Sumur Rakyat dan Kemandirian Energi

Sumur Rakyat dan Kemandirian Energi

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, saat meninjau Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Plumpang, Jakarta, Minggu (28/12)

Imaduddin Hamid, S.I.A., M.A.
(Alumnus Analisis Kebijakan Publik Universitas Indonesia)


Jakarta (ANTARA) - Kementerian ESDM kembali mencetak sejarah baru di bidang hulu migas. Pada Rabu, 24 Desember 2025, untuk pertama kalinya ditandatangani Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Sumur Minyak Masyarakat (Sumur BKU atau Sumur BUMD/Koperasi/UMKM) antara Pertamina dan UMKM PT Batanghari Sinar Energi. Momentum ini bukan sekadar seremoni, melainkan penanda perubahan cara pandang negara terhadap keberadaan sumur rakyat sebagai bagian dari tata kelola energi nasional. Langkah tersebut merupakan implementasi nyata dari Undang-Undang Migas Tahun 2001 Pasal 9 Ayat (1) huruf c, yang membuka ruang bagi Koperasi dan Usaha Kecil untuk terlibat dalam kegiatan usaha hulu migas. Ini sejalan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara, namun bukan untuk dimonopoli, melainkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, rakyat tidak semestinya hanya menjadi penonton di sektor energi yang menentukan masa depan ekonomi bangsa.

Penandatanganan perjanjian ini juga merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri ESDM No. 14 Tahun 2025 yang memberikan persetujuan kepada BUMD/Koperasi/UMKM untuk melaksanakan pengelolaan sumur masyarakat. Di sini terlihat adanya pergeseran penting, yaitu dari praktik sumur rakyat ilegal, menuju relaksasi legal selama 4 tahun. Jika BKU menjalankan dengan kaidah-kaidah teknis dan non-teknis yang mumpuni, BKU bisa baik kelas menjadi partner KKKS kelak atau menjadi bagian dari ekonomi migas nasional. Pertanyaannya : beranikah negara secara konsisten menjadikan sumur rakyat sebagai pilar kemandirian energi, bukan sekadar proyek sesaat ?

Defisit Minyak dan Realitas Sumur Rakyat

Masalah paling mendasar dalam pengelolaan energi Indonesia adalah defisit minyak yang kronis. Indonesia sejak lama menjadi negara pengimpor minyak dalam jumlah besar, karena konsumsi minyak dalam negeri jauh melampaui produksi yang mampu dihasilkan. Konsumsi minyak Indonesia diperkirakan sekitar 1,6 juta barel per hari, sementara produksinya hanya sekitar 600 ribu barel per hari, sehingga sisanya dipenuhi dari impor (BP Statistical Review HEESI). Konsekuensinya, devisa negara terkuras untuk impor, dan stabilitas ekonomi kian rentan terhadap gejolak harga minyak dunia. Di tengah situasi ini, mengabaikan potensi produksi dari sumur rakyat adalah kemewahan yang tidak lagi dimiliki Indonesia.

Sumur rakyat yang merupakan praktik pengeboran minyak oleh masyarakat di sejumlah daerah adalah fakta sosial sekaligus fakta ekonomi. Kehadirannya menunjukkan bahwa energi bukan hanya urusan korporasi raksasa dan platform migas internasional, tetapi juga terkait langsung dengan dapur, sekolah, dan penghidupan keluarga di sekitar wilayah operasi. Energi minyak telah menjadi instrumen geopolitik dan geoekonomi, namun di tingkat lokal, ia adalah penopang ekonomi rumah tangga. Bahkan dengan adanya sumur rakyat, tingkat pengangguran dan kejahatan turun mendekati 0% di beberapa daerah. Kebijakan publik yang menutup mata terhadap sumur rakyat sama saja membiarkan potensi energi dan ekonomi rakyat tersia-siakan.

