Jakarta (ANTARA Jambi) - Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan sampai sekarang sebanyak 57 terpidana korupsi belum dieksekusi kejaksaan meski sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap.
"Sebanyak 57 terpidana yang belum dieksekusi tersebut tersebar di 12 wilayah hukum Kejaksaan Tinggi di Tanah Air," kata anggota Badan Pekerja ICW Emerson F Yuntho saat audiensi dengan Wakil Jaksa Agung Darmono bersama Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, di Jakarta, Selasa.
Dari 57 terpidana korupsi tersebut, 23 koruptor belum dieksekusi karena telah melarikan diri atau masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) sedangkan lebih dari 30 orang terpidana korupsi lainnya belum dieksekusi karena sejumlah alasan.
Emerson menyatakan, tercatat terpidana korupsi yang paling banyak belum atau diduga belum dieksekusi berada di lingkungan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah (22 terpidana). Masuk kelompok besar lainnya adalah Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta (enam, terpidana), Kejaksaan Tinggi Riau (lima terpidana), Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (dua terpidana).
Salah satu contoh belum dijebloskannya koruptor ke penjara adalah Bupati Kepulauan Aru, Teddy Tengko, terpidana kasus korupsi dana APBD Aru senilai Rp42 miliar.
Pada 12 Desember 2012 misalnya, sekelompok orang pendukung Teddy Tengko, berhasil membatalkan eksekusi Kejaksaan di Bandara Soekarno Hatta.
"Pihak Kepolisian di sekitar bandara yang seharusnya mendukung upaya kejaksaan justru terkesan berpihak kepada sang Bupati, sehingga proses eksekusi gagal dilakukan. Hingga kini terpidana korupsi selama empat tahun penjara belum mendekam di penjara dan karena diangkat kembali masih menjabat sebagai Bupati Kepulauan Aru," katanya.
Ia menyebutkan contoh terpidana korupsi yang melarikan diri antara lain Satono (mantan Bupati Lampung Timur), Sumita Tobing (ex Direktur TVRI), Samadikun Hartono (BLBI), Sudjiono Timan (BPUI), Djoko S Tjandra (Bank Bali), Adelin Lis, Nader Taher, dan Syarief Abdullah.
Kendati demikian, langkah Kejaksaan dalam melakukan eksekusi terhadap koruptor layak diapresiasi dan didukung. "Namun demikian Koalisi Masyarakat mengingatkan pihak Kejaksaan bahwa masih terdapat sejumlah terpidana korupsi yang belum dieksekusi oleh Kejaksaan," katanya.
Proses eksekusi terhadap para koruptor tersebut penting segera dilakukan dalam rangka pengembalian supremasi hukum dan dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Ia menambahkan proses eksekusi koruptor yang tertunda atau lambat justru membuka peluang bagi koruptor untuk melarikan diri atau mengajukan peninjauan kembali.
"Dari kasus korupsi yang diamati oleh Koalisi, eksekusi umumnya baru dilakukan satu sampai empat tahun setelah vonis untuk koruptor telah berkekuatan hukum tetap. Padahal jika terjalin kerja sama dan koordinasi yang baik dari Kejaksaan dengan institusi yang lain seperti Mahkamah Agung dan Kepolisian, setidaknya 14 hari setelah berkekuatan hukum tetap, koruptor bisa segera dieksekusi," katanya.
Sementara itu, Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan pihaknya sejak Mei 2011 sampai sekarang berhasil menangkap 72 buronan korupsi.(Ant)