New York (ANTARA) - Harga minyak menguat hampir satu persen pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), menghentikan penurunan beruntun tiga hari didorong pelemahan dolar AS dan data inflasi AS yang lebih rendah dari perkiraan mengimbangi kekhawatiran bahwa pembatasan baru COVID-19 di China akan merugikan permintaan bahan bakar.
Harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Januari terangkat 1,02 dolar AS atau 1,1 persen, menjadi ditutup di 93,67 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Penurunan tajam dalam mata uang AS membantu mendorong harga minyak. Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, jatuh 2,12 persen menjadi 108,2040 pada akhir perdagangan Kamis (10/11/2022), setelah data menunjukkan indeks harga konsumen AS Oktober lebih rendah dari yang diharapkan. Secara historis, harga minyak berbanding terbalik dengan harga dolar AS.
Setelah tiga hari mengalami penurunan, minyak mentah berjangka menguat setelah data inflasi mendukung harapan investor bahwa Federal Reserve (Fed) akan meredam kenaikan suku bunga yang agresif yang dapat mendukung permintaan minyak.
"(Data Indeks Harga Konsumen) bisa menjadi titik balik yang didambakan investor," kata Analis Pasar Senior OANDA, Craig Erlam. "Masih ada banyak rasa sakit di depan tetapi segalanya tiba-tiba terlihat sedikit lebih positif," tambah Erlam.
Indeks dolar yang jatuh lebih dari 2,0 persen, karena data ekonomi yang cerah juga memikat investor menjauh dari mata uang safe-haven dolar menuju aset-aset berisiko termasuk minyak. Melemahnya dolar membuat minyak dalam denominasi greenback lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.
Pedagang juga terus mencerna data persediaan bahan bakar AS mingguan. Badan Informasi Energi AS (EIA) melaporkan Rabu (9/11/2022) bahwa persediaan minyak mentah komersial negara itu meningkat 3,9 juta barel selama pekan yang berakhir 4 November.
Menurut EIA, total stok bensin motor turun 0,9 juta barel dari minggu lalu, sementara persediaan bahan bakar sulingan turun 0,5 juta barel.