Dalam perspektif teori sistem David Easton, kebijakan publik adalah cara negara mengalokasikan nilai dan sumber daya di masyarakat. Jika demikian, maka pengaturan sumur rakyat tidak boleh semata-mata berangkat dari kecurigaan dan pendekatan represif, tetapi dari pengakuan bahwa mereka adalah bagian dari subjek kebijakan. Regulasi yang kini mulai menyentuh sumur rakyat, termasuk kerja sama dengan PT Batanghari Sinar Energi, patut dibaca sebagai langkah maju. Namun langkah maju ini hanya berarti jika dilanjutkan dengan desain kelembagaan dan pengawasan yang berpihak pada pemberdayaan, bukan sekadar penertiban administratif. Dalam visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, swasembada energi ditempatkan sebagai salah satu prioritas utama. Indonesia dituntut untuk mampu memenuhi kebutuhan energinya sendiri dengan mengoptimalkan seluruh potensi, baik energi fosil maupun energi baru dan terbarukan. Pengembangan bioetanol, diversifikasi energi, dan efisiensi konsumsi hanyalah satu sisi dari mata uang, sisi lainnya adalah bagaimana negara mengelola sumber daya fosil yang tersisa secara cerdas dan inklusif. Di titik inilah sumur rakyat seharusnya mendapat tempat.

Data konsumsi minyak sekitar 1,6 juta barel per hari, sementara produksi hanya sekitar 600 ribu barel per hari, menunjukkan adanya defisit hampir 1 juta barel yang harus ditutup dengan impor. Berbagai analisis energi juga memperkirakan bahwa porsi migas masih akan mendominasi bauran energi Indonesia hingga beberapa dekade ke depan. Menghadapi kenyataan ini, menyingkirkan sumur rakyat dari ruang kebijakan sama saja dengan menutup satu pintu potensial untuk mengurangi ketergantungan impor dan memperkuat ketahanan energi nasional.

Pertanyaan krusialnya adalah bagaimana negara memosisikan sumur rakyat ? Apakah sekadar objek penertiban dan obyek pajak, atau sebagai mitra dalam ekonomi energi partisipatif ?. Jika negara terlalu menekankan pendekatan administratif yang kaku, risiko etatisme mengintai, di mana negara mengontrol hampir semua aspek produksi dan distribusi, sementara masyarakat lokal hanya menjadi buruh kasar tanpa posisi tawar. Padahal, mandat konstitusi melalui Pasal 33 UUD 1945 dan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa hak menguasai negara tidak identik dengan monopoli absolut, tetapi mengandung kewajiban untuk membuka ruang partisipasi rakyat.

Dari Legalitas Menuju Keadilan

Secara ekonomi, legalisasi dan pembinaan sumur rakyat membuka peluang perluasan kapasitas produksi nasional sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar. Pemerintah sebenarnya telah menyediakan kerangka regulasi melalui Permen ESDM No. 14 Tahun 2025 dengan skema pembinaan selama empat tahun oleh Ditjen Migas, SKK Migas, serta pelibatan koperasi, UMKM, dan BUMD. Namun legalitas di atas kertas tidak otomatis menjelma menjadi keadilan di lapangan. Di sinilah celah sering muncul, program bagus di pusat tetapi gagap saat menyentuh realitas desa dan kampung.

Salah satu persoalan besar adalah maraknya sumur dan kilang ilegal yang menimbulkan risiko lingkungan, mengancam keselamatan kerja, dan merugikan keuangan negara. Banyak pelaku di level bawah terjebak dalam jaringan pembelian minyak oleh kilang ilegal yang menawarkan harga menarik, tetapi menempatkan mereka dalam posisi rentan secara hukum dan sosial. Jika negara hanya hadir sebagai aparat penertiban, tanpa menawarkan skema alternatif yang lebih adil dan berkelanjutan, maka resistensi sosial dan praktik bisnis bawah tanah akan terus berulang.

