Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis penyakit dalam konsultan diabetes endokrinologi dr. Dicky Levenus Tahapary, Sp.PD-KEMD, PhD mengatakan anggapan bahwa obesitas diperbolehkan selama tubuh dalam kondisi sehat sebenarnya menyesatkan atau misleading.
Dicky memaparkan studi UK Biobank itu melibatkan lebih dari 300 partisipan selama sekitar 5 hingga 10 tahun untuk meneliti apakah orang dengan metabolically healthy obesity (MHO) itu benar-benar sehat.
Hasil studi menunjukkan bahwa pasien dengan MHO memiliki risiko diabetes empat kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak obesitas dan metabolik yang sehat. Selain itu, MHO juga memiliki risiko penyakit jantung, gagal jantungnya, dan risiko gangguan respirasi yang lebih tinggi.
“Jadi labeling dari obesitas yang sehat itu sebenarnya misleading. Jadi seharusnya pasien dengan obesitas harus direkomendasikan untuk menurunkan lemak tubuhnya supaya risiko gangguan kesehatannya menurun,” kata Dicky.
Dia menggarisbawahi bahaya obesitas yang dapat menimbulkan risiko penyakit diabetes. Dicky menyebutkan, menurut data yang dia himpun, sebanyak 70 persen pasien diabetes di Indonesia ternyata obesitas.
“Index massa tubuhnya di atas 23. Jadi cukup besar proporsi pasien diabetes dengan obesitas,” kata dia.
Dicky mengingatkan Indonesia mendapat rapor merah jika dilihat pada laporan Global Obesity Observatory dari World Obesity Foundation, disebutkan bahwa risiko obesitas nasional memiliki angka yang tinggi yaitu 7,5 dari 10 poin sementara risiko obesitas pada anak juga tinggi yaitu 7 dari 10 poin.
“Data dari World Obesity Federation, saat ini (obesitas usia dewasa) di angka 30 persen. Anak-anak di angka 20 persen. Kalau tidak kita lakukan upaya yang agresif dan menyeluruh, angka ini diprediksi bukannya flattening seperti yang diharapkan kita bersama dengan Kemenkes tapi justru akan makin meningkat,” kata dia menambahkan.
Dicky memandang bahwa penyakit obesitas di Indonesia memiliki masalah yang cukup banyak, salah satunya peningkatan proporsi penduduk dengan obesitas baik anak-anak maupun dewasa.
Selain itu, masalah lainnya juga termasuk masih kurangnya kesadaran mengenai bahaya obesitas. Saat ini, imbuh Dicky, obesitas dari sisi pasien dianggap sebagai bukan gangguan kesehatan melainkan masih hanya gangguan kosmetik.
“Dari sisi dokter, mungkin dokter banyak yang tidak menempatkan obesitas sebagai prioritas. Padahal kalau obesitasnya bisa dikelola dengan baik, penyakit metabolik yang lain yang ada gula darahnya bisa turun, tekanan darah bisa turun, itu bisa memperbaiki kondisi-kondisi yang lain,” kata dia.
Untuk mengidentifikasi kondisi obesitas, dia mengatakan masyarakat bisa menggunakan pengukuran index massa tubuh, yaitu berat badan dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan. Apabila hasilnya di atas 23 maka dikatakan kegemukan (overweight), sementara di atas 25 disebut sebagai obesitas.
Selain itu, pengukuran juga bisa dilakukan melalui lingkar pinggang atau lingkar perut dengan batas diameter 80 cm untuk perempuan dan 90 cm untuk laki-laki. Apabila melebihi angka tersebut, patut diwaspadai terkait dengan obesitas.
Dicky mengatakan dua metode pengukuran tersebut sama-sama penting. Namun pada beberapa kondisi, beberapa orang tidak bisa menggunakan metode tersebut seperti atlet dan ibu hamil. Oleh sebab itu, pemeriksaan lain disarankan untuk dilakukan salah satunya yaitu pemeriksaan kadar lemak.
“Ada alat pemeriksaan lain yang sederhana misalkan komposisi tubuh, kita lihat berapa persen, sih, kadar lemak dalam tubuhnya. Semakin tinggi proporsi lemak tubuhnya yang bisa dilihat dengan index massa tubuh atau lingkar pinggang, semakin tinggi kemungkinan komplikasi metaboliknya. Apalagi kalau lemak-lemak yang tinggi itu kumpul di daerah perut,” kata dia.*