Jakarta (ANTARA) - Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan rupiah melemah, karena terjadi lonjakan permintaan terhadap aset safe haven setelah perang Palestina melawan Israel membuat greenback mendekati level tertinggi dalam 10 bulan terakhir.
Namun, para pejabat Amerika Serikat (AS) menyampaikan bahwa skenario serangan ke Jalur Gaza tak mungkin terjadi.
Selain itu, penguatan dolar AS juga terdorong ekspektasi kenaikan suku bunga AS, karena data terbaru menunjukkan inflasi konsumen AS tetap kuat.
Indeks harga konsumen AS mencatat kenaikan sebesar 3,7 persen pada basis tahunan dibandingkan perkiraan 3,6 persen, dan naik sebesar 0,4 persen month to month (MtM) dibandingkan perkiraan 0,3 persen.
Fokus minggu ini disebut tertuju pada serangkaian pembicara Federal Reserve, serta data ekonomi AS lainnya.
“Suku bunga AS kemungkinan akan tetap lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga memberikan tekanan pada pasar Asia, karena kesenjangan antara imbal hasil yang berisiko dan yang berisiko rendah semakin menyempit,” ujar Ibrahim.
Serangkaian indikator ekonomi utama China turut akan dirilis pada pekan ini, seperti data produk domestik bruto kuartal III/2023.
Angka dari data ekonomi China diperkirakan bakal menunjukkan pelemahan berkelanjutan pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
“Bank Rakyat Tiongkok (PBOC/People's Bank of China) juga akan memutuskan suku bunga pinjaman utama pada minggu ini, meskipun perubahan tampaknya tidak mungkin terjadi, setelah PBOC mempertahankan suku bunga pinjaman jangka menengah tidak berubah,” kata dia.
Pada penutupan perdagangan hari ini, mata uang rupiah menguat 39 poin atau 0,25 persen menjadi Rp15.721 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp15.682 per dolar AS.
Adapun Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Senin turut melemah ke posisi Rp15.716 dari sebelumnya Rp15.709 per dolar AS.