Karena itu, gagasan pembentukan Tim Terpadu (Timdu) Penegakan Hukum Sumur Masyarakat di daerah penghasil migas menjadi krusial. Tim ini perlu melibatkan unsur kepolisian, TNI, kejaksaan, pemerintah daerah, BUMD, dinas teknis dan lingkungan, serta instansi di lingkungan Kementerian ESDM. Namun keberadaan Timdu tidak boleh dipahami semata sebagai “alat pukul”, melainkan juga sebagai motor koordinasi pembinaan, pendampingan teknis, dan edukasi kepada masyarakat. Penegakan hukum yang keras (hard approach) harus diimbangi dengan pendekatan lunak (soft approach) berupa sosialisasi, pelatihan teknis, dan penguatan kapasitas manajerial pelaku sumur rakyat.

Menata Ulang Relasi Negara, Korporasi, dan Warga

Salah satu titik lemah dalam tata kelola energi Indonesia adalah relasi yang timpang antara negara, korporasi besar, dan warga. Kerja sama pengelolaan sumur rakyat yang melibatkan Pertamina, BUMD, koperasi, dan UMKM sesungguhnya membuka peluang koreksi atas ketimpangan ini. Lifting minyak dari sumur rakyat yang disalurkan melalui kanal resmi ke Pertamina akan tercatat sebagai bagian produksi nasional, sekaligus memberikan manfaat ekonomi yang lebih transparan bagi masyarakat. Sebaliknya, transaksi ke kilang ilegal harus dihentikan melalui kombinasi penutupan fasilitas, pemutusan rantai distribusi, dan sanksi tegas kepada aktor intelektual maupun operator di lapangan.

Di sisi lain, pemerintah pusat dan daerah harus memastikan dukungan anggaran dan kelembagaan yang memadai bagi Timdu maupun skema kemitraan sumur rakyat. Tanpa dukungan anggaran, pengawasan lingkungan hanya akan menjadi wacana, dan pendampingan teknis akan berhenti sebagai slogan. Ini penting agar kemandirian energi tidak dibayar dengan kerusakan lingkungan dan korban jiwa akibat praktik pengeboran dan pengolahan yang tidak memenuhi standar keselamatan.

Pada akhirnya, pengelolaan sumur rakyat adalah cermin cara negara memperlakukan rakyatnya dalam sektor strategis. Apakah rakyat ditempatkan sebagai pemilik sah nilai tambah energi, atau sekadar pelengkap dalam rantai produksi yang terkonsentrasi pada segelintir aktor kuat ? Kerja sama antara Pertamina dan PT Batanghari Sinar Energi memberikan harapan bahwa opsi pertama masih mungkin diperjuangkan, asal konsistensi kebijakan dan keberpihakan pada rakyat tidak berhenti di meja penandatanganan perjanjian.

Sumur rakyat tidak lagi layak diposisikan sebagai anomali hukum yang dibiarkan abu-abu. Ia adalah bagian dari strategi energi nasional yang jika dikelola dengan prinsip keterbukaan, pengawasan ketat, dan pendampingan teknis, mampu menghadirkan manfaat sosial ekonomi nyata bagi masyarakat sekaligus memperkuat ketahanan energi negara. Di tengah defisit minyak yang terus membayangi dan kompetisi global atas sumber daya energi, menempatkan rakyat sebagai mitra negara dalam pengelolaan migas adalah pilihan rasional sekaligus konstitusional.

Tantangannya kini bukan lagi apakah sumur rakyat perlu diakui, tetapi sejauh mana negara berani menjadikannya pilar kemandirian energi. Apakah kerja sama seperti yang dilakukan Pertamina dan PT Batanghari Sinar Energi akan diperluas, direplikasi, dan dijaga akuntabilitasnya, atau hanya menjadi catatan singkat dalam sejarah kebijakan energi Indonesia. Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan, apakah kedaulatan energi benar-benar dimaknai sebagai “dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, atau sekadar slogan yang berakhir di atas kertas regulasi.
Pewarta : PR Wire
Editor: PR Wire
COPYRIGHT © ANTARA 2025