"Revisi PMA yang baru terkait umrah patut diapresiasi, di tengah marak kasus biro travel umrah nakal," kata Dadi dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan, PMA 8/2018 itu dapat menjadi acuan pemerintah untuk menindak tegas biro travel umrah nakal.
Beberapa poin penting perlu dicatat sebagai langkah positif dalam hal pencegahan, seperti proses pendataan biro travel dan sistem pengawasan yang lebih ketat.
PMA itu, kata dia, juga menuntut pelaporan pendaftaran jemaah, juga diikuti rencana kampanye publik lewat media dan website untuk mengedukasi publik tentang umrah yang benar.
"Yang menarik di PMA baru ada pembatasan waktu maksimal pendaftaran dan keberangkatan jemaah umrah maksimal 3-6 bulan," katanya pula.
Dia memandang revisi PMA itu belum menyentuh nasib para jemaah yang dirugikan. Sejauh ini memang ada empat perusahaan travel yang dibekukan.
"Tapi bagaimana dengan nasib para jemaah yang terindikasi gagal berangkat. Ada ratusan ribu orang dan jumlah dana jemaah lebih dari Rp2 triliun yang terancam hilang ditipu pengusaha nakal. Itu terjadi hanya dalam tempo satu tahun," kata dia pula.
Revisi PMA yang baru, kata dia, seharusnya tidak hanya bersifat preventif tapi juga menjadi alternatif untuk penyelesaian masalah.
"Kesan saya Kemenag sudah berusaha responsif meskipun terlambat dan masih kurang berkoordinasi dengan pihak lain yang seharusnya bisa membantu mencegah dan mencari solusi alternatif masalah kalau tidak dicermati dan diwaspadai, bisa meledak lebih besar lagi," kata dia.
Dia menilai efektivitas revisi PMA belum teruji, sehingga nantinya harus ada celah yang perlu dibenahi.
"Kalau tidak, seperti peraturan-peraturan sebelumnya berhasil disiasati oleh mereka yang selalu bermain dan berniat mengambil keuntungan di balik lemah regulasi dan peraturan pemerintah," kata dia lagi.***