Jakarta (Antaranews Jambi) - Pakar gizi alumnus UI Susianto Tseng menilai Indonesia sedang menghadapi beban ganda dalam bidang kesehatan yang harus ditindaklanjuti dengan langkah yang serius.
"Sekarang ini baik disadari atau tidak, Indonesia dihadapkan pada masalah beban ganda di bidang kesehatan, yakni selain masalah penyakit infeksi yang belum tuntas ditangani, muncul masalah baru berupa penyakit degeneratif yang memerlukan biaya kesehatan yang lebih mahal," kata doktor yang banyak mendalami kajian terkait manfaat tempe itu di Jakarta, Selasa.
Ia menambahkan, kurangnya energi dan protein (KEP), anemia gizi besi (AGB), kurang vitamin A (KVA), dan gangguan akibat kurang iodium (GAKI) masih tetap menjadi masalah gizi buruk di Indonesia yang harus diselesaikan.
Sementara penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, stroke, hipertensi, kanker, diabetes melitus, obesitas, osteoporosis juga menjadi masalah lain yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
"Kondisi ini diperparah lagi dengan munculnya berbagai penyakit dari hewan seperti flu burung dan antraks," kata Susianto yang juga Sekjen Indonesia Vegetarian Society (IVS) itu.
Bahkan ia mencatat penyakit jantung, tekanan darah tinggi (hipertensi), stroke, dan kanker yang selama ini menduduki tempat utama penyebab kematian di Amerika Serikat dan negara maju lainnya kini mulai menjadi ancaman yang sama di Indonesia.
Ia mengatakan, penyakit kardiovaskular yang pada awal mula merupakan penyebab kematian nomor 11 yaitu sebanyak 5,1 persen pada 1971, tetapi meningkat menjadi nomor 3 sebanyak 9,7 persen pada 1986.
Selanjutnya pada 1995 meningkat menjadi nomor 1 (18,9 persen) dan 26 persen pada 2001, terutama terjadi di kota-kota besar di Indonesia.
"Telah terjadi peningkatan jumlah penderita yang berusia muda yakni di bawah umur 45 tahun dari 7 persen pada 1985 meningkat menjadi 17 persen pada 1989," katanya.
Ia mengutip data Susenas (2003) dan Depkes (2005) yang mencatat bahwa masalah gizi lebih pada usia dewasa di Indonesia tergambar dari indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25 sebanyak 21,0 persen, (gemuk), IMT lebih dari 27 sebanyak 11,1 persen (obesitas), dan IMT lebih dari 30 sebanyak 3,9 persen.
"Peningkatan pola konsumsi makanan cepat saji (fast food) yang tinggi kolesterol, lemak jenuh, garam, namun rendah serat, dan minuman soft drink yang tinggi gula serta gaya hidup yang rendah aktivitas fisik pada masyarakat perkotaan meningkatkan prevalensi terjadinya gangguan penyakit-panyakit itu," katanya.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar Pemerintah dan masyarakat di Indonesia mulai menggalakkan pola makan sehat khususnya memperbanyak pangan berbasis nabati terutama di daerah perkotaan dengan mengonsumsi lebih banyak sayur dan buah.
"Upaya ini dapat dilakukan melalui program KIE (komunikasi, informasi, edukasi) untuk mencegah dan menanggulangi penyakit degeneratif yang sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia," kata Susianto.***
"Sekarang ini baik disadari atau tidak, Indonesia dihadapkan pada masalah beban ganda di bidang kesehatan, yakni selain masalah penyakit infeksi yang belum tuntas ditangani, muncul masalah baru berupa penyakit degeneratif yang memerlukan biaya kesehatan yang lebih mahal," kata doktor yang banyak mendalami kajian terkait manfaat tempe itu di Jakarta, Selasa.
Ia menambahkan, kurangnya energi dan protein (KEP), anemia gizi besi (AGB), kurang vitamin A (KVA), dan gangguan akibat kurang iodium (GAKI) masih tetap menjadi masalah gizi buruk di Indonesia yang harus diselesaikan.
Sementara penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, stroke, hipertensi, kanker, diabetes melitus, obesitas, osteoporosis juga menjadi masalah lain yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
"Kondisi ini diperparah lagi dengan munculnya berbagai penyakit dari hewan seperti flu burung dan antraks," kata Susianto yang juga Sekjen Indonesia Vegetarian Society (IVS) itu.
Bahkan ia mencatat penyakit jantung, tekanan darah tinggi (hipertensi), stroke, dan kanker yang selama ini menduduki tempat utama penyebab kematian di Amerika Serikat dan negara maju lainnya kini mulai menjadi ancaman yang sama di Indonesia.
Ia mengatakan, penyakit kardiovaskular yang pada awal mula merupakan penyebab kematian nomor 11 yaitu sebanyak 5,1 persen pada 1971, tetapi meningkat menjadi nomor 3 sebanyak 9,7 persen pada 1986.
Selanjutnya pada 1995 meningkat menjadi nomor 1 (18,9 persen) dan 26 persen pada 2001, terutama terjadi di kota-kota besar di Indonesia.
"Telah terjadi peningkatan jumlah penderita yang berusia muda yakni di bawah umur 45 tahun dari 7 persen pada 1985 meningkat menjadi 17 persen pada 1989," katanya.
Ia mengutip data Susenas (2003) dan Depkes (2005) yang mencatat bahwa masalah gizi lebih pada usia dewasa di Indonesia tergambar dari indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25 sebanyak 21,0 persen, (gemuk), IMT lebih dari 27 sebanyak 11,1 persen (obesitas), dan IMT lebih dari 30 sebanyak 3,9 persen.
"Peningkatan pola konsumsi makanan cepat saji (fast food) yang tinggi kolesterol, lemak jenuh, garam, namun rendah serat, dan minuman soft drink yang tinggi gula serta gaya hidup yang rendah aktivitas fisik pada masyarakat perkotaan meningkatkan prevalensi terjadinya gangguan penyakit-panyakit itu," katanya.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar Pemerintah dan masyarakat di Indonesia mulai menggalakkan pola makan sehat khususnya memperbanyak pangan berbasis nabati terutama di daerah perkotaan dengan mengonsumsi lebih banyak sayur dan buah.
"Upaya ini dapat dilakukan melalui program KIE (komunikasi, informasi, edukasi) untuk mencegah dan menanggulangi penyakit degeneratif yang sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia," kata Susianto.***