Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan proyeksi ekonomi Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di antara negara ASEAN dan G20, di tengah ketidakpastian saat ini.
"Ekonomi Indonesia masih diperkirakan tumbuh 5 persen dan ini termasuk yang tertinggi dibandingkan negara-negara lain di ASEAN maupun G20," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Virtual APBN KITA Edisi November 2023 di Jakarta, Jumat.
Ia menyebutkan salah satu indikator yang membuat prospek ekonomi Indonesia masih baik hingga saat ini yaitu masih ekspansifnya aktivitas sektor manufaktur, dengan Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur sebesar 51,5 pada Oktober 2023.
Dengan demikian, Indonesia masuk dalam 30,4 persen negara G20 dan ASEAN-6 yang mencatat PMI Manufaktur ekspansif, selain Filipina, Singapura, India, Amerika Serikat (AS), Meksiko, dan Rusia.
Sementara sebesar 69,6 persen negara mencatatkan PMI Manufaktur yang kontraksi, yakni Eropa, Jerman, Perancis, Inggris, Italia, Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Vietnam, Kanada, Brasil, Afrika Selatan, Turki, dan Australia.
"Ini artinya sektor riil terutama manufaktur masih mengalami tekanan yang masih berlanjut dari mulai pandemi hingga sekarang," katanya.
Menkeu mengungkapkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dikeluarkan berbagai lembaga internasional pada tahun 2023 sebesar 5 persen menjadikan Indonesia berada di peringkat ketiga dengan prospek pertumbuhan ekonomi terbaik di ASEAN dan G20 setelah India sebesar 6,3 persen dan Filipina sebesar 5,3 persen.
Proyeksi tersebut bahkan jauh di atas perkiraan pertumbuhan ekonomi global yang berada di level 2,1 persen (Bank Dunia) serta 3 persen (Dana Moneter Internasional/IMF).
Di sisi lain, ekonomi Tiongkok diperkirakan tumbuh 5 persen pada tahun ini, Turki dan Malaysia 4 persen, Meksiko 3,2 persen, Brasil 3,1 persen, Thailand 2,7 persen, Spanyol 2,5 persen, Rusia 2,2 persen, AS 2,1 persen, Jepang 2 persen, Australia 1,8 persen, serta Korea Selatan 1,4 persen.
Namun demikian, dirinya mengingatkan masih terdapat risiko penurunan untuk proyeksi pertumbuhan tersebut yang berasal dari berbagai faktor, yakni inflasi yang bertahan tinggi, pelemahan ekonomi Tiongkok, volatilitas harga komoditas, serta eskalasi tensi global (perang di Palestina).
Adapun risiko lainnya seperti fragmentasi geoekonomi, kejutan akibat perubahan iklim, terbatasnya ruang kebijakan global, hingga peningkatan risiko kesulitan utang.
"Inflasi global meskipun sudah mulai menurun, masih relatif tinggi dibandingkan level histori dalam satu dekade terakhir," ucap Menkeu menjelaskan.