Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N. Rosaline menyebut bahwa perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim.
"Perubahan iklim itu tidak netral gender. Perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim karena adanya peran tradisional gender. Perempuan seringkali masih diharapkan untuk menjalankan peran-peran tradisional seperti mengurus rumah tangga, merawat anak, dan mengelola sumber daya alam," kata Lenny N. Rosaline dalam "Peluncuran Dokumen Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN GPI)", di Jakarta, Kamis.
Kemudian penyebab lainnya adalah akses sumber daya yang terbatas, mobilitas terbatas, perempuan di daerah miskin, dan konsekwensi sosial kebijakan.
"Perempuan yang tinggal di daerah miskin akan lebih rentan karena kurangnya akses terhadap infrastruktur yang kuat, layanan kesehatan yang memadai, dan sumber daya untuk menghadapi perubahan iklim," kata Lenny N. Rosaline.
Menurut dia, perubahan iklim merupakan isu sosial yang dampaknya sangat dirasakan bersama, baik bagi perempuan, laki laki, anak-anak, dan kelompok rentan.
Namun, perubahan iklim ini semakin memperburuk kesenjangan gender.
"Jadi sangat penting mewujudkan kesetaraan gender dalam mengatasi tantangan dari dampak perubahan iklim," kata Lenny N Rosaline.
Dia menyebut paparan perubahan iklim yang diprediksi terjadi pada tahun 2050, diperkirakan akan ada 251 juta populasi yang terpapar, 62,7 juta rumah tangga terpapar, dan 25,1 juta kelompok rentan terpapar, yang terdiri 68 persen dewasa, 24 persen anak-anak, dan 8 persen lansia.
Sementara pihaknya mencatat ada delapan dampak perubahan iklim yang berpengaruh pada kesenjangan gender, yakni gagal panen, ketersediaan bahan bakar, kelangkaan air, bencana iklim, penyakit, perpindahan penduduk, konflik, dan kemiskinan.