Tak
seperti di Pulau Sebatik, Jakarta berhias kemacetan, ada sosok Anies
Baswedan yang menginspirasi dia dan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Purnama
(Ahok).
Pulau Sebatik di mana dia lahir dan
besar sungguh unik. Dia pulau perbatasan Indonesia dengan Malaysia,
separuh pulau itu milik Indonesia dan separuh lagi Malaysia. Bahkan ada
rumah-rumah penduduknya yang juga terbagi dua: teras depan rumah ada di
Indonesia, dapurnya di wilayah Malaysia.
"Di
Jakarta enak, makan apa saja ada. Tetapi yang saya tidak senang di
Jakarta itu macetnya. Di Sebatik kita bisa tentukan waktu. Misalnya mau
ke pasar itu jam 7.00, sampai sana sekitar jam 8.00. Itu tepat jam 8.00
sampai," tutur dia yang akrab dipanggil Dion, itu kepada ANTARA News, di
Jakarta, Kamis (25/8).
"Kalau di Jakarta, mau
ke mal jam 8.00, kata kakak di Jakarta, jam 9.00 sampai. Ternyata jam
10.00 sampai. Itulah saya heran bagaimana cara pemerintah ini
mengatasinya," imbuh Dion.
Heran dengan
kemacetan Jakarta, Dion yang berkesempatan bertemu Ahok di Balaikota
Jakarta belum lama ini, meminta penjelasan langsung.
"Kata Pak Ahok, dengan membuka busway,
supaya macet berkurang. Tetapi di sini banyak orang kaya, membawa
kendaraan sendiri. Kata Pak Ahok kalau orang tidak mau menaati peraturan
ya kapan negara mau maju," kata dia.
"Pak Anies Baswedan orangnya pendiam, ramah, beliau berpesan harus belajar sungguh-sungguh, mematuhi orangtua," kata Dion.
Belajar bertoleransi di Jakarta
Dion
adalah salah satu dari 14 pelajar dari daerah yang berkesempatan
mengikuti Program SabangMarauke 2016. Program ini mengusung misi
menanamkan nilai-nilai toleransi, pendidikan dan ke-Indonesiaan.
"Kami
ingin ajarkan indahnya keberagaman, berpikiran terbuka, berempati,
perbedaan bukan yang harus dipermasalahkan. Nilai pendidikan tentang
semangat belajar dan semangat rasa ingin tahu. Nilai Ke-Indonesiaan,
agar mereka bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia," ujar Direktur
Utama SabangMerauke 2016, Irma Sela Karlina.
Dia
mengatakan, selama tiga minggu, ke-15 pelajar Sekolah Menengah Pertama
(SMP) terpilih diajak berinteraksi langsung dengan mereka yang berasal
dari suku bangsa dan agama yang berbeda. Mereka juga dibawa berkunjung
ke sejumlah tempat di Jakarta, semisal Balaikota, Monas, rumah-rumah
ibadah dan kampus-kampus di Jakarta.
"Toleransi
tidak bisa hanya diajarkan, tetapi toleransi harus dialami dan
dikerjakan. Kami sengaja menempatkan anak-anak dari suku berbeda, agama
berbeda, agar bisa benar-benar mengalami, bisa merasakan bahwa
keberagaman itu indah," kata Sella.
"Ketika
kembali ke lingkungannya, diharapkan mereka bisa menyebarkan nilai-nilai
toleransi, pendidikan dan ke-Indonesiaan," imbuh dia.
Sebarkan toleransi di Sebatik
Dion
berkisah, tak seperti Jakarta, di Sebatik hanya ada dua agama, yakni
Islam dan Kristen. Hanya saja, semakin sedikit agama tak menjamin
kondisi kerukunan. Olok-olok berbau agama hampir setiap hari menjadi
santapan khusus para pelajarnya.
"Di Jakarta
yang kota besar, toleransinya tinggi. Sedangkan di Sebatik, kota kecil,
toleransinya rendah. Masih suka mengolok-olok antara agama satu dan
lainnya. Biasanya muslim dan nasrani. Kata mereka, "Hei kau punya nabi
itu disalib. Saya mau tegur dibilang mau ceramah," tutur dia.
Sekarang, Dion mengaku punya strategi menghentikan olok-olok itu.
"Sekarang
saya tahu cara menegurnya, begini: "Di Jakarta itu kota besar, banyak
suku, sedangkan di Sebatik itu hanya dua agama (Islam dan Kristen) saja
mengapa bermusuhan. Sedangkan di Jakarta ada Hindunya, Budhanya," kata
dia.
"Mereka bekerjasama melakukan hal
positif. Mesjid dan gereja berhadapan menandakan toleransi yang tinggi
antara agama satu dengan yang lain. Di Sebatik, sudah pulaunya besar
suku-sukunya sedikit, agamanya hanya dua, mengapa harus bertengkar,
antara kaya dan miskin," pungkas Dion.