Jambi (ANTARA) - Kepemimpinan Indonesia dalam mengembangkan solusi iklim berbasis alam kembali mendapat perhatian pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-30 (COP30) melalui sesi dialog tingkat tinggi bertajuk “Scaling Landscape Restoration through Carbon Finance and Partnerships”.
Sesi ini mempertemukan perwakilan Pemerintah, sektor keuangan, komunitas konservasi, dan pelaku industri untuk membahas bagaimana pembiayaan karbon dan kemitraan lintas pemangku kepentingan dapat mempercepat restorasi lanskap berskala besar serta mendukung target iklim nasional, demikian keterangan resmi dari Humas APP Group diterima, Kamis.
Dalam sesi pembuka, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kementerian Kehutanan, Laksmi Wijayanti, menegaskan bahwa percepatan restorasi tidak hanya memerlukan kerangka kebijakan yang progresif, tetapi juga ekosistem kolaborasi yang kuat. Ia menjelaskan bahwa Pemerintah tengah menyiapkan skema konsesi restorasi ekosistem yang akan membuka peluang lebih besar bagi sektor swasta untuk mengelola area konservasi terdegradasi secara jangka panjang.
Menurutnya, kebijakan tersebut harus berjalan beriringan dengan pendanaan inovatif. “Kita membutuhkan kolaborasi, inovasi, dan kepercayaan. Pembiayaan karbon dan blended funding dapat menjadi jembatan antara modal global dan aksi lokal,” ujarnya. Laksmi juga menambahkan bahwa jika diterapkan dengan integritas, mekanisme tersebut berpotensi memulihkan jutaan hektare lahan, mendukung mata pencaharian masyarakat, dan memperkuat kredibilitas solusi iklim berbasis alam.
Sesi panel yang dipandu oleh Jack Hurd, Executive Director for TFA, World Economic Forum, menghadirkan Jasmine Prihartini, Head of Landscape Conservation and Environment, APP Group Natalia Rialucky Marsudi, CEO, Fairatmos, Edo Mahendra, Principal Advisor Kementerian Kehutanan, Indonesia, Marisa Drew, Chief Sustainability Officer, Standard Chartered, Emily Landis, Global Climate Adaptation and Resilience Director, The Nature Conservancy
Diskusi menyoroti posisi strategis Indonesia dalam solusi iklim berbasis alam, termasuk peran ekosistem gambut dan mangrove dalam pencapaian target FOLU Net Sink 2030. Para pembicara juga membahas perkembangan kebijakan nasional dan peluang instrumen pendanaan baru yang mendorong investasi berkelanjutan pada konservasi dan restorasi ekosistem.
Melalui platform keberlanjutan Regenesis, APP Group berbagi pendekatan sektor swasta dalam memanfaatkan pasar karbon dan pemantauan berbasis data untuk menyelaraskan tujuan komersial dengan kontribusi lingkungan di tingkat nasional maupun global.
“Restorasi berskala besar memerlukan dukungan pendanaan dan kemitraan. Melalui kolaborasi dengan Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas lokal, kami berupaya memulihkan lanskap penting sekaligus menciptakan nilai sosial dan ekonomi jangka panjang,” ujar Jasmine Prihartini, Head of Landscape Conservation and Environment, APP Group.
Sejalan dengan itu, Marisa Drew, Chief Sustainability Officer Standard Chartered, menekankan bahwa teknologi akan menjadi katalis penting. Ia menyampaikan bahwa banyak perusahaan teknologi kini memiliki kemampuan membaca dan mengkomunikasikan data karbon secara lebih akurat, sehingga dapat memperkuat keyakinan investor dan mempercepat keputusan pembiayaan.
“Kita perlu duduk bersama—pemerintah, industri, lembaga keuangan, dan penyedia teknologi—untuk mengurai berbagai kompleksitas pasar karbon. Jika kita mampu menyatukan kekuatan ini, maka pasar akan bergerak lebih cepat dan proyek-proyek dapat memperoleh pendanaan dengan lebih mudah,” ujarnya.
Partisipasi APP Group dalam sesi ini menegaskan komitmen perusahaan dalam memperkuat pembiayaan dan kemitraan strategis untuk menjaga kelestarian hutan Indonesia dan mendukung kontribusi negara terhadap agenda iklim global.
