Jakarta (ANTARA) -
Politisi yang akrab disapa HNW itu setidaknya ada tiga fase kompromi sejak Pancasila versi pidato Bung Karno 1 Juni, kompromi 22 Juni yang belakangan dikenal sebagai Piagam Jakarta, dan 18 Agustus yang kini kita kenal sebagai falsafah hidup bangsa.
"Inilah hikmah besar yang harus dipelajari dan diteladani dari para pendiri bangsa, terutama oleh kalangan terpelajar seperti Ikadim, dan oleh MPR maka dilahirkan lah Empat Pilar MPR RI," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
HNW menyampaikan hal tersebut saat menggelar Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di hadapan Ikatan Doktor Ilmu Manajemen (Ikadim) Universitas Negeri Jakarta sekaligus bedah buku "MSDM Dalam Perspektif Islam" di Ruang Abdul Muis DPR RI Gedung Nusantara Komplek MPR DPR, Jakarta, Jumat.
HNW mengenang bahwa acara kali ini digelar pada 9 Ramadhan 1444 H atau bertepatan dengan 80 tahun kalender Hijriah sejak proklamasi kemerdekaan RI digaungkan pada 17 Agustus 1945 atau 9 Ramadhan 1364 H.
Oleh karena itu, HNW mengatakan bahwa hari ini bangsa Indonesia tengah merayakan kemerdekaan yang ke-80 tahun dalam hitungan kalender Hijriah.
"Kita patut mensyukuri karunia kemerdekaan yang telah Allah hadirkan, sembari terus melakukan introspeksi apa saja yang sudah kita syukuri dan capai selama ini," katanya.
Menurut HNW pencatatan dua sistem almanak proklamasi kemerdekaan RI menjadi bukti betapa kebhinnekaan bangsa Indonesia telah berlangsung bahkan sebelum lahirnya bangsa Indonesia merdeka.
Lebih lanjut HNW menuturkan bagaimana Sidang BPUPKI 31 Mei s.d. 1 Juni 1945 yang diwarnai pidato tentang Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara telah melahirkan dua poros ideologi besar yakni kebangsaan dan keagamaan Islam.
Kendati demikian kedua poros itu tak serta merta saling membelah dan memisahkan, malahan masing-masing berkemauan untuk mengupayakan kompromi agar kebhinnekaan menjelma menjadi tunggal ika.
Kompromi itu sudah tercermin nyata ketika Bung Karno mengusulkan perubahan komposisi anggota panitia kecil yang semula berupa Panitia Delapan yang enam di antaranya berasal dari poros kebangsaan dan hanya dua dari poros keagamaan.
"Bung Karno memperlihatkan kenegarawanannya, mengubah Panitia Delapan menjadi Panitia Sembilan dengan mengakomodir semua kelompok," tutur HNW.
HNW menyebutkan Panitia Sembilan berisikan empat orang perwakilan poros kebangsaan yakni Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, dan Achmad Soebardjo disertai satu perwakilan kebangsaan Nasrani yakni A.A. Maramis.
Kemudian empat lainnya dari poros keagamaan Islam uakni KH Wahid Hasyim, Abdoel Kahar Moezakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan H. Agus Salim.
"Kelompok Sembilan menghasilkan kompromi tentang Pancasila pada 22 Juni, dan dikenal sebagai Piagam Jakarta," katanya.
Belakangan hasil kompromi Pancasila 22 Juni itu diprotes oleh masyarakat Indonesia Timur yang kembali direspon sarat kenegarawanan, kata HNW.
Dengan mengedepankan maslahat terbesar, lanjut HNW, keberatan tersebut diterima sehingga lahir kesepakatan final Pancasila 18 Agustus yang sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu HNW menekankan pentingnya pemahaman terhadap Empat Pilar MPR RI, bukan saja untuk memupuk sejarah tetapi juga agar bisa melanjutkan keteladanan serta kemampuan untuk mengawal dan mengawasi perjalanan kebangsaan.
"Agar bila ada yang menyimpang bisa diluruskan. Agar bila ada masalah bisa dicarikan solusinya. Agar mampu menjawab tantangan dan peluang zaman tanpa kehilangan jati diri sebagai Bangsa dan Negara Indonesia. Agar dengan demikian cita-cita proklamasi dan reformasi selalu dapat diperjuangkan dan diwujudkan," pungkas HNW.