat transmisi antara kebijakan moneter dengan perbankan.
Baca juga: OJK optimistis ekonomi tumbuh di atas 5 persen meski harga BBM naik
Baca juga: Satgas Investasi minta masyarakat tetap waspada modus investasi ilegal